Ini sudah dijadikan sebagai tradisi, turun-temurun, ritual penting yang tidak boleh dilewatkan bagi para anak gadis perawan di desa, terlebih jika sudah mendapatkan datang bulan pertamanya.
Cucu tercinta dari seorang nenek tua, Mbah Nurwitri. Mbah Nuwitri hidup menjanda sejak puluhan tahun karena suaminya meninggal sebab penyakit jantung. Punya anak perempuan hanya satu, yang naasnya setelah anaknya melahirkan seorang cucu untuknya, anaknya malah juga ikut berpulang menyusul suaminya.
Mbah Nuwitri hidup dengan banyak sekali cobaan, kehilangan suami dan anak untuk renta waktu yang sebentar. Namun Mbah Nuwitri tidak mau larut dalam kesedihan ketika ia menyadari bahwa setidaknya masih ada cucunya yang akan menemani.
Seorang cucu perempuan yang ia beri nama Cahya Maya Rembulan. Atau biasa dipanggil dengan Maya.
Waktu berlalu dengan cepat, sekarang Maya sudah menjelma menjadi seorang gadis belia yang baru mendapatkan datang bulan pertamanya, di usia 15 tahun. Yang artinya, sesuai dengan tradisi, maka Maya sudah saatnya untuk menjalani ritual turun-menurun yang biasa dilakukan para gadis perawan untuk memulai masa pendewasaannya.
Ritual pecah perawan, atau sebenarnya menghilangkan keperawanan.
Dengan bantuan dari seorang Bayan kehormatan desa, yang sudah membantu seluruh proses 'pendewasaan' para wanita yang ada di desa ini dari sejak puluhan tahun yang lalu. Ritual ini penting, tidak boleh dilewatkan atau nanti jika menolak dan tak mau melakukannya, maka konsekuensinya adalah harus pergi angkat kaki dari desa. Hukuman terbaik untuk seseorang yang tidak mau menaruh patuh pada peraturan di tanah tempatnya berpijak.
"Mbok, Maya takut..." Malam itu Maya bercerita kepada si Mbah. Mbah Nuwitri tersenyum singkat sambil menyalakan api pada lampu teplok yang menempel di dinding bambu rumah kecil, nan sederhana milik mereka.
"Ndok, cah ayu...." Panggil si mbah dengan lembut.
"Nda ada yang perlu ditakuti. Pak Bayan itu baik sekali, dia tidak jahat. Dia nanti akan memberi bimbingan penuh kepada kamu. Akan ajari kamu banyak ilmu. Kamu hanya perlu nurut, patuh, dan tampung semua ilmunya. Belajar yang benar dari Pak Bayan." Si mbah duduk di dekat cucunya.
Maya menggigit bibir bawahnya pelan, entahlah. Dia tidak bisa membayangkan mengenai hari esok. Dia hanyak merasa terlalu gugup saja. Apalagi nanti akan bertemu dan bertatap muka langsung dengan pak bayan. Tokoh penting dan sangat dihormati, yang selama ini hanya bisa Maya lihat dan pandangi dari jauh semata, sekilas saja, karena dia merasa malu dan kecil diri saja jika lancang memandang sosok tersebut lama-lama.
Maya sadar sekali bahwa ia hanya wong cilik, tidak pantas bila bersinggungan terlalu lama dengan orang terhormat dan terpandang seperti Pak Bayan. Maka dari itu ketika Maya membayangkan bahwa telah tibalah kesempatannya untuk bertemu, dan bersinggungan langsung dengan Pak Bayan, hatinya langsung berdebar keras. Gugup tidak terdeskripsikan.
"Sudah, nda usah gugup. Besok si mbah anter ke rumah pak bayan, ya."
"Iya, Mbok."
***
Pagi harinya, sebelum Maya dan Mbah Nuwitri pergi ke rumah pak bayan yang berada cukup jauh dari gubuk renta mereka -yang ada di dekat sawah serta hutan, rumah pak bayan ada di dekat alun-alun desa, pusat desa, dekat pasar. Mereka berdua lebih dulu menyiapkan barang-barang yang harus mereka bawa ke rumah pak bayan terlebih dahulu. Untuk keperluan pribadi sebenarnya tidak ada hal yang muluk, cukup hanya membawa tiga lembar selendang jarik, sebagai ganti nanti selama tiga hari berada di rumah pak bayan.
Selebihnya adalah, barang yang dijadikan sebagai syarat wajib untuk persembahan dari si gadis perawan kepada sang bayan. Yaitu, daun legundi, daun widuri, dan kulit kayu trenggulung. Ketiganya itu dikeringkan dan ditumbuk hingga halus, dibuat menjadi bulatan-bulatan kecil serupa pil besar seukuran kelereng.
KAMU SEDANG MEMBACA
ONE SHOOT ADULT STORY 21++
Short StoryCerita Maya dan kehidupan dewasanya. Alur maju mundur, setiap cerita tidak saling berkaitan.M