✨Hangat yang Menyapa✨

21 11 1
                                    



🐾Happy Reading🐾

Kembali pada keadaan seperti dulu, begitu sangat Lathifah impikan. Keluarga yang hangat berisikan dia, dan ibu bapaknya. Hanya saja semua kehangatan itu berubah menjadi panas yang menjalar, membakar setiap kenangan dan kenyamanan yang telah diciptakan. Api yang kecil itu semakin membesar ketika sang adik bar saja terlahir ke dunia. Sejak saat itulah, kebahagiaan berpadu dengan kekecewaan, menyelimuti jiwa yang penuh kesesakan.

Terlalu fokus dengan bayang-bayang impiannya, Lathifah sampai tidak menyadari mie instan yang sedang dimasaknya kini meluap dari panic, air yang panas itu menyentuh kaki berbalutkan kauskaki berwarna krem.

"Ssshhh, aw panas banget." Desisinya, reflek mengangkat kaki dan langsung mematikan kompor.

"Ya Allah Nak, kamu tidak apa-apa?" seru Alam, berlari dari arah tangga menuju dapur, ketika melihat putrinya terkena air panas.

"Sedikit perih Om." Ucapnya terbata-bata, senebenarnya ia tidak enak masih memanggil Alam dengan sebutan itu. Tetapi untuk memanggilnya ayah, ia pun belum mau.

"Ayah bantu kamu obati lukanya ya, takut keburu melepuh." Ucap Alam yang masih menunggu respon dari putrinya itu.

Meski ia dan Alam telah menjadi mahrom, setelah Lathifah mengetahui bahwa ibunya kini sedang mengandung janin dari pria di hadapannya itu, tetap saja ia belum terbiasa. Karena selama ini ia tak pernah sekalipun bersentuhan, sekali pun itu bersalaman dengan lelaki selain mahromnya. Sebab, yang ia ketahui ayah tiri akan menjadi mahrom ketika sudah menggauli istrinya, yaitu ibu dari anak tirinya. Dan kabar yang ia dapat tadi malam dari sang ibu, mebuatnya kini bingung. Ingin terus menolak tapi tak enak.

Tapi jika tak di mulai dari sekarang, sampai kapan ia akan mengabaikan kehadiran orang yang jelas-jelas ia rasa ketulusan hatinya. Ia rasa, ia harus berdamai dengan keadaan, dan mungkin ini bisa menjadi langkah awal. Semoga, hatinya tak lagi mengenal kecewa yang kesekian kalinya dari sosok lelaki.

Lathifah pun mengangguk, menyetujui tawaran Alam. Alam yang senang mendapatkan feedback baik dari Lathifah pun tak menyia-nyiakan kesempatan. Pria itu langsung membantu putrinya untuk duduk di sofa ruang tv.

"Sebentar ya, Ayah ambilkan dulu obatnya di kamar."

Tak butuh waktu lama, Alam pun sudah kembali dengan membawa kotak obat dalam tangannya, disusul oleh ibunya yang kini juga berada di sisi suaminya.

"Ya Allah Mba, kok bisa kayak gini sih?" suara panik sang ibu menyapa telinganya. Maklum saja, dari dulu Hanan begitu protective menjaga anak-anaknya. Segores luka saja ia tak mampu melihatnya.

"Tenang Bu, ini cuman luka kecil."

"Kecil dari mana? Sampai merak-merah kaya gitu."

"Tenang sayang, luka Lathifah baru mau aku obati. Kamu duduk saja ya, jangan cemas berlebihan. Tidak baik untuk janinmu." Mendengar ucapan suaminya, Hanan pun ikut duduk di sebelah putrinya.

Melihat Alam yang sedang mencoba membuka kaus kaki putri sulungnya, ada kehangatan yang menjalar ke dalam hatinya. Ia tak salah memilih seseorang yang bisa menerima dirinya juga anak-anaknya.

"Tunggu Mas, jangan langsung di kasih salep."

"Kenapa?"

"Sebaiknya kaki Mba Ifah disiram sama air mengalir dulu, suhu airnya normal aja, gak panas juga gak dingin. Supaya menetralisir rasa panasnya dulu, baru setelah itu di kasih salep."

"Kalo direndam di air bagimana?" Tanya Alam kepada sang istri.

"Gak papa, kalo gitu tunggu, aku ambilkan dulu air dan ember kecilnya."

"Biar Mas saja, kamu duduk saja di sini."

Sambil menunggu sang suami kembali, Hanan memandang hangat putrinya. Sangat merasa Bahagia ketika putrinya sudah mulai terbuka dan berusaha untuk menerima kehadiran suaminya.

"Makasih ya Mba, Ibu tau ini gak mudah bagi kamu. Pasti sangat berat ya menerimanya, di tengah kecewa yang masih ada." Ucap Hanan, seraya mengusap pipi bersih putrinya. Lathifah tak merespon banyak, ia hanya tersenyum tipis membalas ucapan ibunya.

Selang beberapa menit, Alam kembali. Ia langsung duduk, mensejajarkan dirinya dengan luka pada kaki putrinya.

Dengan sangat telaten ia mengobati kaki putrinya, dimulai dari merendam kaki Lathifah, kemudian mengeringkan kaki putrinya dengan handuk kecil, sampai berhati-hati ketika mengoleskan salep di area lukanya.

"Sudah, sekarang kamu istirahat saja. Biar ayah yang masak mie buat kamu." Ucap Alam, tanpa menunggu respon dari Lathifah, ia langsung pergi ke dapur.

Tinggallah ia berdua bersama sang ibu.

"Ibu, apa ibu Bahagia dengan adanya Om Alam?"

"Sudah lebih dari satu semester, dan Ibu tak menemukan sama sekali ketidak nyamanan dari Ayahmu. Karena Ibu yakin, Ayahmu akan membayar lunas rasa kecewa kamu Mba."

"Ck, Ibu. Udah kaya kuliah aja pake semester segala."

"Hehehe gak papa dong, gimana Ibu aja."

"Iya-iya, bumil mah bebas."

"Duh kayaknya Ayah ketinggalan sesuatu nih, lagi pada ngobrolin apaan sih kayaknya seru banget." Seru Alam tiba-tiba datang dengan membawa dua mangkok mie instan dalam nampan dan satu gelas susu.

"Loh, kok cuman dua mangkok?" tanya Hanan.

"Dua mangkok ini hanya untuk Mas dan putri sulung Mas, kamu susu saja. Jangan dulu makan-makanan yang instan-instan kaya gini." Ucap Alam yang dibalas wajah tak bersahabat istrinya.

"Kok gitu sih, aku juga kan pengin makan mie."

"Nanti ya, sekarang ini dulu aja oke. Kamu juga masih awal-awal kehamilan, janin kamu masih lemah. Jadi sebaiknya kita menghindari hal-hal yang memicu terjadinya resiko."

Mendengar penuturan suaminya, Hanan hanya mengangguk pasrah. Toh benar apa yang dikatakan Alam.

Melihat kedua orang dewasa di hadapannya, Lathifah agak sedikit geli. Mereka seperti pasangan yang baru merasakan hal seperti ini, padahal keduanya pernah mengalaminya masing-masing meski dengan orang yang berbeda. Tapi tak bisa dipungkiri, bahwa ada rasa haru yang tersely di hatinya. Menginginkan hal ini untuk selamanya ada, dan tak boleh hancur seperti dulu.

Sebenarnya mepunyai adik kembali di usianya yang sudah berkepala dua, bukan seperti mempunyai adik, melainkan anak. Mengingat usia Ibunya yang masih muda tidak menjadi masalah bagi kehamilannya sekarang.

Di pernikahan pertamanya, Hanan memang menikah di usia sangat muda. Yaitu, satu tahun sebelum ia lulus SMA. Bukan karena ada accident, melainkan perjodohan-perjodohan pada umumnya.

Hampir saja ia kelupaan sesuatu. Seharusnya sore ini ia ada pertemuan dengan kenalan Salma, yang akan mengisi di cafénya. Lathifah pun langsung mengabari Salma, memberitahu keadaannya yang belum bisa hadir dipertemuan kali ini. Ia akan menyerahkan keputusannya kepada Salma, ia percaya pilihan Salma tak akn pernah mengecewakan.

From: Me

To: Salmasofia

Assalamu'alaikum Sal, maaf sore ini aku belum bisa hadir di pertemuan kali ini. Qodarullah, kakiku kena air panas. Jadi aku serahin aja keputusannya sama kamu dan Kia, aku percaya pilihan kamu pasti gak akan ngecewain.

Ia pun meletakkan kembali ponselnya, kemudian menikmati suasana penuh kehangatan ini. 



🐾To Be Continue🐾

Vote and commentnya jangan kelupaan guys😉

Rahasia Rasa Milik Kita (SEGERA TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang