🐾 Happy Reading 🐾
Suara kaki-kaki kecil begitu riuh memenuhi pelataran masjid, usai menuntaskan shalat maghribnya mereka langsung bepergian ke luar masjid, untuk melanjutkan permainan yang sempat tertunda karena harus melaksanakan kewajiban yang tak boleh tertinggal.
Ada pula dari mereka yamg berdiam diri, sekedar memperhatikan teman yang lainnya, juga ada yang langsung membawa mushaf kecil untuk ia baca bersama ibunya.
Tak masalah. Sebab yang terpenting, mereka harus merasa nyaman terlebih dahulu dengan adanya mereka di sini. Agar kelak ketika dewasa nanti, ketika mereka mencari kenyamanan, dan ketenangan, masjidlah yang akan mereka cari. Ibaratkan gelap yang mencari terangnya.
Kembali pada ingatannya ketika shalat tadi, dimana untuk pertama kali setelah sekian lama, ia mendengar suara itu kembali. Suara yang membuatnya jatuh hati kala mendengarnya untuk pertama kali, bahkan sebelum ia mengetahui siapa pemiliknya.
Suara itu masih sama, lembut, hangat dan sejuk bagi siapa saja yang mendengarkannya.
Hatinya begitu lemah, hanya karena mendengar suaranya saja, sudah membuat jantungnya merasakan hal yang serupa, sama seperti dulu ia rasakan, tak ada yang berbeda.
Kini Lathifah masih menunggu Kia yang berada di toilet, dan Salma yang mungkin sedang merapihkan jilbabnya seusai sholat. Kebetulan sekali, saat ini Lathifah sedang berhalangan untuk shalat. Jadi ia bisa dengan leluasa bernostalgia ke masa-masa itu, tanpa harus ada yang merecoki.
Tepukan pada bahu sebelah kanan, membuat Lathifah menoleh ke arah belakan. Ternyata sudah ada Salma dengan senyum sumringahnya, dan itu membuat kegusaran di hatinya. Ia yakin pasti Salma akan menyampaikan sesuatu setelah ini.
"Maasyaallah Fah, baru kali ini gue ngedengerin suaranya dengan durasi waktu yang cukup lama. Dua rakaat salat kayaknya belum cukup buat gue dengerin suaranya yang ademmm. Soalnya nih ya, pas pertama kali gue denger dia ngaji itu, udah diakhir-akhir menjelang shadaqallahu'adziim."
"Lebay lo, kayal baru nemu aja. Banyak kali yamg suaranya jauh lebih adem dari dia." Timpal Kia yang ternyata sudah kembali dari toilet.
"Kebiasaan banget sih nyambung mulu, kabel aja gak ada."
"Suka-suka gue dong."
"Nyebelin banget si, orang gak ada yang ngajak lo ngobrol juga."
"Dih, suka-suka gue juga dong mau nyambung apa nggak."
"Lo tu ya."
"Udah-udah, kok kalian malah berantem kayak gini sih."
"Dia tuh yang duluan, orang gue mau minta pendapat lo kalo suaranya Faza itu ngademin banget kan? Iya kan Fah?" tanyanya menuntut jawaban pada Lathifah.
"Hem, iya maasyaallah. Ya udah yu ah, balik ke café." Ajaknya yang tak ingin berlama-lama di sini, karena pasti akan membuat Salma terus-terusan membahas hal ini, yang jelas tak baik untuk kesehatan mental dan hatinya. Berlebihan memang, tapi itulah yang ia rasakan.
✨✨✨
Setelah ia pikir-pikir kembali, apa yang dikatakan Gandi tak ada salahnya untuk dicoba. Karena selama ini, dia sama sekali tidak tahu mengetahui alasan Faza yang tiba-tiba menghilang. Tapi dengan mudahnya ia melimpahkan semua kekesalannya dengan bersikap egois, merasa bahwa di sini ialah yang berhak sakit hati. Menyalahkan Faza, tanpa memberi kesempatannya untuk menjelaskan.
Sebenarnya bukan salah Faza, karena memang dari dulu Faza tidak pernah sekali pun menunjukkan dengan jelas apa yang sebenarnya ia rasakan pada Lathifah. Jika ada sikap baik yang ia tunjukkan, sepertinya itu bukan semata-mata ia mempunyai rasa yang sama, mungkin saja hanya sebatas menghargai. Sudah biasa bukan bagi wanita merasakan baper, hanya karena perhatian-perhatian kecil?
Memang benar adanya, jika terkadang ketika perasaan kita sedang terombang-ambing, yang mampu menenangkan hati hanyalah diri kita sendiri, karena kita yang mengetahui masalah dan apa yang dibutuhkan untuk menghadapinya.
Sekeras apapun ia menepis rasa, pada akhirnya hati lembut itu tetap tersentuh. Jadi perempuan itu banyak kebimbangannya, cuek disangkanya gak peka-peka, eh giliran sudah peka disangkanya kege-eran.
Serba salah kan?!
Maka dari itu, penjajahan akan perkataan-perkataan dan tindakan-tindakan yang tidak jelas harus dimusnahkan. Karena sangat tidak berpengaruh baik bagi hati perempuan.
Terkadang bagi laki-laki yang merupakan makhluk simple, tak cukup hanya menunjukkan perilaku saja. Karena bisa jadi perempuan yang kalian hadapi, tidak memiliki kepekaan yang tinggi, atau tingkat pedenya yang rendah. Jadi ungkapkan lah rasa itu, walaupun bagi kalian tak terlalu penting, dibandingkan dengan bukti yang sudah kalian tunjukkan.
Kenapa?
Kembali lagi ke rumus awal, perempuan itu makhluk lemah jika sudah menyangkut dengan perasaan.
Lathifah pun mengambil ponselnya, mengirimkan pesan kepada Gandi dan Kia, selaku saksi bisu kisah abstrak di antara mereka.
Gandi
Ndi, aku mau coba saran kamu
Kia🐻
Ki temenin aku ngobrol sama Faza
🐾To Be Continue🐾
Ay aayy, baru mau masuk ke penjelasan konflik nih guyssss. Pada penasaran gak sih sama keabstrakan kisah Lathifah dan Faza dulu?
Kalo penasaran spam comment:
✨
Buat yang greget sama konfliknya:
🐾
Dan untuk kalian yang support sama cerita ini:
Jangan lupa vote dan comment sebanyak-banyaknya🔥
So, next gak nih?😎
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Rasa Milik Kita (SEGERA TERBIT)
Romansa"𝐒𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐡𝐚𝐭𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤𝐧𝐲𝐚. 𝐓𝐚𝐩𝐢, 𝐚𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐡𝐚𝐭𝐢 𝐢𝐭𝐮 𝐝𝐢𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤𝐢 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚?" Begitu sekiranya pertanyaan yang ada dalam benak Lathifa Putri Anindita. Selalu mempertany...