🐾Happy Reading🐾
Riuh pengunjung mulai surut dari waktu ke waktu. Waktu pun sudah begitu larut malam, tinggal tersisa tiga sekawan dan dua pelayan pria yang sedang merapihkan cafe, agar segera ditutup.
"Wuhhh, akhirnya beres juga."
"Iya, sumpah, gue capek banget hari ini. Mana banyak banget pengunjung, pesenan kagak berhenti-berhenti. Apalagi tadi banyak banget yang mau pada minjem buku. Gue heran, sebenernya kita buka cafe apa perpustakaan sih." Keluh Salma.
"Alhamdulillah, berarti tandanya mereka se-excited itu sama adanya cafe ini. Terlebih bukan hanya makanan dan minuman yang kita sediakan, buku-buku bacaan juga ada. Jadi mereka gak hanya sekedar nongkrong, tapi juga bisa ngerjain tugas kuliah dengan buku-buku yang tersedia. Mereka juga bisa baca dan minjem buku, yang belum bisa mereka beli sendiri."
Bisnis coffee book ini, memang sudah mereka rencanakan dari semester dua masa perkuliahan. Hanya saja baru terealisasikan di semester-semester terakhir masa kuliah mereka. Karena mempersiapkan semua ini, bukanlah suatu hal yang mudah. Untuk mencari modal saja, mereka rela berjualan berbagai macam, mulai dari makanan, minuman, alat kecantikan dan lain-lain, selama 4 semester.
Belum lagi mereka harus mengumpulkan buku-buku hasil donasi, yang kini tersusun rapi menghiasi sebagian sudut cafe ini. Meskipun sebagian buku yang ada di sini adalah milik mereka masing-masing. Terutama Lathifah yang paling banyak mendonasikan buku-bukunya.
"Iya sih, tapi kalo setiap hari kayak gini, kita juga yang gempor. Mana semester akhir ini lagi sibuk-sibuknya skripsian. Kayaknya kita perlu nambah satu atau dua karyawan deh. Satu untuk di cafe, satunya lagi di bagian administrasi. Soalnya kasian si Intan harus bolak-balik ke sana, ke sini." Ucap Salma.
"Tapi kalo untuk sekarang kayaknya belum bisa. Lima karyawan aja, itu udah lumayan kita bagi-bagi jatahnya. Jadi, kita usahain dulu aja sendiri. Kita juga beda-beda jadwal kuliah, jadi bisa ganti-gantian."
"Nah itu dia masalahnya teman." Ujar Kia sembari menepuk keras pundak Salma. "Eh, pulang yuk, udah mau jam sebelas lewat nih." Sambung Kia, tak membiarkan Salma membalasnya. Salma hanya mendelik malas menanggapi tingkah sahabatnya.
"Iya nih, udah malem banget. Pasti Ibu nungguin deh. Kalo gitu, aku duluan ya."
"Kamu pulang sama siapa Fah?" tanya Kia.
"Aku udah hubungin Mang Jeje sih." Jawabnya.
"Ya Allah, awet bener ya ojek pengkolan rumah lo. Dari jaman SMA loh, hati-hati ntar dijadiin yang kedua."
"Satu aja Mang Jeje udah kelabakan, apalagi dua."
"Tau banget kayaknya kamu Faa." Timpal Kia.
"Gimana aku gak tau, setiap di perjalanan ngajak curhat mulu. Serasa jadi Mamah Dedeh aku."
"Hihihi, curhat dong Fah, iya dong." Ujar Salma membuat mereka terkikik geli.
"Ih dosa kamu sama ahli ilmu." Kata Lathifah.
"Hehe iya-iya, maapin."
Candaan sederhana, menutup kegiatan mereka di malam ini. Ketiganya sama-sama beranjak dari tempat duduknya, bersiap-siap untuk pulang dan segera beristirahat. Karena hampir seharian disibukan dengan acara launching coffee book mereka.
Kedua sahabatnya kini sudah pulang, menggunakan kendaraannya masing-masing. Kini hanya tersisa Lathifah seorang diri di parkiran cafe. Sebenarnya masing ada satu karyawan di dalam, tapi mungkin masih sibuk bersih-bersih.
Dalam diamnya, Lathifah tampak memikirkan sesuatau. Ia teringat akan buku diary tempo lalu, yang diberikan oleh Salma. Itu bukan miliknya, tetapi designnya begitu sama persis dengan buku miliknya, yang membedakannya hanya dari segi warna. Jika diingat-ingat, buku itu tak mungkin dimiliki oleh orang lain selain dirinya dan salah satu temannya. Lathifah hafal betul, jika warna buku milik temannya itu adalah semu-semu jingga. Pasalnya, buku ini yang men-designnya adalah temannya sendiri.
Suara dering ponsel, menyadarkannya dari lamunan itu. Tertera nomor tanpa nama di layar kaca ponselnya, dengan ragu ia pun mengangkat panggilan itu.
"Hey anak gadis, sedang apa kamu sendirian malam-malam di luar rumah. Tidak tahukah itu sangat berbahaya?" ucap seseorang di sebrang sana. Lathifah mrngepalkan tangannya kuat, berusaha menahan emosi agar tak meluap dengan hebat.
Awalnya Lathifah bingung, mengapa orang ini bisa tahu posisinya sekarang. Tetapi sepertinya tidak perlu diherankan lagi, sebab orang itu akan selalu jadi penguntit hidupnya. Selalu mengusik kehidupannya yang jauh dari kata tenang. Entah sampai kapan ia akan berhenti.
"Apa mau bapak?" tanya Lathifah pada akhirnya.
"Tidak banyak, hanya dua juta saja." Lathifah mengusap wajahnya kasar. Habis sudah kesabarannya lama-lama. Ini tidak bisa dibiarkan, tapi ia juga belum menemukan solusinya.
"Aku gak ada uang segitu Pak. Untuk semester ini pun aku masih berusaha untuk ngumpulin uang."
"Tidak usah bohong. Saya tahu, cafemu terlihat sangat ramai hari ini. Masa iya tidak menghasilkan uang hanya dua juta saja."
"Pak, tolong jangan ganggu aku untuk beberapa waktu ini. Kalau bapak memang butuh, usahakan saja dulu sendiri. Bukankah terbalik, seharusnya aku yang meminta hakku sama bapak."
"Anak tidak tahu terima kasih, memangnya kamu bisa hidup sampai sebesar ini karena siapa hah?" sentaknya dengan begitu emosi.
"Aku hidup sampai sekarang karena usaha Ibu dan usahaku sendiri, tanpa campur tangan Bapak. Jadi tolong jangan bersikap seolah bapak berperan hebat dalam setiap pencapaianku."
Setelah mengungkapkan kekesalannya, Lathifah pun langsung memuruskan panggilan itu. Ia pun cepat-cepat ber-istighfar, memohon ampun atas ucapan yang sebenarnya tak pantas untuk ia lontarkan pada sosok yang menghadirkannya ke dunia. Ia tahu, baik buruknya pria itu tetaplah orang tunya, yang seharusnya ia hormati. Tetapi bagaimana jika ego dan hatinya justru tak sejalan.
Teriakan seorang lelaki paruh baya dari ujung sana terdengar begitu lantang menyebut namanya, sangat mengganggu pendengaran dan perasaan Lathifah.
"Dasar anak tak tahu diuntung." Ucap lelaki itu, berjalan cepat dengan balok kayu dalam genggamannya. Bersiap-siap untuk memberikan pelajaran pada putri sulungnya.
Lathifah yang tak siap dengan kejadian itu pun hanya memejamkan mata, dengan tubuh dingin yang terlihat bergetar ketakutan. Hanya telinganya yang aktif mendengar keras suara pukulan, disusul dengan teriakan seseorang yang tak asing di pendengarannya.
"MENYINGKIRLAH!"
🐾To Be Continue🐾
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Rasa Milik Kita (SEGERA TERBIT)
Romansa"𝐒𝐞𝐭𝐢𝐚𝐩 𝐡𝐚𝐭𝐢 𝐦𝐞𝐦𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚𝐢 𝐩𝐞𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤𝐧𝐲𝐚. 𝐓𝐚𝐩𝐢, 𝐚𝐩𝐚𝐤𝐚𝐡 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐡𝐚𝐭𝐢 𝐢𝐭𝐮 𝐝𝐢𝐦𝐢𝐥𝐢𝐤𝐢 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐬𝐞𝐥𝐚𝐢𝐧𝐧𝐲𝐚?" Begitu sekiranya pertanyaan yang ada dalam benak Lathifa Putri Anindita. Selalu mempertany...