Chapter 01: Jejak di hutan

166 116 62
                                    

Pagi itu, matahari bersinar cerah di langit biru tanpa awan. Udara segar di Bumi Perkemahan Nasional terasa menyegarkan paru-paru, membangunkan semangat para pramuka yang sudah bersiap menjalani hari kedua mereka. Bendera pramuka berkibar di setiap sudut, ditemani suara kicauan burung yang melengkapi suasana alam yang tenang. Namun, di balik ketenangan itu, ada semangat yang menyala-nyala di antara regu Rian dan teman-temannya.

Rian mengatur regunya, memastikan semua siap untuk tantangan hari ini. Mereka berdiri dalam lingkaran, saling memberi semangat sebelum memulai aktivitas. Nadya tampak antusias, matanya berbinar saat ia berbicara tentang rencana mereka. "Hari ini kita harus lebih baik dari kemarin. Aku yakin, kalau kita kompak, kita bisa jadi regu terbaik," katanya dengan penuh semangat.

Alvin, dengan tangan penuh peta dan kompas, menatap Rian. "Rian, kita harus cepat berangkat. Tantangan navigasi kali ini tidak mudah. Mereka bilang ada rute yang belum pernah dijajal sebelumnya," ujarnya serius. Alvin memang selalu penuh perhitungan. Rian mengangguk, setuju dengan saran Alvin. Dia tahu bahwa tantangan ini bukan sekadar berjalan di hutan. Mereka harus berpikir cepat, bekerja sama, dan mengatasi hambatan alam yang tidak terduga.

Setelah semua siap, mereka memulai perjalanan memasuki hutan lebat. Gilang memimpin di depan, matanya awas memperhatikan setiap jejak dan tanda di sekitar mereka. Sebagai pengamat alam, dia sudah terbiasa membaca jejak hewan dan menebak arah berdasarkan pergerakan angin dan posisi matahari. Gilang berhenti sejenak, mengangkat tangannya agar regu lainnya juga berhenti.

"Ada sesuatu di sini," bisiknya sambil menunduk, memeriksa bekas jejak kaki di tanah yang lembab. "Ini bukan jejak kita, dan sepertinya bukan jejak pramuka lain. Mungkin milik penjaga hutan atau… sesuatu yang lebih liar." Semua menahan napas, mendengarkan penjelasan Gilang. Di tengah hutan, rasa ingin tahu mereka semakin memuncak.

Di saat yang sama, Nadya mencatat rute di buku catatannya, memastikan mereka tidak tersesat. Dia mengangkat pandangannya, tersenyum pada Naufal yang sibuk merakit alat survival dari ranting-ranting yang mereka temukan. "Naufal, bagaimana kalau alat ini gagal?" tanya Nadya iseng. Naufal hanya tersenyum tipis, meyakinkan Nadya dengan nada percaya diri. "Kita tidak akan gagal. Kita punya semua yang kita butuhkan di sini."

Setelah beberapa saat berjalan, regu mereka tiba di sebuah sungai kecil yang mengalir deras, menghalangi jalan mereka. Airnya jernih, tapi alirannya cukup kuat untuk membuat mereka berpikir dua kali sebelum menyeberang. Bagas, yang biasanya penuh percaya diri, ragu untuk melangkah lebih dulu. Rian memandang sekeliling, mencari alternatif. Tapi tidak ada jembatan atau batu besar yang bisa digunakan sebagai pijakan.

"Kita harus membuat jembatan darurat," saran Alvin. "Kita bisa gunakan ranting-ranting besar yang tadi kita temukan."

Dengan kerja sama yang solid, mereka mengumpulkan ranting dan batang pohon yang cukup kuat untuk dijadikan jembatan sementara. Gilang dan Bagas bekerja sama menempatkan ranting-ranting itu di atas air, sementara Tika dan Naufal memastikan keseimbangan jembatan. Saat akhirnya jembatan itu berdiri kokoh, satu per satu mereka menyeberangi sungai dengan hati-hati.

Setelah berhasil menyeberang, mereka melanjutkan perjalanan, melewati rimbunan pohon yang semakin lebat. Suara dedaunan yang terinjak dan cuitan burung-burung di atas kepala menambah suasana misteri. Saat itu, Nadya tiba-tiba berhenti dan mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua berhenti. "Lihat ini," katanya, menunjuk sebuah tanda di pohon besar.

Di batang pohon, terukir sebuah simbol yang aneh—bukan simbol pramuka biasa, tapi lebih seperti petunjuk kuno yang pernah Rian lihat dalam buku sejarah pramuka. Alvin mendekati pohon itu, memeriksa simbolnya dengan teliti. "Ini bukan kebetulan. Ini simbol yang sama dengan yang ada di peta harta karun yang kita bahas semalam," Alvin menyuarakan kegelisahan yang dirasakan oleh semua.

Rian memandang simbol itu dengan serius, pikirannya berputar memikirkan apa yang harus dilakukan selanjutnya. "Apakah ini artinya kita sudah dekat dengan harta karun itu?" gumam Rian, setengah bertanya pada dirinya sendiri. Nadya menepuk bahu Rian, memberikan dukungan. "Kalau memang ini petunjuknya, kita harus ikuti. Ini mungkin kesempatan kita untuk jadi yang pertama menemukan harta karun legendaris itu."

Mereka melanjutkan perjalanan dengan semangat yang baru. Gilang terus memantau jejak, memastikan mereka tidak keluar jalur. Naufal dengan cepat menyiapkan alat-alat survival yang mungkin mereka butuhkan jika situasinya memburuk. Tika, yang biasanya ceria, kini tampak serius. Ia tahu bahwa perjalanan ini lebih dari sekadar tantangan pramuka biasa.

Langkah mereka semakin cepat saat Rian merasa ada sesuatu yang besar sedang menunggu di ujung perjalanan ini. Hutan semakin lebat, jalan semakin sulit dilalui, dan tantangan semakin beragam. Tapi Rian tahu, bersama regunya, mereka bisa mengatasi apa pun.

Mereka tiba di sebuah lapangan kecil yang dikelilingi pohon-pohon besar. Di tengahnya, ada tumpukan batu yang tampak tidak alami. Batu-batu itu disusun dengan rapi, seolah menjadi tanda atau monumen dari masa lalu. Hati Rian berdegup kencang. Inilah yang mereka cari. Dengan hati-hati, mereka mendekati tumpukan batu tersebut. Tapi sebelum mereka bisa menyentuhnya, terdengar suara gemerisik dari balik semak-semak.

Rian memberi isyarat untuk berhenti. Nadya meraih tongkat pramuka di tangannya, bersiap untuk segala kemungkinan. Dari balik semak-semak, muncullah sosok seorang pria tua dengan seragam pramuka yang sudah lusuh. Matanya tajam dan penuh rahasia, menatap Rian dan regunya dengan pandangan yang sulit diartikan.

"Siapa kalian?" tanyanya dengan suara yang dalam dan tenang.

Rian maju selangkah, menjawab dengan sopan tapi tegas, "Kami dari Regu Elang, Pak. Kami sedang mengikuti tantangan navigasi, dan kami menemukan simbol ini. Kami hanya ingin tahu lebih lanjut."

Pria tua itu tersenyum tipis, lalu mengangguk pelan. "Kalian telah menemukan jejak yang benar. Tapi ingat, perjalanan kalian baru saja dimulai. Harta karun yang kalian cari bukan hanya sekadar benda, tapi pelajaran tentang persahabatan, keberanian, dan kejujuran. Jika kalian siap, lanjutkanlah. Tapi jika tidak, pulanglah sekarang sebelum terlambat."

Rian menatap teman-temannya, mencari keyakinan di mata mereka. Ia melihat semangat yang sama, tekad yang sama, dan persahabatan yang lebih kuat dari sebelumnya. Dengan hati yang mantap, Rian memutuskan. "Kami akan lanjutkan, Pak."

Pria tua itu mengangguk lagi, kemudian melangkah mundur dan menghilang di balik semak-semak, seolah menjadi bagian dari hutan. Rian menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah maju bersama regunya. Petualangan mereka baru dimulai, dan mereka siap menghadapi apa pun yang menanti di depan.

Petualangan Di Bumi Pramuka [ SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang