Bab 10

120 33 0
                                        

PHARGAI KARYA PENULIS DENGAN MEMBERIKAN VOTE DAN KOMEN KALIAN. SATU VOTE DAN KOMEN SANGAT BERARTI BUAT LARA.

*

*

*

*

-•☆✿☆•-

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

-•☆✿☆•-

Di sebuah kamar yang remang-remang, seorang pria duduk meringkuk di pojok ruangan. Tubuhnya gemetar hebat, bukan hanya karena dinginnya malam, tetapi juga karena rasa takut yang mendalam.

Di luar, petir menggelegar, suaranya memecah keheningan dengan keras dan menyambar ingatannya. Setiap kilatan cahaya dan dentuman di langit seolah menariknya kembali ke masa lalu yang menyakitkan.

Matanya terpejam erat, mencoba mengusir bayangan itu, tapi semakin keras ia mencoba melupakan, semakin jelas kenangan itu hadir. Di kepalanya, ia kembali ke gudang yang gelap dan sempit, tempat ibunya pernah mengurungnya. Malam-malam yang dilaluinya dengan rasa lapar, takut, dan sakit akibat pukulan yang tak henti-hentinya. Udara malam yang lembap, suara hujan yang menghantam atap, dan kilat yang menerangi sejenak sudut gudang itu, semuanya terasa sama seperti malam ini.

Setiap detik berlalu dengan pelan, seakan waktu mempermainkannya. Teriakan ibunya, rasa perih di tubuhnya, dan ketidakberdayaan yang begitu kuat menyelimuti dirinya saat itu, kini kembali hadir dengan kejam.

Tubuhnya semakin menggigil, bukan hanya karena cuaca, tapi karena trauma yang terus menghantuinya. Meski ia berusaha melawan, rasa takut itu terlalu kuat, mencengkeram hatinya dengan keras. Di pojok kamar itu, ia hanya bisa berharap agar suara petir berhenti, agar malam ini segera berakhir.

Di tengah deru hujan dan gelegar petir, pintu kamar perlahan terbuka. Sosok seseorang berdiri di ambang pintu, matanya terbelalak tak percaya melihat pemandangan yang ada di depannya.

Cahaya redup dari lorong hanya menyorot sebagian ruangan, tapi cukup untuk melihat remaja laki-laki yang meringkuk ketakutan di pojok. Sosok itu berhenti sejenak, mencoba memahami apa yang sedang terjadi, lalu langkahnya perlahan mendekat, penuh kehati-hatian.

"Kak Mark?" Suaranya lembut, namun jelas terdengar ada nada khawatir yang terselip. Ia memanggil nama pria itu dengan ragu, takut mengejutkan atau membuatnya semakin ketakutan. Langkahnya semakin mendekat, dan wajahnya dipenuhi kebingungan bercampur kecemasan.

Mark tidak merespons. Tubuhnya masih bergetar, tatapannya kosong meskipun matanya terbuka sedikit, seolah terperangkap dalam dunianya sendiri. Sosok itu mendekat lagi, lututnya berlutut di depan Mark, tangan terulur perlahan, mencoba menyentuh bahunya dengan lembut.

7 Bayangan Rumah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang