19. Pulang

220 21 2
                                    

Gantari keluar dari kamar dengan wajah yang sembab, matanya masih memerah, dan bibirnya sedikit gemetar. Tas di tangannya tergantung lemas, isinya baju-baju yang dia bawa ketika pertama kali datang ke rumah itu. Langkah kakinya terasa berat, namun ada dorongan kuat dalam hatinya untuk pergi. Pergi dari semua kebingungan dan rasa sakit yang membelenggu perasaannya selama ini.

Devan yang sedang duduk di ruang tamu bersama keluarganya kaget saat melihat Gantari akhirnya keluar kamar. Devan bangkit dengan tergesa-gesa menghampiri Tari untuk mengajaknya bicara, tapi dia terkejut melihat Gantari sudah bersiap pergi.

"Dek, kamu mau ke mana?"

Gantari berhenti sejenak, menghindari tatapan mata Devan. Matanya menatap lantai, tak ingin ada pertanyaan lagi. Dia sudah terlalu lelah untuk menjelaskan.

"Aku mau pulang," jawab Tari pelan.

Devan semakin khawatir. "Pulang? Kalo gitu ayo kita pulang bareng, biar Mas yang anter ke rumah." Devan menawarkan diri, dia pikir istrinya ingin pulang ke rumah mereka.

"Gak usah. Aku mau ke rumah ibu."

Semua orang terkejut mendengar jawaban Gantari, tapi mereka tak berani ikut campur urusan kakak lelaki dan iparnya itu.

Devan langsung menghalangi pintu dengan tubuhnya saat Gantari hendak melangkah pergi. "Kamu gak bisa pergi gitu aja, rumah ibu jauh, Dek. Kamu gak mungkin pergi sendiri. Ayo pulang ke rumah, kita bicarakan masalah kita."

"Masalah kita? Mas, ini lebih dari sekadar masalah. Apa dengan bicara aja bisa bikin semuanya membaik? Nggak, kan. Jadi, buat apa?" Gantari menatap Devan dengan nanar.

Devan menggenggam lengan Gantari dengan kuat

"Dengerin dulu penjelasanku. Mas gak bermaksud bikin kamu dan Nada--"

"Stop!" Gantari memotong ucapan Devan berusaha melepaskan genggaman Devan pada tangannya. "Hentikan, Mas. Aku gak mau denger alasan kamu, aku gak mau denger nama Nada lagi. Biarin aku pulang, terserah Mas mau gimana, tapi aku mau ke rumah ibu."

Suara Gantari bergetar, menahan air mata. Mama Hanum tak kuasa melihat pertengkaran anak dan menantunya, beliau ingin melerai tapi tak mau ikut campur dan semakin memperkeruh suasana.

"Mas gak pernah berniat nyakitin kamu. Tolong, jangan pergi. Mas gak bisa hidup tanpa kamu. Biar Mas yang antar, ya?" Devan menawarkan diri, suaranya penuh harapan. "Aku bisa bawa kamu sekarang, jangan naik taksi. Mas bisa jelasin semuanya, kita bisa bicara di jalan."

Tari menatapnya untuk pertama kali sejak keluar dari kamar. Rasanya dia muak melihat tingkah Devan yang tanpa rasa bersalah.

"Nggak perlu, Mas. Aku udah pesan taksi."

"Dek, please. Jangan kayak gini. Aku nggak mau kamu pergi dengan keadaan kayak gini," kata Devan, nadanya mulai mendesak. "Kita bisa selesaikan ini baik-baik."

Tapi Tari menggeleng. "Mas, dari awal aku udah pernah bilang sama kamu. Berbohong resikonya kehilangan. Selingkuh resikonya kehancuran. Menyepelekan hal kecil, resikonya Mas cuma dianggap main-main. Aku udah hancur sekarang, jangan bikin aku lebih hancur lagi."

Devan terdiam, lidahnya kelu, ingin sekali dia mengatakan sesuatu, tapi apa pun yang keluar dari mulutnya tak berarti apa-apa.

Sebuah klakson terdengar dari luar rumah, menandakan taksi yang Tari pesan sudah tiba.

"Ma, Tari pulang dulu, ya." Gantari berpamitan pada Mama Hanum yang iba melihatnya. Beliau bahkan tak bisa mencegah Gantari supaya tidak pergi. Beliau merasa malu jika harus menyakiti menantunya itu.

Devan mencoba menarik napas panjang, tetapi dadanya terasa sesak. "Dek, Mas mohon jangan pergi kayak gini."

Gantari tidak menjawab. Dia hanya mengusap air mata dan menggenggam erat tali tasnya, kemudian berjalan menuju taksi.

"Dek ... ayo kita bicara dulu!"

Devan mencoba mengejar, tapi Gantari mengabaikannya, dengan cepat dia membuka pintu mobil. Devan kewalahan dia berteriak memanggil istrinya yang sudah masuk ke dalam taksi dan melaju menjauh membawa pergi Gantari dan semua harapan yang dia punya untuk memperbaiki segalanya.

Devan hanya bisa berdiri terpaku di sana, merasa dunia seolah runtuh di sekelilingnya.

***

Setibanya di rumah, Gantari keluar dari taksi dengan langkah berat. Wajah sembab dan matanya yang bengkak memberi isyarat bahwa sepanjang perjalanan tadi dia menangis di dalam mobil. Gantari mengabaikan telepon dari Devan, pria itu berusaha untuk mengajak Gantari bicara, tapi semua sudah terlambat untuk dibicarakan.

Bahkan sopir taksi pun iba melihat penumpangnya menangis.

Sesampainya Gantari di kota kelahirannya, dia menghela napas cukup panjang, berusaha menyingkirkan perasaan sedih dan ekspresi wajah yang sembab. Dia tidak mau orang tuanya terkejut melihat kekacauan Gantari

Gantari mengetuk pintu, suasana sekitar rumahnya tampak sunyi. Tidak ada siapa pun di sana, Gantari berpikir ibunya pergi ke pasar seperti biasa. Namun, tak berapa lama kemudian pintu terbuka. Ibu berdiri di ambang pintu, matanya melebar saat melihat putrinya pulang tanpa mengatakan apa pun sebelumnya.

"Gantari? Kenapa kamu gak ngasih tau ibu dulu?" Ibu tampak cemas. Gantari mencium tangannya takzim. "Pulang naik apa kamu ke sini, tiba-tiba aja dateng. Pas banget ibu lagi bikin masakan kesukaan kamu. Ayo masuk."

Gantari hanya bisa tersenyum pahit, ibu segera menyuruhnya masuk dan beristirahat. Gantari hanya mengangguk lalu memasuki rumah dengan langkah berat. Mereka duduk di sofa, ibu penasaran kenapa anaknya tiba-tiba pulang.

"Kenapa kamu pulang sendiri? Mana Devan?"

Gantari sudah menduga ibunya akan bertanya hal itu. Ibu sudah terbiasa dikunjungi Gantari bersama Devan. Jadi, saat anaknya pulang sendiri naik taksi, ibu jadi heran.

"Tari kangen ibu, makanya pulang."

Hanya itu kalimat yang bisa Gantari katakan. Dia belum punya keberanian untuk menceritakan masalah rumah tangganya yang sedang renggang bahkan nyaris rusak. Gantari takut menyakiti ibu. Ibu pasti akan lebih terluka saat tahu kebenarannya.

"Devan gak bakal nyariin kamu, kan? Kamu bilang dulu sama dia sebelum ke sini?"

Gantari hanya mengangguk, dia tidak mau mendengar nama itu untuk sementara. Rasanya seperti benar-benar hancur. Gantari lelah dan butuh istirahat. Membayangkan Nada dan Devan melakukan perbuatan bejat itu membuat ulu hatinya semakin sakit.

"Ibu, Tari kangen."

Gantari tiba-tiba memeluk ibu, erat sekali. Dia bahkan menangis di pelukan beliau, tentu saja hal itu membuat ibu kaget.

Ibu langsung mengusap kepala putrinya, beliau tidak tahu apa yang terjadi pada rumah tangga Gantari. Namun, melihat anaknya pulang dengan kondisi kacau membuat beliau bertanya-tanya apakah anaknya sedang ada masalah dengan Devan. Hanya saja, ibu tidak mau mendesak Gantari untuk bicara dan membiarkan Gantari menangis dalam pelukannya sampai lega.

Gantari berusaha untuk tidak peduli pada Devan. Hatinya telanjur sakit saat Nada bilang bahwa dia hamil anak suaminya. Hal yang jauh lebih menyakitkan dari itu, selama ini Devan berbohong.

"Jangan nangis, ibu di sini. Ibu masak oseng tempe kacang panjang kesukaan kamu. Ayo kita makan."


TO BE CONTINUED

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang