28. Cocok

215 28 6
                                    

Gantari melangkah pelan ke kafe kecil di sudut jalan. Hari ini, dia ada janji temu dengan Kinan. Sebelum pergi ke toko miliknya, Gantari menyempatkan diri untuk bicara dengan sahabatnya.

Begitu masuk, aroma kopi dan kue langsung menyambutnya, Kinan sudah menunggu di meja pojok.

"Tari! Akhirnya datang juga!" seru Kinan. "Gue udah pesenin cappuccino kesukaan lo."

"Kamu udah lama nunggu?" Gantari duduk di hadapan sahabatnya.

"Baru aja nyampe kok, gue langsung pesen minum. Lo gak bawa masalah kan?" Kinan melirik dengan mata tajam, lalu bersandar di kursi sambil menyilangkan tangan di dada.

Gantari tersenyum tipis. Apakah ekspresi susahnya sangat mudah dibaca?

"Heh, gak separah itu, Nan."

Mereka mengobrol hal-hal ringan, Tari sesekali tertawa kecil mendengar cerita Kinan yang lucu, tapi tak lama dia akan melamun lagi. Tentu hal itu tak lepas dari pantauan Kinan.

Kinan memiringkan kepalanya, menatap Gantari penuh perhatian. "Gue paham banget sama lo, Ri. Lo nggak pernah diem melamun kayak gini kalau nggak ada apa-apa. Jangan bohong sama gue, ya."

Gantari memainkan ujung gelas di depannya, matanya menerawang. "Ya ... emang ada sesuatu sih. Tapi, aku belum siap ngomongin."

"Lo nggak siap ngomong atau nggak mau ngomong, Ri?" Kinan mencondongkan tubuhnya, wajahnya serius. "Udah, cerita. Jangan dipendem terus."

Gantari menghela napas, lalu akhirnya berbicara pelan. "Biasa, lagi mikirin pernikahanku sama Mas Devan."

Kinan mengangkat alis. "Kenapa? Ada masalah sama Devan?"

"Ya, bisa dibilang gitu. Ada sesuatu yang bikin kami renggang."

Kinan menatapnya dalam-dalam. "Apa? Jangan setengah-setengah, Ri. Kalau nggak diceritain, gue juga gak bakal bisa bantu lo."

Kinan menatap Gantari serius, menunggu wanita itu menjelaskan apa masalahnya. Sayangnya, Gantari hanya diam saja. Kinan tahu dia pasti tak siap. Biasanya Kinan sudah bisa menduga kalau masalah Devan pasti menyangkut Nada, tapi kali ini ....

"Dia hamilin Nada."

Sekejap, tangan Kinan yang sedang menggenggam cangkir berhenti. Tatapannya berubah serius, lalu dia meletakkan cangkir itu dengan pelan.

"Serius lo!"

Kinan melotot, tak percaya dengan kabar buruk ini. Tak disangka pertemanan Devan akan bablas sejauh itu. Kinan tak bisa membayangkan bagaimana perasaan Gantari sekarang.

Gantari mengangguk pelan, air matanya mulai menggenang di sudut mata. Membayangkan kembali hari itu rasanya seperti berada di tepi jurang dan secara tiba-tiba didorong ke dasar sana oleh orang terdekat.

Kinan menggeser duduknya bersebelahan dan langsung memeluk Gantari. Tangis wanita itu tumpah saat akhirnya mendapat dekapan hangat, dekapan yang dia tunggu sekian lama setelah melewati hari-hari panjang di rumah itu.

"Ri, udah jangan nangis." Kinan mengusap punggungnya. "Gak usah pulang ke rumah itu lagi, udah sementara ini tinggal sama gue aja, ya."

"Gak bisa, Nan. Mertuaku ... Mertuaku masuk rumah sakit kemarin karena aku. Jadi, aku harus tetap di sana rawat mama Hanum." Gantari mengatakannya sambil terisak lirih.

Kinan menatap Gantari, matanya membara. Dia tiba-tiba menggebrak meja.

"Sialan! Jadi lo diperlakuin kayak gitu, dan lo masih diem aja?"

Pengunjung lain di kafe menoleh kaget mendengar suara keras itu, tapi Kinan tak peduli. Dia melotot ke arah Gantari.

"Dari awal gue nggak suka liat lo diperlakuin kayak pembantu sama mereka!"

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang