24. Menghindar

289 34 6
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Gantari duduk di kursi tunggu rumah sakit. Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun, tak sedetik pun Gantari beranjak dari sana.

Tangannya terlipat di pangkuan. Matanya tertuju pada lantai keramik putih yang dingin, tapi pikirannya jauh mengembara. Bunyi langkah kaki dokter dan perawat yang berlalu-lalang hampir tak terdengar di telinganya. Semua terasa seperti gema yang samar, sementara hatinya masih terus digelayuti perasaan bersalah dan kekecewaan yang dalam.

Devan dan lainnya memilih untuk keluar masing-masing menenangkan diri. Usai mendapat kemarahan dari Zakiyah, semuanya kompak menghindar satu sama lain. Kecuali Devan, dia ingin mendekati Gantari dan mengajaknya bicara. Sayang, wanita itu menolak dan memilih untuk menunggu Mama Hanum.

Gantari masih ingat tajamnya perkataan ibu mertua tentang dirinya yang tak kunjung hamil, tapi dia tak sampai hati untuk membenci beliau. Terlebih sekarang sakit jantungnya kumat. Gantari merasa seperti dihantam rasa bersalah dari berbagai sisi.

Setiap kali dia memejamkan mata, bayangan wajah Hanum muncul. Ibu mertuanya yang kini terbaring di dalam ruangan ICU begitu lemah, membuat Gantari merasa berat menghirup udara. Kesehatan Hanum semakin memburuk sejak konflik dengan Devan pecah. Bukan hanya karena Devan mengkhianatinya dengan Nada, tapi juga karena Gantari belum bisa memutuskan untuk benar-benar pergi.

Gantari tak bisa mengusir bayangan bahwa ini semua adalah kesalahannya. 'Aku penyebabnya,' pikirnya, meski logika menolak untuk mengakui hal itu. Hanum jatuh sakit di tengah konflik yang merusak rumah tangganya. Konflik yang Gantari tahu tak bisa dihindari. Namun, tetap membuatnya merasa seperti dia biang keladi dari semua penderitaan ini.

Tak lama kemudian, pintu kamar mama terbuka perlahan. Rasyid, adik Devan, muncul dari balik pintu dengan wajah yang tampak lelah. Dia baru bisa menjenguk setelah urusan pekerjaannya selesai. Begitu melihat Gantari duduk sendirian, Rasyid menarik napas panjang sebelum berjalan mendekatinya.

"Teh, kamu dari tadi di sini?" tanya Rasyid, sambil mendudukkan dirinya di sebelah Gantari.

Gantari tersenyum kecil, sekadar basa-basi. "Iya, aku cuma mau nungguin mama. Gimana keadaan mama di dalam?"

Rasyid mengangguk pelan, mengusap wajahnya dengan tangan, tampak lega setelah akhirnya bisa menjenguk Hanum.

Dia sedang di luar kota saat kabar soal mamanya masuk rumah sakit. Tak bisa membatalkan rencana secara sepihak, akhirnya Rasyid lebih dulu menyelesaikan pekerjaannya meskipun seperti diburu waktu, setelah itu dia meluncur ke rumah sakit.

"Mama lebih tenang sekarang. Dokter bilang nggak ada yang perlu terlalu dikhawatirkan untuk saat ini."

Mendengar kabar itu, ada sedikit kelegaan yang muncul di dada Gantari, meski perasaan bersalah tetap menghantui. Dia menunduk, menatap lantai rumah sakit yang dingin.

"Syukurlah. Aku takut kalau ada apa-apa sama mama, beliau sakit karena aku."

Rasyid menoleh, jelas tidak setuju dengan apa yang maksud Gantari. Sementara wanita itu kembali menunduk sedih.

"Maksudmu apa, Teh? Kenapa kamu ngerasa bersalah? Ini bukan salah siapa-siapa. Mama memang sudah lama sakit, kita semua tahu itu."

Gantari tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam suaranya. Di situasi genting seperti ini justru Rasyid yang lebih bisa diandalkan. Pria itu menjadi penengah untuk pertikaian keluarganya.

"Kamu nggak bisa mikir kayak gitu. Mama jatuh sakit bukan karena kamu. Masalah kamu sama Mas Devan memang berat, tapi itu bukan sesuatu yang bisa langsung bikin mama sakit."

"Semuanya terjadi di saat aku berpikir untuk bercerai, mama malah jadi seperti ini. Aku merasa semuanya semakin memburuk karena keputusanku."

Rasyid mendesah panjang. Dia tahu betapa berat beban yang ditanggung oleh Gantari, tapi dia juga tahu bahwa Gantari terlalu keras pada dirinya sendiri.

Gantari menunduk, air mata yang sudah lama ditahan akhirnya menetes perlahan. Di saat banyak pihak menyalahkan, hanya Rasyid yang bisa menjadi pendengar tanpa menghakimi. Setidaknya Tari merasa jauh lebih baik setelah mendengar ucapan pria itu. Seharian ini dirundung rasa bersalah membuatnya sesak.

"Teh," panggil Rasyid pelan, membuyarkan keheningan. "Udah malam. Kamu pulang aja, biar aku yang jagain Mama malam ini."

Gantari menggeleng, walaupun hari sudah semakin malam, tapi dia enggan untuk beranjak seolah sudah terbiasa menunggu mama seperti ini.

"Nggak. Aku mau di sini. Kalau aku pulang, aku nggak akan tenang."

Rasyid menghela napas panjang. "Tapi Teh Tari juga butuh istirahat. Nanti malah jatuh sakit kalau terus begini. Siapa nanti yang jagain kamu?"

"Aku nggak apa-apa. Aku bisa di sini. Kamu pulang aja."

Rasyid ingin membalas, tapi tiba-tiba dari arah koridor, Devan memanggil dengan langkah cepat, wajahnya menampakkan kelelahan yang sama dengan Rasyid. Begitu melihat Gantari, dia langsung mendekat, suaranya terdengar tegas meski lembut.

"Dek, ayo kita pulang. Biar Rasyid yang jaga Mama malam ini," kata Devan sambil menyentuh bahu istrinya dengan pelan.

Gantari menoleh sekilas, lalu menghindari tatapan Devan. Ada rasa enggan yang jelas tergambar di wajahnya. Dia bahkan melepaskan tangan Devan dari bahunya. Enggan disentuh.

"Dek, Mas ngerti kamu capek, tapi kamu juga perlu istirahat. Kita bisa gantian jaga Mama."

"Emang kenapa kalo aku di sini? Aku gak mau pulang sama kamu, Mas." Gantari berkata ketus.

"Terus kamu mau pulang sama siapa? Ini udah malam."

Devan terus membujuk istrinya agar mau pulang bersamanya, tapi Gantari tetap keras kepala. Matanya beralih ke arah Rasyid, seolah mencari jalan keluar.

"Rasyid, bisa nggak kamu aja yang antar aku pulang?"

Rasyid terkejut. Dia menatap Devan, pria itu jelas-jelas tersinggung meskipun mencoba menahan perasaannya. Devan menatap Gantari dengan campuran kecewa dan sakit hati, sebelum akhirnya bicara lagi.

"Kamu gak liat Rasyid baru pulang dari luar kota, Dek? Dia masih harus jaga Mama pula. Kasihan dia." Devan berusaha membuat Gantari mengerti.

Gantari sebenarnya bisa pulang sendiri pakai taksi kalau mau, tapi karena dia tak mau dibuntuti oleh Devan sepanjang jalan. Akhirnya dia meminta Rasyid meskipun ada rasa sungkan dan tidak enak hati.

"Ya udah kalo gitu, biarin aku di sini. Kamu pulang aja kalo mau."

Rasyid merasa serba salah, tapi akhirnya mengangguk. "Aku bisa antar Teh Tari pulang, Mas."

Devan menghela napas saat mendengar jawaban Rasyid. Sementara Gantari menunduk, tak ingin melihat ekspresi Devan.

Rasyid hanya mencoba membantu Gantari supaya bisa menenangkan diri. Dia memahami perasaan iparnya, tapi sungguh. Devan jengkel dengan jawaban itu.

TBC

Jangan nge-ship Rasyid sama Tari, ya. Mereka CUMA ipar. Ipar adalah maut.
Ntar malah jadi cerita turun ranjang. 🏃🏻‍♀️

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang