13. Ada Apa?

345 41 1
                                    

Gantari sedang memotong bunga-bunga ketika pintu toko berbunyi. Mendengar itu dia segera meninggalkan pekerjaannya, membersihkan tangan di apron lalu berjalan menghampiri pelanggan yang masuk.

Kedua pelanggan yang baru masuk tampak sibuk menatap sekeliling yang dipenuhi aneka bunga.

"Selamat sore, Tuan dan Nona. Bunga seperti apa yang Anda berdua cari?" tanya Gantari ramah, tidak lupa dengan senyum manisnya.

"Saya ingin mawar merah," ujar pria itu menatap lurus ke arah Gantari.

Baru saja Gantari hendak menyahut, ucapannya langsung terhenti ketika wanita di sebelah pria itu bersuara ketus.

"Sudah kubilang berapa kali, aku tidak suka mawar merah, Dil." Wanita yang berdiri di sisi lelaki itu berbicara dengan nada kesal.

Pria yang bernama Aidil segera menoleh dengan helaan napas panjang, Sepertinya dia lelah karena terus bertengkar sepanjang jalan menuju toko itu.

"Bunga mawar itu cantik, Al. Lagian aneh kalau menghias rumah pakai bunga anggrek. Aku tidak suka."

Wanita itu melepas pegangannya dari lengan si lelaki lalu menatapnya dengan kesal. "Aku tidak peduli kau suka atau tidak. Mawar merah terlalu pasaran. Aku lebih suka lavender."

Gantari hanya bisa berdiri dan menatap perdebatan kecil sepasang kekasih itu. Dia sudah biasa bertemu dengan pelanggan seperti ini. Gantari tidak peduli, nanti juga keduanya akan menemukan titik temu. Antara mawar atau lavender.

"Aku tidak suka bau bunga itu, Al. Memangnya kamu bisa merawatnya? Sudahlah. Kita pesan mawar merah saja."

Perempuan bernama Alia itu menggelengkan kepalanya dengan tegas. "Lavender atau tidak sama sekali."

Si lelaki menatap perempuan itu dengan lamat sebelum mendesah pelan. "Baiklah. Lavender, 'kan?"

Alia mengangguk, tidak peduli kalau mereka berdebat di depan pemilik toko bunga tersebut. Baginya, semua perintah adalah mutlak.

Gantari pikir, sepasang kekasih ini adalah pengantin baru. Cara mereka berdebat mengingatkannya pada Devan. Akhirnya si lelaki yang mengalah. Dia kini menatap Gantari yang dengan setia menunggu perdebatan mereka selesai.

"Apa toko kalian memiliki bunga lavender?"

Naura mengangguk. "Kami memilikinya, tapi tinggal beberapa tangkai. Kami menjualnya hanya 2500 tangkai per-hari. Apa Anda masih mau?"

"Tinggal berapa tangkai?"

"Tunggu sebentar, ya, Tuan dan Nona, saya lihat dulu di belakang."

Tanpa mau membuat mereka menunggu lama, Gantari segera beranjak ke belakang tokonya. Di mana banyak bunga-bunga tertanam dalam pot. Rumah tersebut adalah tempatnya menyimpan bunga-bunga segar yang dibeli maupun yang ditanam sendiri tetapi tetap pasokan bunga-bunganya kebanyakan langsung dari kebun.

"Mia, coba lihat tinggal berapa banyak bunga lavender kita?" Gantari bertanya pada seorang gadis yang tengah memindahkan beberapa pot bunga.

Mia mendongak menatap atasannya. "Tinggal 10 tangkai, Bu. Ada yang mau membelinya?"

Gantari mengangguk. "Itu pun kalau mereka masih mau 10 tangkainya. Sudah benar-benar terjual, ya? Tidak ada pasokan yang lain?" Gantari sedikit berpikir, mungkin tidak apa-apa kalau hanya tinggal 10 tangkai lagi.

"Bawakan bunganya, Mi."

"Ini bunganya, Bu." Mia menghampiri Gantari sambil menyerahkan bunga lavender.

Gantari mengambil bunga itu seraya berujar, "ikut aku ke depan, ya. Mi."

Gantari dan Mia berjalan kembali ke toko dengan bunga lavender pesanan pelanggan mereka. Begitu sampai di tokonya, Gantari menatap kedua orang itu dengan senyuman ramah.

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang