27. Kasihan

117 21 1
                                    

Sepulang dari supermarket, suasana di dalam mobil terasa canggung. Gantari hanya diam sepanjang perjalanan, dan Devan yang beberapa kali mencoba mengajak ngobrol tak mendapatkan respons. Setibanya di rumah, Gantari langsung berjalan cepat menuju kamar, ingin menenangkan diri setelah berjam-jam menahan emosi.

Namun, baru saja dia menyentuh gagang pintu kamar, Devan tiba-tiba muncul dan memegang lengannya, menghentikan langkah Gantari.

"Dek, tunggu, gimana ini cara masaknya?"

Gantari mendesah panjang, berbalik dengan ekspresi jengah. "Kenapa mas nggak tanya sama yang minta dimasakin? Aku capek, Mas. Udah, biar dia urus sendiri."

Devan sedikit terkejut dengan nada tajam Gantari. Namun, dia tetap memegang lengan istrinya, mencoba menghalangi Gantari untuk masuk ke kamar.

"Tapi dia nggak bisa masak dalam keadaan kayak gini, Dek,” kata Devan dengan lembut. "Mas tahu kamu capek, tapi tolong ... sekali ini aja. Kasihan dia, Dek. Dia lagi hamil.”

"Aku juga tahu dia hamil, tapi aku juga punya batas, Mas. Kamu pikir aku nggak capek ngurus semuanya sendirian?"

Devan terdiam sejenak, mencoba mencari kata-kata yang tepat. Dia tahu Gantari sudah merasa terbebani, tapi keadaan di rumah memang sedang rumit. Nada masih lemah, dan ibunya juga sering kali menuntut banyak dari Gantari.

"Maaf, Dek. Mas janji bakal lebih bantu kamu nanti. Tapi untuk sekarang, kita harus selesaikan ini dulu.”

Gantari menarik napas dalam, berusaha menahan emosinya. Sejujurnya, dia tidak mau peduli dengan Nada atau Devan. Gantari sudah cukup lelah dengan banyak sekali drama di rumah itu. Namun, nuraninya seakan tak mengizinkannya untuk bersikap keras. Gantari kadang merasa kasihan saat Nada terkulai lemas tanpa bisa makan apa pun.

"Baiklah." Akhirnya Gantari berkata lirih, melepaskan pegangannya dari gagang pintu kamar. "Aku masak lagi buat dia. Tapi, tolong, jangan libatkan aku lagi nanti, Mas. Aku juga bisa capek."

Devan tersenyum kecil, meski hatinya ikut tersayat mendengar keluhan Gantari. "Makasih, Dek. Aku janji, ini nggak akan berlangsung lama."

Tanpa banyak bicara lagi, Gantari melangkah kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan yang tersisa.

***

Gantari berdiri di depan kompor, wajahnya datar, tapi hatinya bergemuruh. Uap sup yang sedang direbus memenuhi dapur kecil itu. Tangannya sibuk mengaduk panci, sementara pikirannya melayang tak tentu arah.

Usai kembali dari supermarket dan membawa banyak belanjaan, Gantari langsung membawa semua bahan masakan itu ke dapur untuk diolah menjadi makanan bagi Nada yang sedang mabuk.

"Nggak ada orang lain di rumah ini yang bisa masak, ya? Selalu aku," gumam Gantari, suaranya pelan, tapi penuh nada jengkel. Matanya tertuju pada potongan sayuran yang masih belum tercampur sempurna dengan kuah. "Kenapa harus aku yang repot begini, sementara dia bisa menjaga dirinya sendiri?"

Namun, di balik keluh kesahnya, ada rasa kasihan yang tak bisa diabaikan. Nada, meskipun kehadiran wanita itu membuatnya kesal, tapi dia sekarang sedang hamil dan lemah. Gantari tidak bisa mengabaikan fakta itu. Dia juga seorang perempuan, dan tahu betapa beratnya kehamilan, meskipun belum pernah merasakan.

Saat itu, pintu dapur terbuka. Rasyid, adik Devan, baru saja pulang dari kantor. Wajahnya terlihat lelah, dia langsung menyadari kakak iparnya yang sedang sibuk di dapur.

“Teh Tari, lagi masak ya?” tanya Rasyid, sambil melepas jaket kerjanya.

"Hmm."

Gantari hanya menggumam, tanpa menoleh. Tangannya tetap sibuk mengaduk-aduk kuah sup yang mulai matang.

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang