9. Rencana Liburan

287 40 0
                                    

"Tari?"

Bukannya menoleh ketika dipanggil, perempuan berjilbab marun itu malah terdiam. Menatap gelas berisi air putih di atas meja.

"Tari?"

Wanita itu masih saja mengabaikan Kinan sehingga Kinan harus menepuk lengan wanita di hadapannya demi membawanya keluar dari lamunan.

"Ri, kalo lu bengong terus kayak gitu, nanti kuping lo diambil Tuhan beneran loh!"

Suara keras diiringi tepukan pada lengannya membuat wanita itu terperanjat, lamunannya buyar seketika. Gantari lekas menoleh ke arah Kinan dan memasang wajah minta maaf karena sejak tadi malah bengong.

Kinan hanya geleng-geleng kepala, lantas menatap Gantari penuh selidik. Pasti ada hal yang wanita itu pikirkan. Kinan sangat paham dengan gelagat Gantari.

"Mikirin apa, sih, Tar. Kamu ke sini buat mampir apa numpang ngelamun?"

"Gak mikirin apa-apa, Nan."

Gantari berdusta, padahal sejujurnya dia masih kepikiran dengan Devan yang dia temui tadi siang di minimarket. Siapa wanita yang tengah bersamanya di mobil? Gantari benar-benar over thinking.

"Baru pulang dari toko, Ri? Wajahmu kok jadi pucat gitu, tadi pagi kamu ada makan?"

Gantari tergelak. "Makanlah, emang lagi berasa capek aja. Ini abis dari rumah mama, tadi kami makan-makan di sana."

"Terus ini baru pulang dari mertua mau langsung pergi toko juga? Kamu lagi gak sehat kayaknya, Ri. Masa abis makan mukanya pucat kayak anemia."

"Abis dari minimarket, sih. Tadi pagi disuruh tinggal dulu di rumah mama, suamiku pergi dinas selama lima hari, aku di sana bantu masak."

Kinan mengernyit, menatap Gantari yang sedang meneguk air minum yang tadi dia sediakan untuknya. Sepulang dari rumah mertua dan supermarket, Gantari memang berinisiatif mampir ke rumah Kinan untuk istirahat sejenak.

"Kamu itu istrinya Devan, Ri. Bukan pembantu," ucapnya lembut. Dia menahan keinginan untuk memukul lengan Gantari karena sifat 'terlalu baiknya'.

"Iyaa, paham. Kenapa juga ngomong begitu?"

"Karenaaa, setiap kali kamu ke rumah itu selalu soal pekerjaan. Masak ini, bikin ini, buat itu. Heran aku, Ri. Memangnya mereka nggak bisa cari orang lain buat bantu selain kamu?"

Kinan mau marah setiap kali mendengar kegiatan Gantari di rumah mertuanya. Dia tahu Gantari tidak keberatan untuk itu, tapi jujur saja Kinan bosan jika terus mendengar Gantari habis pulang dari rumah mertua kerjaannya di sana cuma beres-beres dan masak-masak.

"Mungkin karena kata mama masakanku enak." Gantari berucap dengan penuh nada positif, berusaha tak menjelekkan mertuanya. Dia merasa lumrah jika membantu keluarga suaminya dalam urusan dapur.

Kinan mendengkus tak suka. "Omong kosong! Adik iparnya si Devan kan cewek. Kenapa bukan malah nyuruh menantunya yang lain buat ngerjain pekerjaan rumah. Apa kerjaannya, sih? Kok perasaan gak pernah bantuin kamu?

"Kan, Zakiyah sibuk ngasuh anak."

"Hey, anaknya udah gede, bisa main sendiri. Itu mah mereka pilih kasih!"

Gantari terdiam, tidak ingin berdebat dengan sahabatnya. Dia menunduk, menghela napas panjang. Sebenarnya Gantari lelah dengan semua keadaan ini, tapi dia tak bisa melakukan apa pun.

Terlebih dia masih kepikiran dengan Devan, apa sebenarnya yang pria itu tutupi darinya? Kenapa Devan harus berbohong?

Ini pertama kalinya Gantari menerima kebohongan dari Devan. Sungguh, selama ini Devan tak pernah sedikit pun membohongi Gantari meski soal hal remeh. Devan adalah pria setia di hidup Gantari. Rasanya dia masih tidak percaya dengan apa yang terjadi. Saat Gantari hendak menelepon Devan untuk meminta penjelasan, nomornya malah tidak aktif.

Hal itu semakin membuat spekulasi buruk terus bersarang di kepalanya.

Sentuhan ringan itu kembali mendarat di bahu Gantari. Kinan melihat hal lain pada diri sahabatnya. Gantari sudah biasa terlihat lelah, tapi kali ini lelahnya seperti karena hal lain.

"Serius, mukamu pucat, Tari. Kelihatan lelah. Apa yang terjadi? "Kamu sakit?"

Gantari tersenyum ke arah Kinan. "Cuma masuk angin, Nan. Jangan khawatir."

"Mana ada masuk angin kayak gitu? Jangan terlalu capek. Kamu liburan gih sama Devan. Honeymoon atau apalah itu namanya," kata Kinan berusaha memberi pengertian.

Wajah Gantari yang dulu selalu berseri-seri mendadak lenyap. Berganti kantung hitam di bawah mata yang tampak kentara. Gantari juga terlihat sedikit kurus sekarang. Padahal Devan memperlakukan istrinya dengan baik, tapi apa gunanya jika dia masih suka memikirkan omong kosong orang lain tentangnya?

"Mas Devan lagi banyak kerjaan, Nan." Gantari menghela napas. "Harus berapa kali, sih, kalian maksa aku liburan sama suami? Gak kamu, gak mertua juga."

"Lagian wajah kamu keliatan banget kayak orang susah," kata Kinan. "Ibunya Devan cuma pengen cucu, tapi kok bisa-bisanya mereka maksa kamu harus hamil saat itu juga?"

Sebenarnya Gantari tidak terlalu mempermasalahkan hal itu, rasanya wajar lagipula orang tua mana yang tidak mau mendapatkan cucu dari menantunya sendiri. Apalagi Devan anak pertama di keluarga.

"Ya, beliau maunya aku kayak Alwi. Sat set jadi anak."

Kini giliran Kinan yang meneguk habis air dalam gelas. Rasa haus menerjang kala mendengar cerita tentang rumah tangga sahabatnya.

"Mereka pikir kamu itu mesin pencetak anak yang sekali masuk jadi?"

Mata Gantari melotot kala mendengar kalimat seduktif itu. "Gak gitu juga keleus. Mama Mas Devan juga udah nyaranin aku bulan madu, tapi kok rasanya gak pas aja."

"Gak pas kenapa?"

Gantari mengangkat bahu. "Takut Mas Devan keseringan cuti, banyak banget kerjaan yang harus dia handle. Pulang juga sering kemaleman."

Kinan paham dengan maksud Gantari, dia tak enak hati kalau harus menyusahkan suaminya.

"Yaudah sih, Ri, turutin aja mertua lo itu," ujar Kinan. "Orang disuruh liburan aja galau. Harus seneng lo disuruh bulan madu, kapan lagi bisa bikin anak di tempat yang indah, Ri?"

Aduh, mulut Kinan selain ember juga super frontal.

"Gini amat nasib gue ya .... " Gantari menggerutu sendiri.

"Kalo gue, sih, langsung cabut aja gak pake mikir. Kerjaan di rumah udah bikin sumpek plus pening. Ada saatnya buat healing dan menenangkan diri."

Kinan mulai menggunakan kata lo-gue pada kalimatnya. Menggelikan bagi Gantari, mengingat jiwa tomboy wanita itu belum sepenuhnya hilang.

"Kayaknya aku harus bicarain lagi sama Mas Devan." Gantari berkata final.

"Yaudah sih berangkat aja, anggep aja nyenengin mertua."

Gantari bergerak, dia langsung meletakkan kepalanya di atas meja. Gantari tidak pernah memikirkan ini semua sebelumnya. Bagaimana bisa semua ini terasa begitu runyam. Jauh dari kata sederhana. Menghadapi mertua dan ipar yang cukup rewel membuat lemak-lemak di tubuh Gantari pergi dengan sendirinya. Haruskah Gantari bilang bahwa dia sudah nyaris setiap hari berusaha 'membuat anak' pada keluarganya itu?

"Lagian, emang lo gak pengen sekali aja nyoba tidur di tempat yang indah banget? Kayak di film-film, Ri. Lo nyetok pakaian haram satu koper, deh. Siapa tau tokcer .... " Kinan cekikikan di ujung kalimatnya.

"Kinaaann ...!" Gantari ingin menangis saja rasanya. Kinan malah semakin terbahak menertawakannya.

Gantari melirik tajam ke arahnya. Kinan cengengesan. Gantari benar-benar menyesal mendengar ucapan Kinan. Entah, apa yang tercampur di otaknya.

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang