18. Mimpi Buruk

192 21 4
                                    

"Aku hamil anak mas Devan."

Layaknya petir menyambar. Kejujuran Nada membuat seisi rumah terperangah untuk ke sekian kalinya.

"Apa!"

Itu suara seisi rumah, bahkan kompak berbarengan. Seolah mewakili keterkejutan satu sama lain.

Hanum menatap Nada dengan mata berkaca-kaca, terluka, bingung, dan marah bercampur menjadi satu. Gantari, yang duduk tak jauh dari Nada, membeku. Meski sudah mendengarnya sebelumnya, pengakuan itu kini terasa lebih nyata, lebih menghancurkan. Rasanya seperti disambar lagi untuk kedua kalinya. Apa yang dia harapkan hanya sebuah kesalahpahaman, kini tak terbantahkan lagi sebagai kenyataan yang pahit.

Wanita itu kembali menunduk dan menangis usai mengaku tentang kehamilannya di hadapan keluarga Devan. Gantari yang tak bisa menahan diri lebih lama lagi dengan cepat menghampiri Nada. Dia mengguncang bahu wanita itu, tubuhnya gemetar antara marah dan bingung.

"Apa maksud kamu tadi, Nad? Kamu hamil anak Mas Devan? Jangan becanda kamu, ya!"

Gantari berusaha menyangkal, sementara Mama Hanum terdiam tak bersuara sama sekali. Dirinya shock dengan apa yang baru saja terjadi.

Sementara itu, Devan tampak gelisah, dia menggaruk kepalanya kasar menghadapi kekacauan yang terjadi akibat kejujuran Nada barusan. Gantari terus mengguncang bahu Nada supaya wanita itu menarik kembali ucapannya dan menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di antara dia dan suaminya.

"Ayo jujur sama aku, gak mungkin Mas Devan yang hamilin kamu! Kamu jangan fitnah Mas Devan, Nad!" Gantari murka.

"Tari, hentikan!"

Devan lekas melerai istrinya yang terus memaksa Nada untuk bicara. Wanita itu ditarik menjauh dari hadapan Nada.

Tubuhnya terasa seperti dihantam batu besar. Dia ingin menyangkal, ingin marah, tapi kata-kata itu tak kunjung keluar dari mulutnya. Dia memandang Nada dengan tatapan kosong, matanya mulai memerah.

"Kenapa, Nada? Kenapa dengan Mas Devan?" Hatinya benar-benar hancur mengetahui hal itu, dia berharap apa yang Nada katakan tadi hanyalah mimpi dan bualan semata.

"Kamu gak serius bilang gitu, kan, Nad?" tanya Gantari pada Nada sekali lagi, berusaha untuk menyangkal apa yang baru saja dia dengar. "Mas, kamu gak mungkin hamilin dia, kan?"

Gantari kini beralih pada suaminya, mencari celah kebohongan di sana. Bagaimana bisa dua orang yang sangat dia percayai tega melakukan hal bejat seperti ini? Gantari masih berharap Devan menyangkal semua tuduhan Nada tadi.

"Maafkan aku."

Hancur.

Hati Gantari benar-benar hancur. Bukan itu jawaban yang ingin dia dengar.

"Maaf kenapa?"

"Maafkan Mas." Devan menatap Gantari dengan mata berkaca-kaca. "Dek, maafkan aku."

Kaki Gantari bagai jelly, tak mampu menopang berat tubuhnya. Rasanya dia akan jatuh pingsan kalau saja Devan tak segera menangkap tubuhnya yang oleng.

"Maafkan kamu? Maaf untuk apa, Mas? Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian?"

Gantari seolah tak sanggup melanjutkan kalimatnya. Terlalu menyakitkan mendengar kenyataan buruk yang sedang dia hadapi.

Mama Hanum menangis melihat pertikaian antara anak dan menantunya. Tak pernah terbayangkan kalau Devan bisa berbuat sejauh ini, memangnya apa yang pria itu pikirkan selama ini?

Bagaimana dia bisa menghamili wanita lain di saat istrinya sedang berjuang untuk memiliki keturunan?

Dengan tangan gemetar, Gantari mendekati Devan. Dia tidak lagi peduli pada keadaan di sekelilingnya. Semua yang ada di pikirannya hanyalah rasa sakit yang mendalam akibat pengkhianatan suaminya.

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang