7. Telepon Asing (2)

316 38 1
                                    

Kumandang adzan Subuh membangunkannya dari alam mimpi. Gantari mengerang sambil melepas selimut dengan ritme pelan, dia mendengkus kasar. Matanya yang baru saja terbuka susah payah langsung melirik sisi kanan.

Sisi kanan yang dulunya selalu kosong dan dapat membuatnya tidur serampangan kini telah ditempati seorang pria tampan. Gantari selalu memuji itu, tulang hidung yang tinggi, alis tegas, bulu mata lebat, serta bibir dan dagu indah yang menjadi aset ampuh untuk menarik perhatian kaum hawa itu kadang membuatnya merasa iri.

Lima menit dirinya termenung mengamati paras sang suami, dia langsung teringat belum shalat Subuh, langsung saja Gantari terbangun gesit.

"Mas, waktunya shalat Subuh. Ayo bangun, pagi ini ada kerjaan juga, kan?"

Gantari membangunkan suaminya yang masih nyenyak dibuai mimpi. Sayangnya, Devan tak kunjung bangun. Gantari bisa mengerti kalau Devan kelelahan dan harus pergi kerja esok paginya. Namun, tetap saja dia harus salat Subuh.

Gantari hampir beranjak dari tempat tidur kalau saja salah satu tangan suaminya tak menghalangi. Rengkuhan yang berakhir menjadi sebuah dekapan erat nan hangat itu mengunci tubuhnya tanpa celah.

Gantari tercekat lama merasakan kerja jantungnya yang berdetak abnormal. Embusan napas hangat yang menerpa wajahnya membuat perasaan gugup mulai menyambangi. Sambil meneguk ludah hati-hati, Gantari mendorong dada sosok gagah itu.

"Mas."

"Iya, sebentar," kata Devan dengan mata terpejam. Enggan melepaskan rengkuhannya.

"Tapi ini sudah Subuh, nanti waktunya keburu habis. Ayo bangun."

Suara Gantari kali ini terdengar lebih tegas dari sebelumnya, membuat dekapan suaminya mengendur. Pria itu membuka mata, dan mereka bertatapan sesaat.

"Ini di mana?"

Kening Gantari mengerut. "Di kamar. Mas masih capek, ya. Makanya gak fokus."

"Kukira ini Surga. Lalu bidadari di depanku siapa?"

Aih, ini masih Subuh, tapi suaminya malah menggombal. Devan tertawa saat melihat wajah Gantari merah padam karena salah tingkah.

Ini baru beberapa tahun dan masih banyak hari yang harus dia lalui bersama pria itu. Gantari punya banyak kesan menarik atas pernikahan mereka. Sikap Devan yang pengertian membuatnya kuat bertahan di tengah badai pernikahan tersebut.

Entah sampai kapan sikap manis itu akan bertahan. Gantari berharap itu tak hanya berlaku di awal pernikahan, tapi sampai maut menjemput salah satunya.

***

Jarum jam bergerak menuju angka enam. Cicit-cicit burung di dahan pohon terdengar merdu mengawali pagi yang indah di kediaman sederhana milik Gantari dan Devan.

"Kamu gak ke toko hari ini?" tanya Devan sembari mengaduk nasi goreng di piringnya. Mereka tengah sarapan.

"Nggak, Mas. Mungkin aku berangkat nanti siang aja."

Gantari memiliki toko bunga yang jaraknya tak terlalu jauh dari rumah. Devan mengizinkan Gantari untuk bekerja, Devan sadar kalau dia sangat jarang berada di rumah. Karena itulah dia mendukung keinginan istrinya untuk berwirausaha.

Meskipun lelah, setidaknya Gantari memiliki kesibukan sendiri. Menurutnya lebih melelahkan jika harus berdiam diri di rumah. Apalagi Devan selalu pergi dinas ke luar kota karena masalah pekerjaan.

"Mau pulang ke rumah ibu?" tanya Devan.

"Ke rumah mama saja. Nanti antar ke sana, ya, Mas."

Senyum langsung tercetak di wajah Devan, menambah kadar ketampanannya pagi ini. Rasanya sedikit berat meninggalkan sang istri di rumah. Namun, dia tetap harus pergi hari ini.

Ikrar yang Terlepas [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang