Bab 25 : Ilusi atau nyata?

38 7 0
                                    

Sebuah ilusi yang terlihat nyata itu, hadir di tengah-tengah kehancuran itu.


☆Happy Reading☆

Rintik hujan membasahi atap rumah milik kediaman Januarta, malam yang tenang dengan gemuruh hujan. Aluna yang sedang menyiapkan makan malam di dapur di hampiri oleh Alula, ia datang dengan piyama pinknya itu. Ia memeluk pinggang Aluna secara tiba-tiba membuat Aluna sedikit terkejut dan menautkan kedua alisnya.

"Siapa yang memeluk Aluna? Rasanya hangat," batinnya.

"Alula?" Perlahan, Aluna melepaskan tangan Alula dari pinggangnya, dan membalikkan tubuhnya ke arah Alula. Ia menatap netra Alula dengan kelembutan, ia memegang bahu Alula yang terlihat lelah.

"Kenapa, Ael?" Alula mematung, ia tak menjawab panggilan Aluna. "Ael? Kamu butuh apa." Aluna merapikan anakan rambut milik Alula.

"Ael? Ael siapa, Aluna?" Alula membuka suaranya, ia menautkan kedua alisnya. Aluna tertawa kecil, "Ael itu ya kamu, La. 'A' nama depan kamu, 'El' nama tengah kamu. Bolehkan kakak manggil kamu dengan, Ael?"

"Alula suka, kak. Selalu, tapi, rasa penasaran dan sakit hati itu lebih besar dari rasa sayangnya Alula."

"Engga, gue ga suka. Gausah panggil gue dengan nama yang lain, Aluna. Gue selalu benci nama gue dipanggil oleh seorang pembunuh." Alula pergi, meninggalkan Aluna yang mematung setelah mendengar perkataan yang Alula ucapkan.

"Maaf, kak. Alula ga bermaksud ....," lirihnya sembari menaiki anakan tangga perlahan-lahan.

"Ha ha ha, udah tau jawabannya bakal gimana, tetap saja dicoba." Ia menertawakan dirinya sendiri sembari menahan bulir bening yang sudah menumpuk di pelupuk matanya.

"Jangan berharap kamu akan diterima di keluarga ini, Aluna. Semua bala yang kamu beri, tidak akan di selesaikan dengan kata maaf kamu itu." Elga berbisik tepat di telinga Aluna, ia membilas tangannya dan duduk di ruang makan.

"Iya, Pa. Aluna paham, Aluna memang pembawa sial untuk keluarga ini, Aluna selalu ingat itu, Pa ...." ujarnya dengan suara yang bergetar.

***

Gemuruh hujan yang mengguyur aspal hitam di pagi hari, rumah yang kosong, yang hanya berisikan Aluna di dalamnya. Ia menuju halaman belakang, berlari kecil hingga tubuhnya terkena guyuran hujan. Ia melepaskan rasa sakitnya, ia tersenyum sembari menatap langit yang ditutupi oleh awan.

"Tuhan, bawa rasa sakit ini bersama hujan, Aluna ingin meringankannya sejenak."

"Tuhan, sampaikan rasa rindu Aluna untuk Mama Melisa dan Mama Helena, Aluna begitu rindu, Aluna butuh pelukan."

"Biarkan tangisan ini tertutupi dengan guyuran hujan yang menenangkan pikiran itu, Tuhan. Aluna begitu lelah, rasanya raga Aluna akan segera mati setelah batin Aluna yang terlebih dulu terbunuh dan mati rasa."

"Kapan ya, bahagia itu datang? Kenapa bukan Aluna saja yang terluka, kenapa kedua adik Aluna juga harus terluka, Tuhan? Rasanya sangat sesak melihat mereka menderita dan terpecah-belah."

"Papa beneran ga pernah sayang dan peduli dengan kondisi Aluna, ya? Papa sebenci itu dengan, Aluna? Kenapa ga sejak awal Papa bunuh Aluna, kenapa Papa biarkan hidup hingga Aluna mati sendiri secara perlahan di tangan Papa sendiri?"

"Aluna benar-benar sesak sekarang, Aluna ga pernah punya tempat berteduh, arah pulang Aluna hancur."

"Sepertinya, jika kisah Aluna yang begitu kelam ini di jadikan sebuah cerita, akan begitu banyak bab dan halamannya. Mungkin, tidak akan ada ujungnya, kecuali Aluna itu mati."

1000/1 | END Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang