*****"Willem, jangan gila!" geram Marina, suara yang dipaksakan untuk tetap rendah agar tidak terdengar oleh orang-orang di sekeliling mereka. Kali ini wanita itu sungguh marah, kesal dengan tindakan Willem.
Bagaimana mungkin Marina tidak marah? Dalam benaknya, Willem terlalu berani, bahkan ceroboh. Memanfaatkan momen mati lampu yang tiba-tiba melanda, lelaki itu ingin menyeretnya ke dalam kamar, tanpa mempedulikan keramaian di sekeliling mereka.
Rasa panik menggelora dalam dirinya. Bagaimana jika mereka ketahuan? Bayangan akan reaksi orang tuanya menghantuinya—apa yang akan dia katakan? Bagaimana ia bisa menjelaskan semua yang terjadi antara dirinya dan Willem?
Marina merasakan detak jantungnya berdengung kencang, dan nafsu untuk melawan Willem tergerus oleh rasa takut. Terlalu banyak yang dipertaruhkan. Dalam kegelapan yang pekat, ia mencoba mencari celah untuk meloloskan diri, namun Willem tampak lebih bertekad dari sebelumnya.
"Tolong, Willem, jangan nekad seperti ini!"
Sementara itu, Willem tampak acuh, seolah tak peduli dengan kekhawatiran yang menggelayuti Marina. Sikapnya yang cuek justru semakin membuat hati Marina mendidih.
Namun, meskipun rasa kesal itu membara, ia merasa sulit untuk bersikap tegas pada Willem. Ada sesuatu dalam diri lelaki itu yang membuatnya merasa lemah, seolah semua keberaniannya menguap begitu saja saat berhadapan dengannya.
"Tunjukkan kamarmu di mana," bisik Willem di telinga Marina, suaranya lembut namun mengancam. Ia tampak tak peduli dengan ketakutan yang melanda wanita itu. "Jangan diam saja, sayang. Jika tidak, kita bisa ketahuan," tambahnya sambil memerangkap tubuh molek Marina di antara tubuhnya dan tembok, seolah tidak memberi ruang bagi Marina untuk melawan.
"Kenapa kamu egois sekali, Will?" Marina merasa frustasi, suaranya hampir tak terdengar di tengah kegelapan. Dalam keadaan terjepit seperti ini, ia merasa terpaksa untuk mengalah. Kemudian, setelah menghela napas yang berat, ia akhirnya memberi tahu Willem di mana letak kamarnya.
Mansion ini bukanlah tempat yang asing bagi Willem. Ia telah menghafal semua letak ruangan di dalamnya, bahkan mengetahui di mana saja kamera CCTV tersembunyi. Saat Marina menyebutkan letak kamarnya, senyum puas mengembang di wajah tampan Willem.
Kamar Marina terletak di posisi yang aman, jauh dari jangkauan kamera CCTV, memberikan Willem rasa tenang. Dengan cepat, ia menarik Marina menuju kamarnya.
Sementara itu, di belakang Mansion, di sebuah ruangan khusus instalasi, Heros sedang sibuk mengacak-acak sistem. Pria nakal itu memang nekat; ia berusaha merusak sistem keamanan Mansion Blaxton demi mendukung rencana sang kakak ipar bersama wanita pujaannya.
"Heros?!" seru Lucas dari ambang pintu ruangan yang gelap. Meskipun minim cahaya, ia dapat mengenali sosok pria itu dengan jelas.
Heros terperanjat, menoleh ke belakang dengan ekspresi terkejut. "Fucking shit!" umpatnya, menatap kesal pada Lucas. "Kau mengagetkanku, sialan!" geramnya, mencoba menenangkan diri.
"Apa yang kau lakukan di sini? Dan di mana penjaga?" tanya Lucas, mengarahkan senter dari ponselnya ke wajah Heros, sehingga ia dapat melihat dengan jelas wajah tampan lelaki itu.
Kedua pria dewasa itu berdiri saling berhadapan, ketegangan menciptakan suasana yang tidak nyaman. Heros menghela napas dalam-dalam, sedangkan Lucas menatapnya dengan penuh curiga. "Jadi, kau yang menyebabkan kekacauan ini?" selidik Lucas, nada suaranya menunjukkan ketidakpuasan.
Heros sontak menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, tampak gelisah. "Eh, itu...," katanya, berusaha mencari kata-kata yang tepat.
"Jelaskan cepat sebelum aku panggil Helena kemari," pinta Lucas, suaranya tegas dan mengancam. Matanya menatap tajam pada Heros.
KAMU SEDANG MEMBACA
Godaan Sang Mantan (21++)
RomansaWARNING 21+‼️ (Mengandung adegan dewasa) "Ughh..." Marina melenguh sambil mencengkram pergelangan tangan Willem. "Sakit, Will." "Kamu mendesah barusan," bisik Willem. Marina menggigit bibirnya menahan senyum yang hendak terbit. Willem segera menegak...