21. Nambah Satu Bayi

17.6K 698 4
                                    

Rani terkekeh pelan melihat Razib yang bermata panda. Memiliki 3 bayi memang tidak mudah walau ada pengasuh yang mereka pekerjakan.

"Mantapkan?" goda Kety begitu puas melihat anaknya kewalahan.

"Mi, apa begini punya bayi?"

"Hm, begitu. Kadang pagi jadi malam dan sebaliknya. Nikmatin aja,"

Razib menyugar rambutnya hingga berantakan. "Satu pipis, yang lain ikutan, berurutan. Kok bisa kompak kalian?!" herannya sambil menatap tiga bayi di box bayi itu.

"Biar mbanya bersihin, kamu minggir!" Kety menyingkirkan anaknya.

Rani tersenyum saat Razib mendekat lalu mencium kening dan rebahan memeluk Rani manja. Tanpa malu kalau di kamarnya yang luas itu ada Kety dan 3 pengasuh.

"Biarin mba yang urus, kalau malamkan boxnya bisa didorong pindah ke kamar samping jadi mereka yang urusin kalau bangun tengah malem."

Rani menyisir rambut Razib.

"Bener kata mami, Nikmatin moment ini langka, Ran. Gue mau menikmatinya, walau pening karena ga tidur. Ga ke bayang tanpa pengasuh urus tiga bayi," keluhnya di bahu Rani.

"Kamu punya 4 bayi, sayang." kekeh Kety dengan perasaan menghangat senang melihat anaknya yang dulu mengabaikan istri sekarang begitu manja.

"Iya, yang satu ini banyak keluhannya, mi." Rani menyugar rambut Razib dan menjambaknya sekali.

"Ck! Gue gigit ya!" Razib menggigit lengan Rani hingga memekik pelan lalu kembali memeluknya. "Biarin gue tidur kayak gini, sebentar aja." bisiknya dengan kedua mata terpejam.

"Hm, tidur yang nyenyak."

***

Razib tepuk tangan pada ketiga bayi yang tengah diurus mbanya masing-masing dengan telaten itu.

"BAB juga kompak, keren anak ayah." kekeh Razib geli sendiri.

Rani jadi ikut tertawa pelan. Ketiga bayinya memang kompak, mungkin karena kembar? Satu nangis, yang lain ikutan. Satu haus, yang lain ikutan..

"Ini nih, Ran. Ketuanya," tunjuk Razib pada anak pertama mereka.

Rani tertawa pelan. Ada-ada saja.

"Nanti kalau mereka besar pasti bersaing rebut lo, Ran." bisik Razib yang kini mendekat dan mengganggu Rani yang tengah menampung ASI.

"Ck! Jangan mikir gitu! Tapi, lucu juga sih. Berasa jadi primadona yang direbutin," lalu terkekeh geli.

"Awas aja kalau menguasai, gue ga kasih warisan!" lalu tertawa geli. "Gue bikin mereka berjuang cari uang sendiri dari nol!" lanjutnya.

"Tapi gue sih yakin, lo ga mungkin bisa setega itu, mereka nangis aja lo heboh, kenapa nangis, kenapa dan kenapa, khawatir banget!"

Razib cengengesan sambil menatap kesukaannya tengah di sedot hingga tetes demi tetes keluar.

"Gue mau mereka, kapan ya?" bisik Razib frustasi.

"Tahan dulu, kata dokterkan udah dijelasin. Nanti pake mulut aja dulu, mau?" bisik Rani.

"Engga, nanti aja. Sekarang gue masih bisa sendiri. Lo banyakin istirahat biar nanti kuat lama.."

Rani menimpuk bahu Razib. "Dasar! Lo pasti udah siapin gayakan? Gue dibikin tepar nanti," yakinnya.

"Kok tahu, lo punya kelebihan yang bisa baca pikiran orangkan?"

"Hm, dan sekarang lo mau coba rasanya ASIkan?" tebaknya sambil berbisik.

Keduanya terlihat romantis saling berbisik dan cekikikan pelan. Para pengasuh tersenyum iri melihatnya.

"Iya, jilat dikit boleh dong?"

"Ck! Boleh!"

Keduanya cekikikan lagi.

"Tuan, nyonya.. Ringgo, Rengga dan Rangga izin kami bawa keruangan sebelah. Sudah waktunya tidur siang."

"Iya, bawa aja." Razib yang menjawab.

Mereka pun menutup pintu. Razib kembali menatap Rani. "Boleh sekarang?" riangnya.

"Ha?"

"Jilat, ayolah. Dikit, mau tahu rasanya." Razib mendekat, manja sekali.

Rani menjitak kening Razib. "Ga usah kayak bocah edan tingkahnya!" omelnya namun tetap melepas sebelahnya lagi untuk Razib.

Razib segera memeluk Rani yang bersila itu, mulai mendekatkan mulutnya pada puting yang merembes mengeluarkan ASI.

"Banyak banget, Tuhan kasih buat 3 bayi kayanya."

"4, Sayang." Razib mengulum senyum geli lalu benar-benar mencicipi rasanya.

"Kok shh.. Beda ya, gelinya.." Rani terkekeh lalu menggigit bibir bawahnya gelisah.

Melihat wajah Razib dengan mata terpejam dan mulut bergerak bagai triplets.

"Mereka ternyata mirip ayahnya, ga ada yang mirip gue, sebel.. Shh.. Ah.."

Razib melepaskan puting itu lalu mendongak menatap Rani. "Kok mendesah? Bayi lo satu ini bikin lo maukan?" godanya.

Rani sontak menimpuknya dan membiarkan sebelah dadanya di pompa oleh alat ASI dan sebelahnya oleh mulut Razib. 

***

Rani menatap tiga bayinya yang begitu kuat menghisap ASI di dot itu. Sesekali Rani akan menyusui mereka langsung, bergantian.

"Anteng banget kayak ayahnya tadi," celetuk Razib yang telungkup di samping kiri sambil menatap ketiganya.

"Kaliankan yang bikin ayah tersiksa karena mual," Razib menusuk-nusuk lengan kecil ketiganya.

"Sosis 3 beneran sosis 3," Rani ingat soal Razib yang ngidam sosis.

"Iya, ternyata kalian bener-bener sama punya yang kayak ayah,"

"Gue masih geli kita dipanggil ayah sama bunda, merinding banget." jujur Rani.

"Belum biasa aja, sayang."

"Kalau dipanggil sayang sama lo udah ga terlalu merinding."

"Iya dong, gue sering. Jadikan terbiasa, Ran." Razib menatap Rani, menatapnya lebih lekat dengan senyuman.

"Apa? Mulai ya liat-liat kayak gitu!" sebal Rani.

"Kenapa? Gue lagi liatin dunia gue sekarang, ga boleh?"

"Gue tonjok ya lo! Berhenti so romantis, lo nyeremin!"

"Nyeremin atau baperin?"

"Wah, kalau aja deket gue—"

"Love you, Ran." potong Razib dengan senyum dan pandangan yang tulus.

Rani sontak kicep, wajahnya ditekuk kesal. Dia masih belum biasa, jadinya agak kesal. Membuatnya malu dan geli sendiri tapi juga membuatnya berdebar.

"Ga cinta nih sama gue?"

"Ck! Iya, cinta lo juga!"

"Dasar gengsian," Razib bergerak, merangkak mendekati Rani.

"Mau apa?"

"Nenen, bunda."

Plak!

"Agh! Dasar galak!" Razib segera memeluknya dan menciuminya, membiarkan tiga bayinya anteng dengan dot.

Keduanya mulai bercanda ria dan bermesraan. 

Baca duluan ada di karyakarsa bagi yang mau ya. Makasih :)

Terjebak Di Pulau (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang