6. Percakapan Serius Dan Berdesir

19K 901 36
                                    

"Gue ga mau lagi kerjain kerjaan rumah!" rengek Rani sambil melempar sapunya kesal. "Lo aja!" teriaknya kesal.

"Kerja sama, yaudah lo masak."

Rani menekuk wajahnya dan kembali meraih sapu. "Gue marah, kesel! Ginikan sapuinnya?" begitu kaku.

Razib ingin tertawa, anak manja seperti Rani mulai memegang sapu dan lap pel. Tidak buruk juga, buat pengalaman. Kelak jelas tidak akan dia biarkan istrinya mengerjakan semua itu.

Dari pada Rani diam dan mengganggunya memasak, mending sibuk sendiri.

"Nanti juga biasa,"

Rani mencebik. "Ninti jigi biisi!" dumelnya. "Apa sih yang harus di sapu? Bersih gini!" amuknya begitu emosian.

Razib terus memasak, menyediakan banyak hidangan untuk memuaskan perut Rani agar tidak galak karena sudah mengerjakan pekerjaan rumah.

"Udah beres belum? Liat dulu," tanya Rani sambil mendekati Razib.

Razib menatap lantai. "Coba langsung pel, nanti keliatan kalau ga bersih." jawabnya sambil membalik ikan dengan jago.

Dengan wajah ditekuk dia memulainya. "Apa ga ada yang canggih alatnya?" keluh Rani tidak berhenti. "Ini tuh rumah dua lantai, besar!" kesalnya sambil kembali drama dengan melempar pel'an.

Razib menahan tawanya. Padahal semua alat canggih sudah memberesihkannya saat Razib bangun pagi sekali.

Siapa suruh Rani susah bangun, sampai siang baru bangun.

"Sabar.."

"Gue pengen gigit orang!" raungnya sambil meraih dan menggerakan pel'an dengan kesal. "Apanya sih yang dibersihin, ini ga ada kotor sama sekali," raungnya lagi.

"Yaudah, duduk. Nanti aja kalau kotor," Razib jadi agak kasihan mendengar suara kesal frustasinya yang terdengar seperti akan menangis.

"Hamilin gue aja deh!"

Razib hanya tertawa pelan mendengar celetukan spontan itu.

"Oke."

"Ga sekarang."

Kan, Rani masih belum siap. Yang ada dirinya babak belur sebelum mulai ditanamkannya benih.

***

Rani menyeka mulutnya dengan merasa puas. Perutnya kenyang, masakan Razib dua jempol pokoknya.

"Enak?"

"Ya gitu, lumayan." jawab Rani terdengar malas-malasan.

"Lo bisa masak apa?"

"Masak aer.."

"Bukan pantun, gue serius."

"Lah, gue lebih serius. Ada mba di dapur, buat apa gue masak." jawabnya enteng. "Lo ngapain tanya, udah tahu gue gimana juga. Kayak orang asing aja," lalu meraih segelas air sisa Razib. Rani malas mengisi gelasnya lagi.

"Basa-basi aja, ga asyik emang."

Rani hanya mendengus lalu beranjak.

"Kemana? Kita cuci piring bareng,"

"Apa?!" kaget Rani. "Tangan gue kasar nanti, ga mau!" tolaknya.

"Ga papa. Paling nanti makan malam lo pake tangan aja, gue cuma mau cuci piring gue aja."

Rani menggeram kesal walau pada akhirnya pasrah dan mengekori Razib. Menatap punggungnya teramat kesal.

Jadi suami begitu totalitas jahatnya. Mengabaikannya sudah, kini tidak pengertian, tidak peka, memang resiko menikah dengan orang yang akrab. Bisa dibilang dia keluarga, teman dekat, sahabat atau apapun itu.

Terjebak Di Pulau (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang