Rani terlihat diam saja, padahal mereka sudah sampai di rumah yang sudah lama tidak mereka tempati.
"Semua udah pulang," Razib duduk memepet Rani di atas kasur itu. "Kenapa?" akhirnya dia bisa menanyakannya.
Sebelumnya, Razib sibuk menemani Jedan dan Jack membahas tentang apapun, bahkan mendengarkan beberapa nasihat dari Kety dan Vivian.
Rani hanya diam, mereka mencoba maklum. Mungkin kaget dan masih tidak percaya ada 3 bayi sekaligus di rahimnya.
Rani menggeleng pelan, memainkan selimut yang membalut kaki hingga setengah perutnya yang besarnya tidak seperti hamil satu bayi.
"Kaget?" Razib mengusap puncak kepala Rani, terus menatap wajahnya.
Rani mengangguk, kedua matanya mulai basah. "Ada 3, Zib. Gue ga bisa bayangin," isaknya pelan.
"Gue paham, lo pikir gue ga kaget? Gue kayak ga injek tanah waktu jalan ngasih tahu kabar ke para orang tua, kaki gue lemes," Razib mengecup sekilas pipi Rani yang basah. "Jangan banyak pikiran, kita pindah ke luar negeri, lo harus seneng, belanja apapun di sana. Katanya mau lahiran di sanakan?" lalu tersenyum tipis.
Razib pun masih kaget sebenarnya, kadang dalam hati bertanya. Serius 3? Langsung 3? Kok bisa?
"Kerjaan lo?"
Razib menyeka ingus Rani dengan jemari tangan kiri dan air matanya dengan jemari tangan kanan.
"Gue bisa kerja dari jauh, papi udah urus semuanya. Dia mau gue fokus ke 3 bayi kita,"
Razib berdesir, Rani pun sama merasakannya. Bayi kita. 3 lagi. Mantap sekali.
"Lo emang janji ga akan sibuk lagi kalau gue hamil, tapi malah bener-bener ga sibuk, ga ke kantor," tangis Rani kembali berjatuhan. "Lo suka kerja, tapi—"
"Astaga! Ga ada orang yang suka kerja, Ran. Gue maunya juga santai tapi duit ngalir." potong Razib jujur.
***
Razib membantu melepaskan piyama Rani. Kali ini piyama normal, bukan gaun tidur yang panas.
Rani ingin menolak tapi urung karena dia merasa terbantu. Semenjak tahu ada 3 bayi, rasanya Rani bergerak kaku. Takut salah satunya kesakitan dan sebagainya.
Dan Razib pun merasakan yang sama. Masih agak ngilu-ngilu sedap membayangkannya. Berdempetan bertiga di ruang yang sesak. Kuasa Tuhan, luar biasa.
"Apa karena enak pake gaun tipis ya? Pake piyama ga nyaman," Rani membiarkan atasannya lolos. "Branya jangan di lepas." larangnya saat Razib menyampingkan tubuh Rani.
"Buka, ga baik tidur pake. Sesak nafas ntar," Razib melepasnya. Membuat dua bulatan kian besar itu nampak.
"Iya sih, leganya.." desah Rani.
"Tambah besar dari biasanya," tunjuk Razib sambil mencoleknya sekilas.
Rani menyentuhnya, menutupinya dengan menatap Razib kesal karena colak-colek. "Iya, kan hamil. Normalnya emang tambah besar katanya," balasnya.
Razib menurunkan celana Rani hingga terlepas lalu meraih karet CDnya.
"Eh engga!" Rani menahan kedua lengan Razib. "Jangan semuanya, Ck!" sebalnya.
Razib terkekeh lalu menarik selimut, menutupi Rani dan dia peluk. "Sehat-sehat ya, Ran. Bayi-bayi kita butuh ibu yang sehat. Jangan banyak pikiran, percaya aja kalau suami lo di waktu sekarang akan melakukan yang terbaik," bisiknya.
Rani merem melek dengan tersenyum tipis. Rahangnya tengah dikecupi Razib, perutnya tengah di usap-usap. Nyaman sekali.
"Kita akur ya?" ajak Razib.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terjebak Di Pulau (TAMAT)
Roman d'amourRazib dan Rani tumbuh bersama, lahir di tanggal yang sama. setelah besar mereka dinikahkan. namun para orang tua tetap belum puas. Razib terlalu fokus pada pekerjaan dan Rani terlalu fokus main. Jika bertemu keduanya hanya akan bertengkar. Melihat...