Bab 1. Diterima

34 5 1
                                    


Dengan dada berdebar-debar begitu kuat, Rosia Jingga Kinasih memandang pria berusia lebih setengah baya di depannya. Kumis tebal dan jambang memenuhi dagu dan rahang pria itu, membuat dia tampak berkharisma dan penuh wibawa. Posturnya yang tinggi dan gagah sekalipun sudah tidak lagi muda, menunjukkan dia bukan pria sembarangan.

Pria itu menatap Rosia dengan cermat dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dia seperti mencari sesempurna apa wanita muda yang berani melamar ke perusahaan besarnya. Apa kapasitasnya sehingga dia nekad menyodorkan diri menjadi bagian perusahaan Ardante Company.

"Kamu diterima. Kembalilah besok pagi jam delapan. Aku langsung yang akan menunjukkan di mana kamu harus bekerja." Tatapan tajam menghujam Rosia. Suara pria itu berat, tetapi tenang. Kata-katanya jelas adalah perintah yang pasti tidak ingin dibantah.

Rosia menelan ludahnya. Makin kuat debaran di dadanya. Akhirnya, setelah sepuluh tahun, Rosia berhasil! Dia berhasil masuk ke perusahaan Tuan Besar Abel Ardante.

"Tuan yakin?" Wanita tinggi kurus yang duduk di samping Abel berkata dengan tatapan heran dan penuh tanya.

"Kenapa? Ada yang salah aku menerima dia?" Abel memandang wanita itu, yang tak lain dan tak bukan adalah sekretarisnya. Suara beratnya terdengar sedikit kesal.

"Bukan seperti itu maksudku, Tuan. Tapi Rosia masih sangat baru lulus kuliah. Dia belum ada pengalaman. Apa mungkin dia mampu menyesuaikan diri dengan ritme kerja di kantor ini?" Wanita itu bicara tegas. Sangat jelas dia yakin sebenarnya jika Rosia tidak akan diterima di kantor itu.

"Kita punya waktu tiga bulan untuk menguji kemampuannya, bukan? Kamu insecure karena fresh graduate seperti dia, Selly?" Abel memandang sekretarisnya. Ada senyum sinis di ujung bibir pria itu.

"Tidak, Tuan." Selly menyahut dengan cepat. "Aku tidak mau perusahaan akan merugi jika tidak menemukan orang yang tepat. Karena akan berpengaruh dengan hasil kerja bukan hanya satu orang, tetapi juga dengan yang lain."

Abel kembali tersenyum kecil dengan mata melirik pada sekretarisnya. "Kamu tidak perlu kuatir. Selama masa percobaan, dia akan ada di bawah pengawasan Doris."

"Baiklah. Mudah-mudahan Tuan tidak salah mengambil keputusan kali ini," ujar si sekretaris tidak lega.

Rosia terus mengamati kedua orang di depannya itu. Rosia hampir yakin, mereka bukan sekadar Tuan Besar Abel Ardante sebagai bos dan Selly, pegawai cantik bak model sebagai sekretaris. Ada rasa bergidik di hati Rosia melihat gelagat keduanya. Tampak normal, tetapi tatapan mereka satu sama lain, Rosia merasa tetap ada yang ganjil.

Abel mengarahkan pandangan pada Rosia. "Kamu dengar jelas keputusanku. Kamu bisa mulai bekerja besok pagi. Jam delapan, tepat tidak boleh terlambat satu menit pun. Time is money, kamu harus ingat itu."

"Baik, Tuan, terima kasih," kata Rosia dengan mata lurus memandang ke depan.

"Besok, temui Doris Fardan. Dia yang akan mengawasi kamu selama tiga bulan kamu bekerja di sini. Jangan sekalipun melakukan kesalahan atau kamu tidak akan bisa lanjut bekerja di perusahaanku," ujar Abel dengan tegas.

"Baik, Tuan." Rosia menjawab seraya mengangguk.

"Pergilah, aku harus melanjutkan pekerjaan," kata Abel.

"Saya permisi," sahut Rosia.

Dia meninggalkan ruangan besar dan indah, kantor utama Tuan Besar Abel Ardante. Rosia merasa debaran kuat di dadanya perlahan menyusut dan kembali normal begitu dia makin jauh dari ruangan itu. Rosia terus melangkah dan menuju ke toilet yang ada di ujung kantor yang besar itu.

Di dalam toilet, Rosia menatap cermin besar di sana. Matanya memandang pada dirinya dengan wajah nanar dan tegang. Yang Rosia lihat, Abel Ardante sedang berdiri dengan wajah garang, menatap galak penuh amarah pada seorang pria kurus yang tidak begitu tinggi di depannya.

**

"Kamu pikir kamu bisa mengalahkanku, hah? Kamu tidak sehebat itu. Aku, Abelardo Ardante pemenangnya." Tangan Abel mencengkeram kuat kerah baju pria itu. Dia sampai sedikit berjinjit karena Abel menariknya makin tinggi. Tapi tidak ada ketakutan sama sekali di wajah pria itu terhadap Abel.

"Aku tidak berbuat seperti yang kamu tuduhkan. Kamu tahu, aku tidak mungkin mencurangi kamu, Abel. Ini semua fitnah. Kita sudah bekerja bersama hampir lima belas tahun. Kamu harus percaya padaku," kata pria itu dengan serius. Suaranya tidak begitu keras tapi tegas dan berusaha meyakinkan Abel.

"Ho ho! Manusia bisa berubah! Uang. Uang yang bisa membuat orang tidak punya hati! Kamu sudah berubah karena kamu ingin menguasai semuanya, bukan!?" Dengan kasar Abel menjatuhkan pria itu, lalu menendangnya dengan kuat hingga pria itu meringkuk dan merintih kesakitan.

"Ayah ...." Rosia memejamkan matanya erat-erat. Pemandangan mengerikan itu tidak akan pernah dia lupakan.

Abelardo Ardante, siang itu datang ke rumahnya dengan empat anak buahnya dan menganiaya ayah Rosia. Rosia sedang di kamarnya asyik menonton film di laptop, tiba-tiba mendengar suara pria yang marah dan berteriak memaki-maki ayahnya.

Rosia sangat terkejut. Di tengah ketakutan dia ingin tahu apa yang terjadi. Rosia mengintip dari pintu kamar yang sedikit dia buka dan menyaksikan bagaimana Abel memaksa ayah Rosia mengaku telah menipu Abel. Ayah Rosia tetap kekeh mengatakan dia tidak melakukannya. Dan kemarahan Abel semakin meluap. Hingga akhirnya, satu tembakan tepat di dada ayah Rosia menghabisi nyawanya.

Gemetar, sambil menangis, dan serasa mau pingsan, Rosia menahan diri tidak bersuara. Dia terduduk lemas di belakang pintu kamar setelah semua kejadian itu. Hingga kira-kira satu jam berlalu, ibu Rosia yang baru pulang dari belanja berteriak sekeras-kerasnya melihat suaminya terkapar di lantai tak bernyawa.

**

"Sepuluh tahun, Abel. Sepuluh tahun aku menunggu hari ini. Aku tidak akan menyia-nyiakan waktuku. Kamu akan lihat apa yang bisa aku lakukan untuk membalas dendam atas kematian ayahku." Dengan tangan terkepal, dada naik turun menahan emosi yang meluap, Rosia menatap cermin di depannya.

Dia menyimpan kejadian itu rapat-rapat. Bahkan pada ibunya, Rosia tidak mampu membuka suara dan mengatakan apa yang terjadi. Saat ditanya apa yang dia lihat, Rosia mengatakan dia tertidur di kamar dan tidak mendengar apa-apa.

Yang lebih menyakitkan, Abel datang setelah kejadian itu sebagai sahabat yang peduli. Berita yang tersebar kemudian, ayah Rosia tewas bunuh diri karena tekanan pekerjaan membuat dia depresi. Rosia semakin marah dengan semuanya. Dia marah pada Abel Ardante. Dia marah pada ibunya yang tidak berdaya untuk mencari kebenaran. Marah pada dirinya sendiri karena masih kecil dan tidak mampu juga melakukan apa-apa. Marah pada Tuhan, karena membiarkan semua itu terjadi.

"Bukan hanya kamu, Abel, yang akan merasakan sakit hatiku. Satu per satu keluargamu akan aku buat menderita. Lihat saja. Nyawa ayahku harus kamu tebus dengan semua anggota keluarga kamu yang arogan itu." Tekad Rosia sudah bulat. Rencana balas dendam yang dia susun bertahun-tahun siap dia mulai.

"Katakan selamat tinggal pada surgamu, sambutlah neraka yang akan aku hadirkan untuk kamu, Abel," ucap Rosia lirih. Matanya menatap cermin dengan penuh kebencian, sementara air mata menitik membasahi kedua pipinya. Dengan kasar Rosia mengusap kedua pipinya menggunakan punggung tangan.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang