"Kamu terlambat balik. Kenapa? Tidak kasih kabar juga." Doris menyambut Rosia dengan tatapan menyelidik.
Rosia baru masuk kantor, langsung dapat sambutan itu.
"Maaf, Bu. Sebenarnya saya sudah dari sebelum jam delapan sampai di kantor. Cuma, tadi ketemu Tuan Bernardo. Dia minta saya-"
"Okelah. Aku tidak mau berdebat. Pekerjaanku banyak, Rosia." Doris berkata sambil memutar tubuhnya. Dia kembali memfokuskan diri dengan pekerjaan yang harus segera dia selesaikan.
Rosia menuju mejanya. Jika Doris bersikap agak dingin, itu berarti dia sedang banyak pekerjaan, ada tekanan, dikejar deadline, atau sedang kesal. Lebih baik Rosia tidak mengganggu atau membuat kesalahan.
Sementara sambil bekerja, dia sesekali makan pudding dan meneguk minuman yang Bernardo berikan. Sedangkan pikiran Rosia terbawa pada tiga pria Ardante. Abel dengan kasus affair-nya. Bernardo yang gerah dan gelisah karena papanya. Kemudian Devano, yang galau karena putus cinta.
Di situasi itu, Bernardo tampaknya yang paling akan menanggung semua beban. Dia yang paling waras pikirannya. Tetapi pasti paling kalang kabut harus mengatasi semua.
"Bagus sekali. Kesempatan aku membuat berantakan keluarga Ardante seperti dengan segampang itu datang. Aku bahkan belum berbuat banyak hal. Oke, polesan sedikit lagi mungkin akan mempercepat kekacauan di hidup mereka." Rosia berkata pada dirinya sendiri.
Ada gairah kembali tumbuh. Rosia yang mencoba masuk untuk memperkeruh situasi. Semakin mereka ribut, semakin kacau di antara satu sama lain, pasti berpengaruh pada seluruh hidup mereka.
"Oke. Mainkan, Rosia. Tidak lama pasti aku bisa menyelesaikan ini. Ah, ternyata semudah itu." Rosia tersenyum kecil seraya menggeleng-geleng.
Lalu dia menatap ke langit-langit. "Kau merestui perjuanganku di sini, Tuhan? Kau bantu aku mau balas dendam? Sound so good."
"Rosi!" Panggilan Doris keras dan membuat Rosia terkejut.
Cepat Rosia menoleh dan memandang Doris.
"Aku, aku harus pulang." Doris juga memandang pada Rosia dan dia terlihat pucat.
"Bu Doris kenapa?" tanya Rosia dengan mata lebar.
"Aku ga kuat. Aku bisa pingsan kalau tidak cepat berbaring dan tidur." Suara Doris sedikit gemetar.
Roria berdiri dan sigap dia mendekat pada Doris. Rosia menyentuh lengan Doris. "Tangan Ibu dingin sekali."
"Ya ... aku lebih baik pulang," ujar Doris. Dia menoleh ke sisi kanan, meraih tasnya.
"Ibu ga mungkin pulang sendiri. Kalau kenapa-napa di jalan gimana?" kata Rosia.
"Kamu teruskan kerjaan. Masih banyak yang harus diurus. Tolong list ... ini ...." Tangan Doris menunjuk pada sticky note yang tertempel di pinggir layar monitor. "... itu harus selesai hari ini, Rosi."
"Baik. Tapi Bu Doris-"
"Aku sudah pesan taksi online. Aku bisa pulang sendiri. Tapi deadline ga bisa mundur," sahut Doris.
"Iya, baik, Bu." Rosia bangun. Dia memapah Doris, turun sampai di lobi.
Doris memanggil resepsionis memintanya untuk membantu keluar kantor dan menyuruh Rosia balik ke ruangan. Rosia menurut. Dia sedikit cemas dengan kondisi Doris, tetapi tidak bisa menolak perintah.
Kembali ke ruangan, Rosia pindah ke kursi dan meja kerja Doris. Dia memperhatikan pekerjaan Doris dan meneruskan apa yang perlu dibuat. Sesekali Rosia menghubungi Doris, berkomunikasi memastikan yang dia kerjakan tidak salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Terbelenggu Cinta
RomanceKejadian mengerikan kematian sang ayah di tangan rekan bisnisnya tak akan Rosia lupa. Setelah sepuluh tahun berlalu, Rosia memulai rencana pembalasan dendam atas kematian sang ayah. Berhasil masuk di perusahaan keluarga Ardante, Rosia perlahan ingin...