Bab 13. Amarah

5 1 0
                                    


Devano tidak mau mengalah juga. Dia membantah Abel dengan berani.

"Aku tidak mau berdebat denganmu! Kamu merusak hariku saja. Jangan kuatir, aku akan segera pulang!"

Klik. Panggilan itu berakhir. Abel memutus sambungan telpon dengan Devano.

"Abel Ardante. Kenapa kamu masih hidup?" Devano berkata dengan geram yang pasti naik ke ubun-ubun. Wajahnya merah. Dia bicara dengan gigi tetap menyatu.

Kaget juga Rosia mendengar kalimat itu. Devano, kalau mau Rosia simpulkan, seorang anak yang penuh kebencian kepada ayahnya. Dia berada di pihak ibunya yang dalam pandangan Devano, selalu disakiti Abel.

Devano menoleh pada Rosia. "Kamu bukan orang yang ember, kan?"

Sekali lagi, Rosia terkejut. Apa maksud pertanyaan Devano?

"Kamu pasti sudah bisa menduga apa yang terjadi di keluarga Ardante. Aku mau pastikan kamu bukan tukang gosip," kata Devano memperjelas.

"Saya mengerti, Mas. Saya tahu apa yang harus saya lakukan. Apapun cerita tentang keluarga Ardante akan berhenti sampai di saya saja." Rosia memandang Devano. Dia tegas menatap bola mata Devano yang lesu dicampur kesal.

"Bahkan juga pada Doris. Kamu paham?" Devano menegaskan lagi.

"Ya, Mas." Rosia mengangguk dan menjawab tegas.

"Jika aku mendengar kamu bergunjing aku akan minta kamu dikeluarkan dari kantor." Devano memberikan ancaman.

Ah, ternyata, sekalipun terkesan santai dan cuek, Devano sangat menjaga nama baik keluarga. Baiklah.

"Bukan papa yang aku mau lindungi, tapi mama. Aku masih mau mama lebih lama bersama kami. Dia pernah bilang, mau melihat aku punya anak."

Rosia menyimpan semua itu di hatinya dan pasti akan menjadi catatan untuknya. Ada ketegangan di dalam hubungan keluarga Ardante. Sepertinya satu cela Rosia telah temukan. Tinggal mengerucutkan rencana, untuk kemudian melempar bom untuk Ardante.

*****


"Mama sudah baikan?" Devano masuk ke ruangan tempat Erlina dirawat. Dia kembali setelah puas melepas kesal di hati di pinggir pantai dan mengantar Rosia balik ke kantor.

Erlina telah dipindahkan dari ruang gawat darurat, artinya kondisi Erlina sudah lebih baik.

Catherine duduk di kursi di sebelah tempat tidur menyuapi Erlina makan roti.

"Hmm-mm." Erlina menyahut. Dia tersenyum sementara mulutnya mengunyah roti.

Erlina terlihat sedikit lebih cerah dan tidak pucat seperti saat pertama Devano datang menjenguknya.

"Thanks, Ma. Aku sangat lega." Devano mendekat. "Mama pengin apa? Kalau udah pulang aku belikan apapun yang Mama mau."

"Mama ga butuh apa-apa. Papa kamu sudah menyiapkan semua." Erlina menjawab. "Mama mau kamu, Cathy, dan Bernard segera punya pendamping."

"Mama ...." Catherine seketika cemberut.

"Umur kalian sudah banyak, tidak akan lama menuju ke arah tua, masih juga belum mau nikah. Apa susahnya cari jodoh dengan semua kapasitas kalian?" Erlina memandang Catherine lalu beralih ke Devano.

"Kak Cathy yang harusnya segera. Aku belum 30, Ma. Tenang aja," ujar Devano.

"Mama mau aku happy, kan? Yang paling penting aku happy. Benar, kan?" Catherine bicara dengan nada manja, tapi minta persetujuan.

"Tentu saja. Itu yang selalu Mama doakan," ucap Erlina.

"Sekarang aku happy, Ma. Aku mandiri, punya usaha yang berkembang meskipun tidak di perusahaan papa. Aku bisa menolong banyak orang dengan bekerja. Aku happy, Ma. Banget." Catherine mengelak harapan sang bunda dengan pencapaian yang dia raih.

"Cathy, akan ada waktunya kamu merasa semua begitu berat. Seorang pendamping akan menguatkan kamu melewati situasi itu." Erlina mengulurkan tangan memegang lengan Catherine.

Catherine memandang sang bunda. "Apa papa menguatkan Mama di situasi berat yang Mama hadapi?"

Erlina terdiam. Pertanyaan itu seperti membuyarkan semua tujuan mulia dalam hubungan pria dan wanita yang akan Catherine dapatkan jika dia memberi kesempatan pada dirinya.

"Ma, lanjutkan makan. Tinggal dikit lagi." Devano memecah keheningan ibu dan kakaknya.

Catherine segera menyendok lagi makanan yang tinggal dua tiga suap itu. Tidak ada lagi yang bicara hingga Erlina selesai makan. Lalu Erlina memejamkan mata, dia memilih tidur. Sebenarnya dia ingin menenangkan diri setelah pertanyaan Catherine yang cukup menyentakkan hati.

Devano mengajak Catherine keluar kamar dan duduk di luar ruangan. Devano merasa tidak enak hati dengan jawaban Catherine pada ibu mereka.

"Kak, kamu jangan buat mama sedih. Kamu paham maksud dialah. Dia mau kamu punya keluarga, punya tempat buat dirimu sendiri, dengan keluarga yang kamu miliki." Devano menarik lagi hati Catherine agar mau mengerti keinginan ibu mereka.

"Kalau aku nikah, lalu aku dipermainkan seperti kelakuan papa ke mama, apa mama akan happy? Aku berantakan, mama makin menderita." Catherine masih kekeh dengan pandangannya.

Trauma. Amarah. Kecewa. Semua itu memenuhi diri Catherine melihat kondisi keluarga Ardante, khususnya hubungan orang tuanya. Tentu saja, Catherine tidak mau mengalami hal yang sama seperti Erlina. Sekalipun punya segalanya, Abel sering bermain dengan wanita. Erlina, sebagai istri, hanya status semata.

"Kamu beneran ga mau married? Kasihan para pengejar kamu, Kak. Dari antara mereka aku lihat setidaknya, dua bisa jadi kandidat." Devano melanjutkan percakapan soal jodoh buat kakaknya.

"Orang itu baik kalau ada maunya. Apalagi mau dapetin gebetan. Kalau udah jadi beneran, aslinya keluar," ucap Catherine. Dia tidak kehabisan kata untuk membantah bujukan soal cinta. "Kamu pikir mama dulu mau sama papa ga, kalau tahu dia playboy?"

"Sisi ini kamu mirip papa. Batu." Devano nyengir.

"Lalu kamu?" Catherine menatap adik bungsunya. "Kamu marah sama papa karena ga setia sama mama. Kamu udah ganti berapa cewek? Bukannya kamu sama aja, suka main hati?"

"Tapi ga aku pacarin di waktu yang sama, Kak. Kalau ada pacar, ya sama dia aja aku," jawab Devano.

"Terus, hubungan kamu bebas gitu? Ga takut cewek kamu hamil?" Pertanyaan Catherine berlanjut.

"Dijaga, Kak. Dia juga ga mau hamil." Devano garuk kepala. Kakaknya biarpun hidup di kota metropolitan, masih kolot. Macam gadis tahun 70 atau 80-an.

"Kamu ga ngerasa dosa, dengan kelakuan kamu itu?" Catherine makin tajam menatap Devano.

"Gimana, ya? Dia juga mau." Lagi-lagi Devano menggaruk kepala yang tidak gatal.

"Dasar." Catherine menggeleng-geleng mendengar jawaban Devano.

"Besok aku ga bisa jaga mama, Dev. Ada jadwal aku ga bisa tinggalkan." Catherine bicara setelah memeriksa list kegiatan di ponsel.

"Ada papa. Dia pasti sudah datang. Atau minta salah satu pembantu rumah saja temani mama," ujar Devano.

"Aku kok ga tega. Setidaknya satu anggota keluarga yang sama mama, Dev," tukas Catherine.

"Okelah, kita lihat besok. Siapa tahu Berny agak longgar, misal papa ga ada, biar dia ke sini." Devano mengusulkan.

"Coba aja bicara sama dia." Catherine setuju.

Keduanya tidak lagi bicara. Sibuk dengan ponsel masing-masing hingga kira-kira lima belas menit berikutnya. Devano beranjak, Serine minta dijemput dan mau jalan malam itu karena sedang galau.

Devano melihat Erlina di kamar, sebelum kemudian meluncur menuju rumah kekasihnya. Devano akan melepas penat hatinya bersama Serine. Setidaknya resah yang menyergap di dada sejak tahu mamanya sakit, akan sedikit menyingkir.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang