Bab 4. Intimidasi

16 4 0
                                    


"Kamu siap?" Doris menatap lekat-lekat pada Rosia. Hari kedua bekerja, Rosia akan bertemu dengan Bernardo.

Entah apa yang akan pria itu minta untuk Rosia lakukan. Tentu Rosia berharap bukan hal yang terlalu sulit dan dia bisa memberi kesan baik pada anak pemilik perusahaan yang juga telah menjadi salah satu pimpinan.

"Harus siap, Bu." Rosia berkata tegas. Sekalipun dadanya bergemuruh, Rosia berusaha tetap tenang.

"Oke." Doris tersenyum. "Do your best."

Doris lalu memberitahu letak ruangan Bernardo. Rosia menuju lantai paling atas, di sisi kiri. Di depan ruangan itu tertulis nama lengkap Bernardo dengan gelarnya sekaligus.

"Dr. Bernardo Knight Ardante, MMSI. Woww ...." Jantung Rosia meletup seketika.

Bukan kaleng-kaleng. Bernardo pasti cerdas dan tahu banyak hal dalam bisnis dengan gelarnya itu. Hati Rosia mulai menciut. Dia seperti bukan apa-apa berhadapan di depan anak Abel.

"Rosia, itu hanya gelar. Oke?" ucap Rosia lirih, menenangkan dirinya sendiri.

Rosia menggeser tubuhnya dua langkah ke kiri dan berdiri tepat di depan pintu. Dia menarik nafas dalam lalu mengetuk pintu.

"Masuk!" Terdengar sahutan kuat dari dalam.

Rosia membuka pintu dan melihat ke dalam. Bernardo sedang duduk di belakang meja kerjanya. Sebuah buku tebal dan besar ada di tangan pria itu. Dia menunduk, serius membaca buku yang dia pegang.

"Selamat pagi, Pak!" Rosia masuk dua langkah dari pintu dan berhenti di sana.

Bernardo mengangkat wajahnya memandang Rosia. Bernardo terlihat berbeda karena ada kacamata bertengger di wajahnya. Dia terlihat lebih tampan dan berwibawa.

"Bagus, kamu datang tepat waktu. Ke sinilah. Duduk!" titah Bernardo.

Rosia maju, duduk di kursi berhadapan dengan Bernardo. Rosia merasa ada hawa panas mulai menyusup di tubuhnya. Ketegangan semakin kuat. Pertanyaan besar muncul di kepala Rosia. Apa yang Bernardo akan lakukan padanya?

"Aku sudah dapat informasi lengkap tentang kamu." Kalimat pertama yang Bernardo ucapkan membuat gemuruh di dada Rosia bertambah.

"Seorang sarjana, fresh graduate dari salah satu perguruan tinggi favorit di kota Surabaya. Jurusan Ilmu komunikasi. Lulus dengan nilai cumlaude dan mendapat beberapa penghargaan selama menyelesaikan S1." Tatapan Bernardo tajam pada Rosia. "Hebat."

Rosia menelan ludahnya. Ah, pujian itu sama sekali tidak menyenangkan, tidak juga melegakan. Justru membuat Rosia getir, jika dengan catatan sebagus itu lalu Rosia tidak bisa memenuhi permintaan Bernardo, apa artinya?

"Tapi aku tidak selalu yakin dengan catatan akademis." Bernardo langsung menjatuhkan mental Rosia. "Karena tidak sedikit orang tampak pintar di sekolah, tapi dia mati kutu waktu berurusan dengan dunia kerja. Kamu paham maksudku?"

Tegas, sedikit memojokkan, kata-kata yang Bernardo lemparkan.

"Saya paham, Tuan." Dengan cepat Rosia menjawab. Sial, suaranya terdengar sedikit serak karena grogi.

Senyum tipis dan sinis langsung muncul di bibir Bernardo. Pria itu berdiri, berjalan memutar lalu berhenti tepat di samping kursi Rosia. Bernardo merendahkan tubuhnya, setengah berjongkok dan berbisik di telinga Rosia.

"Kamu takut?" Pelan saja dua kata itu meluncur dari mulut Bernardo, tapi intimidasi pria itu sangat terasa.

"Saya ...." Jujur, Rosia merasa seperti seorang anak ketahuan mencuri uang tabungan ibunya. "Saya akan berusaha melakukan yang terbaik, Tuan."

"Hehehe ...." Bernardo terkekeh lalu kembali berdiri. "Sangat standar jawaban kamu. Hampir setiap karyawan baru akan mengucapkan kalimat yang sama. Melakukan yang terbaik."

Bernardo bergerak lagi, menuju kursinya dan duduk kembali di sana. "Mari kita lihat, apa yang bisa kamu lakukan. Terbaik versi kamu itu seperti apa."

Lagi-lagi, tidak bisa tidak, Rosia menelan ludahnya karena ketegangan belum berkurang.

Bernardo memutar kursinya, dia bergeser ke sisi kanan, dan melihat ke layar komputer di meja itu. Kemudian dia mengatakan ini dan itu sehubungan dengan pekerjaan. Dia menjelaskan proyek apa yang sedang dia garap, target yang akan dicapai, deadline dari proyek kapan, dan seterusnya. Hingga di bagian akhir, Bernardo meminta Rosia membuat beberapa iklan untuk proyek itu, yang akan menjadi promosi untuk menarik konsumen.

Detil, runtut, dan cermat, Bernardo menjelaskan semuanya. Rosia mau tidak mau kagum, sangat kagum dengan Bernardo. Ternyata anak Abel Ardante bukan hanya sekadar anak sultan, tapi dia memang berkualitas. Yang Doris katakan tentang Bernardo, semua benar adanya.

"Kapan saya bisa menyelesaikan tugas saya, Tuan?" tanya Rosia setelah penjelasan Bernardo tuntas.

"Aku tidak akan memberikan deadline. Kata kunci yang aku berikan, secepatnya." Tatapan Bernardo kembali tajam. "Menurut kamu, secepatnya itu kapan?"

Tidak! Mengintimidasi sekali Tuan Muda Bernardo ini! Terus terang, Rosia belum banyak pengalaman dalam membuat iklan atau promosi untuk dipublikasikan di media sosial. Dia memang mendapat setidaknya dua mata kuliah berurusan dengan itu, tetapi tentu berbeda sekali dengan yang harus dia kerjakan untuk perusahaan sebesar Ardante Company.

Rosia merasa semakin mengecil di depan Bernardo. Jika dia salah menjawab, bisa buruk akibatnya. Padahal, dia ingin menghancurkan pria tampan dan mengagumkan yang tengah duduk di depannya itu.

"Aku tidak suka menunggu lama, Rosia," tukas Bernardo tidak sabar.

"Seluruhnya akan selesai dalam tiga hari, Tuan. Besok saya bisa serahkan tiga konsep," jawab Rosia. Dia mengucapkan jawaban itu begitu saja. Anggaplah Rosia tidak lagi berpikir!

"Kamu yakin?" Bernardo melirik Rosia dengan tatapan intimidasi lagi.

"Ya, Tuan. Sebelum makan siang besok, saya akan serahkan kepada Tuan." Mau tidak mau Rosia harus menjawab.

"Oke. Mari kita lihat!" sahut Bernardo. "Besok, jam sebelas empat puluh lima menit, hasil pekerjaanmu harus sudah masuk di email. Jelas?"

"Jelas, Tuan," ucap Rosia sambil mengangguk.

"Kembalilah ke tempatmu." Bernardo mengambil buku yang sama saat Rosia masuk, lalu kembali menunduk.

Rosia berdiri dan melangkah ke arah pintu.

"Rosia!" Bernardo memanggil.

Dengan cepat Rosia berbalik dan memandang pria itu.

"Tolong beritahu OB, kopiku habis. Seharusnya dia sudah menggantinya," kata Bernardo.

"Baik, Tuan," jawab Rosia.

Rosia keluar kantor itu dan menutup pintu. Refleks, Rosia menarik nafas dalam beberapa kali. Lega, setidaknya dia tidak salah bersikap di depan anak Abel. Tapi pembuktian dirinya belum menghasilkan apapun. Mencari cela di mana dia akan menghabisi Ardante muda, seperti menabrak tembok. Rosia harus berjuang bertahan dulu sampai dia tahu kelemahan Bernardo Ardante.

Rosia tidak langsung kembali ke ruangannya bersama Doris, tetapi mencari pantry di lantai itu, memberitahu OB pesan dari Bernardo. Rosia menduga saja, posisi pantry ada di sisi yang sama dengan lantai tempat dia berkantor.

"Yes, aku benar." Lirih, Rosia berucap begitu melihat pantry yang dia cari ada di depannya.

Dua orang karyawan dengan seragam OB ada di sana. Rosia perlahan berjalan mendekat.

"Selamat pagi, Pak." Rosia menyapa.

Dua pria berseragam warna hijau gelap itu menoleh dan memandang Rosia.

"Pagi, Neng. Ada apa, ya?" Pria yang lebih tua membalas sapaan Rosia.

Rosia hampir membuka mulut menjawab, ketika seseorang tiba-tiba datang dan menyela.

"Pak Diman, kenapa kamu ganti minuman Tuan Besar?! Dia jadi moody banget, tahu ga, sih?!"

Suara tajam seorang wanita dari arah belakang Rosia. Rosia menoleh dan melihat siapa yang muncul.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang