Bab 3. Kafe

16 4 0
                                    


Entah kenapa, dada Rosia tiba-tiba meletup dan berdebar kuat begitu melihat dua anak Abel ada di kafe itu. Apakah ini kafe favorit mereka juga? Apakah hari keberuntungannya memang sudah tiba? Rosia sepertinya punya kesempatan berkenalan dengan anak Abel lebih cepat dari yang dia kira!

"Menu paling enak di sini steak, Rosia. Kamu mau coba?" Doris bicara sementara matanya melihat ke seluruh ruangan, mencari tempat untuk dia dan Rosia duduk.

"Ya, boleh, Bu," jawab Rosia.

"Ah, di sana. Ikuti aku," ajak Doris. Dia menunjuk ke satu sisi dari kafe itu.

Rosia mengikuti Doris ke tempat yang kosong yang ternyata hanya berjarak dua meja dari posisi dua anak Abel duduk.

"Kalau berhadapan dengan anak Tuan Abel jangan lupa menegur." Doris berpesan.

Mereka memang harus melewati meja kedua Ardante muda itu. Rosia menyiapkan dirinya, harus bersikap benar di hadapan mereka. Kesan pertama sangat penting. Jika dia bisa mengambil perhatian anak-anak Abel, langkah awal yang bagus dia bisa mendekati mereka. Jangan sia-siakan kesempatan emas yang muncul di depan mata!

"Selamat siang, Tuan!" Doris dengan gaya ceria yang Rosia mulai yakin itu ciri khas Doris, menyapa dua anak Ardante.

"Doris Fardan! Wanita perkasa di kantor kita!" Si gondrong, Devano membalas sapaan itu.

"Bang Devan bisa saja. Perkasa dari mana? Hehehe ...." Doris menimpali perkataan Devano. Senyumnya lebar dan lepas.

Rosia yang berdiri dua langkah di belakang Doris mencermati wajah Devano. Makin dekat makin tampan saja. Hidungnya tidak begitu, tinggi tetap bagus. Bibirnya tipis, meski di bagian bawah sedikit lebih tebal. Rambutnya lurus, lebat, dan bagus. Model agak gondrong memang pas sekali untuknya.

"Siapa yang kamu ajak ke sini, Bu Doris? Pegawai baru?" Bernardo membuka suaranya. Kalimat pria itu terdengar serius. Tatapan matanya langsung tajam pada Rosia.

Doris menoleh ke belakangnya, kepada Rosia. Lalu dia kembali melihat pada Bernardo. "Benar, Tuan Bernard. Namanya Rosia. Baru hari ini bekerja. Tapi dia sangat bagus."

Mata Rosia melebar. Doris memuji Rosia di depan kedua anak Abel? Rosia baru bekerja empat jam hari itu dan Doris tidak menahan diri memberi pujian di depan anak pemilik perusahaan! Ini bagus atau justru jebakan untuk Rosia?

"Oya? Bagaimana kamu bisa yakin?" Bernardo menelisik Rosia. Dia melihat dengan tajam seperti ingin menguliti Rosia dengan tatapan matanya.

"Anggaplah aku terlalu terburu-buru menilai. Jika besok atau lusa aku rasa aku salah, aku akan memberitahu Tuan," kata Doris. Kalimat itu dia ucapkan juga dengan nada serius.

"Hmm, oke." Bernardo berucap masih dengan mata menghujam Rosia. Dia mengangguk-angguk, tapi seperti tidak yakin.

"Ah, pesanan datang. Aku sudah sangat lapar!" Devano memecah ketegangan yang terjadi di tengah ramainya kafe itu.

Pelayan datang dengan nampan membawa pesanan dua anak Abel. Doris meminta diri, mengajak Rosia ke meja yang memang ingin dia tuju sejak baru masuk kafe. Rosia dan Doris duduk berhadapan. Sambil memilih menu, Doris kembali bicara.

"Bagaimana menurut kamu kedua anak Tuan Abelardo Ardante?"

"Seperti yang Bu Doris katakan. Tuan Bernardo serius, Tuan Devano lebih santai," jawab Rosia.

"Kamu sudah bertemu mereka, bersiap-siap saja, Rosia," ujar Doris dengan senyum tipis yang menurut Rosia mengandung makna khusus.

"Maksudnya bagaimana, Bu?" tanya Rosia. Kembali debaran mulai merambah dada Rosia.

"Ada kalanya mereka ingin menguji pegawai baru. Jadi, jangan kaget kalau tiba-tiba mereka akan memanggil kamu dan meminta kamu mengerjakan sesuatu." Doris menjawab sambil membuka lagi lembaran buku menu di depannya.

"Benarkah?" Rosia terperanjat mendengar itu.

"Oya, kamu mungkin berpikir, kenapa anak Tuan Abel tidak makan di resto mewah, tapi di kafe seperti ini, meskipun terbilang kafe kelas menengah." Doris tidak menjawab komentar Rosia.

Sebenarnya pikiran itu justru belum sampai di kepala Rosia.

"Kafe ini milik kakak mereka. Nona Catherine Angelica Ardante," kata Doris menjawab sendiri pertanyaannya.

"Oh ...." Mulut Rosia membulat. Sama sekali tidak dia sangka.

"Baru lebih kurang satu tahun dibuka." Doris meneruskan. "Ah, aku kira menu kita hari ini yang ini saja."

Doris menunjukkan gambar dari buku menu. Rosia mengangguk sepakat. Kira-kira lima belas menit berikut makanan dihidangkan. Rosia yang memang sudah lapar langsung menyantap segera makanan miliknya. Seperti yang Doris katakan, steak kafe itu sangat enak.

Belum setengah Rosia menyantap makanannya, Doris memegang lengannya, memaksa Rosia menghentikan gerakannya dan melihat pada Doris.

"Tuan Bernardo meminta kamu ke mejanya." Pandangan Doris terlihat serius.

"Sekarang? Kenapa?" Debar-debar kuat dengan cepat menyusup di dada Rosia.

"Segera sana. Tuan Bernardo tidak suka menunggu," kata Doris tegas.

Rosia meletakkan garpu dan pisau di tangannya, lalu dia berdiri meninggalkan kursinya dan melangkah ke meja di mana dua anak Abel duduk. Rosia harus bersiap! Dia akan berhadapan dengan dua makhluk yang menjadi target dari rencana balas dendamnya.

Rosia berdiri di samping meja. Dia menarik nafas dalam dan membuka mulutnya. "Permisi Tuan. Apakah ada yang bisa saya bantu?"

Dua Ardante muda itu memandang pada Rosia. Pandangan keduanya sama. Bentuk mata keduanya pun sama. Rosia tegang sekali dipandang dengan tatapan seperti itu.

"Siapa namamu?" tanya Bernardo.

"Saya Rosia Jingga Kinasih, Tuan." Rosia berusaha menjawab dengan setenang mungkin. Dia harus bisa menunjukkan rasa percaya diri. Dia harus bisa menarik perhatian kedua anak Abel.

"Nama kamu bagus sekali," Devano menyahut.

"Terima kasih, Tuan," ucap Rosia.

"Rosia." Bernardo menyebut nama Rosia. 

Pria muda itu lagi-lagi meneliti setiap inci wajah Rosia. Dia seperti ingin menghafalkan lekuk-lekuk wajah ayu gadis dengan postur bagus meski tidak begitu tinggi, malah cenderung imut.

"Kamu baru lulus kuliah?" Bernardo bertanya, tetapi nadanya menuntut jawaban iya.

"Benar, Tuan," jawab Rosia.

"Fresh graduate. Aku suka. Orang-orang yang sedang ingin mencari petualangan untuk berkarir." Devano menimpali, sementara dia kembali meneruskan menyelesaikan makan siangnya.

"Besok, kamu datang ke kantorku. Jam sembilan. Tepat waktu." Bernardo tidak menimpali ucapan adiknya. Dia menatap masih dengan tatapan menghujam pada Rosia.

"Baik, Tuan. Saya akan datang tepat waktu," jawab Rosia. 

Dadanya makin kuat meletup. Yang Doris katakan lagi-lagi benar. Apa Rosia akan dikerjai anak Abel? Rosia perlu menguatkan mentalnya. Bukan tidak mungkin Tuan Muda yang satu lagi akan melakukan hal yang sama.

"Oke. Sudah. Balik sana ke mejamu," kata Bernardo.

"Terima kasih, Tuan." Rosia mengangguk dan berbalik, melangkah kembali ke mejanya.

"Ih, sombong sekali dia. Bossy gitu," ucap Rosia dengan kesal, tapi hanya di hatinya.

"Belum setengah jam aku bicara, sudah kejadian, kan?" sambut Doris saat Rosia kembali duduk di kursinya.

"Benar, Bu. Saya kaget sekali," kata Rosia. Debaran di dadanya perlahan mereda.

"Kamu sudah tahu triknya menghadapi Tuan Bernardo?" Sambil memotong daging di piring Doris bertanya.

"Saya harap begitu, Bu," jawab Rosia.

"Nice," ucap Doris sambil tersenyum tipis.

Waktu sisa makan siang membuat Rosia tidak nyaman. Bernardo mampu membuat Rosia gelisah. Rosia berharap waktu berhadapan dengan Bernardo esok hari, pria itu tidak meminta hal-hal yang sulit untuk Rosia lakukan.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang