Rosia seketika menggigit bibirnya. Apa lagi yang dia ucapkan itu? Apa urusannya dengan hidup Rosia, Devano kerja dan tidak kerja kalau sedang galau?
"Nggak!" Devano menjawab dengan nada suara meninggi.
Oh, tidak. Apakah dia akan marah karena pertanyaan Rosia?
"Aku ga bakal bisa mikir. Dan aku ga akan ke kantor!" Devano masih terlihat emosi.
Rosia makin merasa bodoh. Harusnya dia tutup mulut saja.
"Eh, kalau begitu, saya bisa minta turun di depan, Tuan? Saya akan balik ke kantor, karena Tuan tidak lagi di rumah sakit." Rosia merasa tugasnya selesai. Bernardo menyuruhnya menemani Devano di rumah sakit, sementara yang di rumah sakit menemani ibu mereka adalah Chaterine.
"Jangan panggil Tuan Tuan. Panggil yang lain, bisa?" Devano tidak menjawab pertanyaan Rosia.
"Maaf, Tuan, tapi saya-"
"Sekali lagi panggil tuan aku kasih SP, mau?" Devano menoleh pada Rosia yang bingung dengan tingkah Devano.
"Eh, iya, maaf, Mas." Rosia terpaksa mengganti panggilannya. Dalam hati dia ingin sekali tertawa. Tidak cocok sama sekali nama sekeren Devano dipanggil Mas.
"Good." Devano menyahut lega, tapi suaranya masih terdengar tidak manis.
Devano mengarahkan kendaraan menjauh dari arah kantor. Rosia tidak tahu dia mau dibawa ke mana, yang pasti Devano masuk ke tol arah berlawanan dengan kantor mereka.
"Mas, ini mau ke mana?" Sedikit takut, Rosia bertanya.
"Tugas kamu menemaniku. Ga usah tanya." Devano menjawab tanpa menoleh, malah dia tancap gas dan mempercepat laju kendaraannya.
Dada Rosia tiba-tiba berdegup kuat sekali. Devano jadi menakutkan kalau begini. Dia biasanya ramah dan santai. Hari ini dia sangat berbeda.
Rosia mengatur mulutnya rapat-rapat. Tidak akan ada gunanya dia mendebat. Mau bagaimanapun, perjuangan menghancurkan keluarga Ardante masih sangat panjang. Lagi-lagi Rosia mengingatkan dirinya harus hati-hati bertindak jangan sampai belum apa-apa dia didepak keluar dari sana.
Kendaraan masih melaju. Dari lokasi yang disusuri, Rosia tahu mereka meninggalkan pusat kota dan menuju ke arah luar kota. Rosia terbelalak saat melihat papan bertuliskan Ancol. Devano mau ke mana sebenarnya?
Meskipun makin bingung, Rosia tetap memilih tidak membuka mulutnya. Tapi dia harus bersiap-siap. Kalau sampai Devano mau kurang ajar padanya, dia sudah tahu harus berbuat apa. Kedua tangan Rosia terkepal di sisi kiri dan kanan tubuhnya.
Setelah hampir satu jam perjalanan, mereka sampai di pantai. Rosia menoleh pada Devano, bertanya di hatinya, untuk apa Devano malah main ke pantai?
Devano memarkir kendaraannya berhadapan dengan laut. Dia tidak turun, diam memandang lurus ke depan, tidak terlihat ingin melakukan apa-apa. Rosia juga tidak mau bertanya meskipun deretan pertanyaan bertambah di kepalanya dengan tingkah Devano yang membingungkan.
"Boleh nggak sih, aku tukar jantung sama punya mama? Aku mau dia sehat dan happy. Sedikit saja, ga usah lama-lama." Kalimat itu Devano ucapkan dengan pandangan masih lurus melihat laut di depannya.
Rosia menoleh, memperhatikan Devano. Kesedihan dan kegelisahan terpancar jelas di wajah tampannya.
"Kenapa harus mama? Dia terlalu sering sakit karena papa. Apa harus juga dia sakit fisik yang ga mungkin sembuh? Sampai kapan Tuhan sibuk dan ga mau mendengar doaku?"
Rosia tidak berkedip. Devano ternyata mellow begini. Bertolak belakang dengan gaya santai dan semaunya yang sering dia tunjukkan.
Devano menoleh memandang Rosia. "Menurut kamu, kenapa?"
Rosia mengembuskan nafas berat. Pertanyaan yang hampir sama sering Rosia tanyakan pada dirinya.
"Kenapa Tuhan biarkan Tuan Jahat itu membunuh papaku? Kenapa tidak ada yang menolong? Kenapa aku terlalu takut berteriak dan hanya bisa membeku?"
Kira-kira pertanyaan-pertanyaan semacam itulah yang tak sedikit berkumandang di kepala Rosia.
"Kenapa, Ros? Mamaku baik, sangat baik. Dia ga seharusnya mengalami semua ini." Devano melanjutkan perkataannya.
"Saya, saya tidak tahu." Rosia menjawab dengan hati pilu.
Sepertinya ada banyak pertanyaan di hidup ini yang tidak akan mendapatkan jawaban. Tetapi semua tetap harus dihadapi.
Devano membuka pintu mobil dan turun. Rosia hanya memandangi pria itu. Dia tidak tahu mau bagaimana.
"Ros?" Devano melihat pada Rosia yang terpaku memandang padanya.
"Iya, Mas." Rosia membuka sabuk pengaman yang masih melekat lalu segera keluar dari mobil.
Devano berjalan menuju pantai. Rosia mengikuti saja. Devano berhenti di tepi pantai, beberapa meter sebelum mencapai air. Dia berkacak pinggang melihat laut yang luas. Rosia berdiri tiga langkah agak di belakang.
Panas terik terasa dibarengi angin pantai yang berhembus. Rambut gondrong Devano beberapa berkibar karena angin, tapi tak dihiraukannya. Rosia seperti yang sudah-sudah, hanya memandangi saja pria yang sedang galau itu.
Suara tawa dan teriakan girang terdengar di pendengaran Rosia. Mata Rosia beralih ke arah itu. Terlihat di kejauhan di pantai yang sama, dua anak perempuan bermain dengan gembira bersama ayah dan ibu mereka.
"Ayo! Tangkap bolanya! Cepat!"
Rosia mendesah. Pikiran Rosia terbawa pada sekian tahun lalu, kala dia masih bocah. Pantai ini juga pernah menjadi tempat menyenangkan untuk Rosia bersama ayah dan ibu. Bermain, berlari, membangun istana pasir, dan lainnya, mereka lakukan bersama.
**
"Mau lanjut atau udahan? Kalau capek, Ayah belikan es krim. Mau?"
"Mau, Ayah! Es krim coklat strawberry. Sama vanila juga mau."
"Ihh, mau semua? Yakin habis?"
"Habis, Bu! Aku haus dan lapar soalnya!"
Bayangan masa manis itu terpampang jelas di mata Rosia. Kebahagiaan yang dia kira tak akan berakhir. Tapi tiba-tiba direnggut seketika.
**
"Kamu mikir apa?"
Tepukan di bahu kiri Rosia dan suara berat itu menggugah Rosia dari lamunan.
"Oh, maaf." Rosia menoleh ke sisi kirinya. Devano berdiri menatap pada Rosia dengan tatapan menelisik.
"Yuk," ajak Devano.
Rosia mengikuti lagi langkah pria itu. Devano mendekati sebuah resto tak jauh dari pantai, memilih duduk di area terbuka. Rosia mengambil posisi di depan Devano.
Devano mengeluarkan ponsel dan menghubungi seseorang. Beberapa kali dia coba baru ada sambutan.
"Papa kapan pulang?"
Rosia melirik Devano. Dia tampak tegang dengan ponsel menempel di telinga.
"Mama pasti mau papa di dekatnya kalau kayak gini. Pa, please ...." Devano jelas menahan emosi dan marah di hatinya.
Rosia mulai menduga ada yang aneh dengan keluarga Ardante. Hubungan Abel dan Erlina tidak baik. Sekalipun masih bersama, tidak ada keharmonisan di antara mereka. Devano dan Catherine jelas ada di pihak sang bunda.
"Papa pikir aku anak SD yang ga tahu apa-apa? Papa sama Selly, kan? Aku-"
Devano menjauhkan ponsel kira-kira 20 senti. Terdengar suara dari ponsel setengah berteriak padanya.
"Kamu mau ngatur Papa! Jangan kurang ajar kamu. Tahu apa soal aku sama mama kamu!"
Rosia menatap Devano. Wajahnya makin tegang. Devano menggigit giginya dengan mulut terkatup. Meskipun tidak keras, suara kemarahan Abel pada Devano masih tertangkap cukup jelas di telinga Rosia. Rosia paham permasalahan yang terjadi antara ayah dan anak itu karena apa.
"Bukan mau ngatur, Pa. Ngingetin aja, istri Papa sedang berjuang di rumah sakit. Dia butuh suami yang dia cintai ada di sampingnya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Terbelenggu Cinta
RomantizmKejadian mengerikan kematian sang ayah di tangan rekan bisnisnya tak akan Rosia lupa. Setelah sepuluh tahun berlalu, Rosia memulai rencana pembalasan dendam atas kematian sang ayah. Berhasil masuk di perusahaan keluarga Ardante, Rosia perlahan ingin...