Bab 24. Terpaksa

1 0 0
                                    


"Apa kamu bilang?" Alis Bernardo berkerut, matanya menatap tajam pada Rosia.

"Saya bisa membantu jika urusan kerja, tapi kalau-"

"Urusan pribadi kalau di jam kerja, itu yang ga boleh. Dan aku pernah memintamu melakukan itu." Bernardo berkat tegas, menyela ucapan Rosia. "Sekarang sudah lewat jam kerja, aku meminta kamu membantu sebagai teman. Bagaimana?"

"Teman?" Rosia kaget dengan perkataan itu.

Ada apa dengan Bernardo? Dia minta bantuan tapi memaksa. Beralasan menjadi teman tapi ngotot. Aneh sekali pria ini.

"Apa kalau aku pimpinan lalu ga bisa menjadikan teman karyawannya?" Bernardo menegaskan soal pertemanan.

"Ya, sebenarnya sih ... mungkin tidak apa-apa, Tuan. Tapi ...." Rosia bingung mau menjawab apa.

Pertanyaan besar yang dia mau dapat penjelasan adalah kenapa Bernardo mendesaknya untuk bertemu di luar jam kerja dan tidak mau mengatakan apa-apa padahal mereka akan pergi bersama.

"Jadi, tunggu apa? Ayo," ujar Bernardo.

"Maaf, Tuan, bolehkah saya tahu, Tuan butuh bantuan apa?" Rosia masih belum mau bergerak. Dia ingin sedikit saja, terucap dari bibir Bernardo alasan dia mau mengajak Rosia ikut dengannya.

"Aku mau membuat malam spesial buat mama." Jawaban yang sangat tidak Rosia kira. Bernardo minta Rosia ikut karena ada urusannya dengan Erlina?

Rosia setengah melongo memandang Bernardo. Dia butuh penjelasan lebih lengkap sebelum akhirnya dia setuju pergi dengan anak Tuan Abel yang galak itu.

"Aku akan jelaskan di perjalanan. Aku ga mau makin lambat kita pergi." Bernardo menolak menjawab.

"Baiklah, Tuan," jawab Rosia. Dia setuju tapi setengah hati. Mau bagaimana lagi? Terpaksa Rosia menuruti maunya Bernardo.

"Nice." Bernardo lega. Dia bergerak membuka pintu mobil.

"Kalian pergi bersama?"

Rosia menoleh ke belakangnya, begitu juga Bernardo. Selly di sana berdiri memandang keduanya dengan tatapan heran dan tidak suka.

"Ya. Kami akan pergi bersama." Bernardo menjawab cepat. Dia menarik tangan Rosia sedikit memaksa gadis itu agar masuk ke dalam mobil.

Rosia sangat kaget dengan sikap Bernardo. Tapi dia tak bisa mengelak. Dia masih sempat melihat aura kesal di wajah Selly.

"Wanita itu benar-benar." Bernardo menggerus sambil dia mulai menjalankan kendaraannya.

Rosia menoleh pada Bernardo. Sikap yang sama dia lihat seperti yang ditunjukkan Devano ketika bersinggungan dengan Selly. Tapi Rosia tidak ingin bicara atau bertanya. Tidak etis, meskipun makin penasaran dengan kemelut yang ada di dalam keluarga Ardante.

Mobil Bernardo berjejalan dengan kendaraan lain. Maklum, lalu lintas padat jam keluar kantor. Semua orang ingin segera kembali ke rumah. Sayangnya, tujuan Bernardo bukan pulang, bukan pula mengantar Rosia. Dia membawa Rosia ke sebuah mal mewah, salah satu yang digemari para pesohor dan mereka yang berduit.

Untuk kesekian kalinya, Rosia hanya bisa terpana saat berjalan masuk ke dalam mal dan melihat ke sekelilingnya. Semua indah, megah, dan mewah.

Bernardo berhenti kira-kira lima belas meter setelah masuk dari pintu depan mal. Dia melihat ke sekeliling lalu menoleh pada Rosia.

"Kalau ibu kamu ulang tahun, kira-kira hadiah apa yang akan membuat dia senang?"

Rosia tidak bisa langsung menjawab pertanyaan itu. Tentu saja Rosia tidak siap jika itu akan diucapkan Bernardo. Yang Rosia sempat pikir, Bernardo akan membawa dia ke salah satu resto atau cafe atau malah mungkin bar yang ada di mal besar itu.

"Ibuku?" Rosia refleks mengucapkan kata itu.

"Hmm-mm," gumam Bernardo sambil mengangguk.

"Ibuku suka pernak-pernik untuk dekorasi interior rumah. Atau ... bunga. Ibuku suka bunga." Rosia menjawab.

"Hmm ...." Kali ini Bernardo tampak berpikir.

"Apa yang ibu Tuan inginkan? Makanan atau benda yang dia suka seperti apa?" Rosia balik bertanya.

"Aku masih berpikir. Ayo." Bernardo kembali berjalan.

Rosia melangkah di samping Bernardo. Dia mencoba memahami apa yang sedang ada di pikiran Bernardo.

"Tuan, maaf kalau boleh tahu. Nyonya Erlina ulang tahun ke berapa?" Rosia bertanya. Sepertinya itu penting untuk mencoba mencari ide.

"Tahun ini mama enam puluh dua tahun," jawab Bernardo.

"Sungguh? Aku kira masih lima puluhan tahun," ujar Rosia.

Rosia paham mengapa Erlina ingin anaknya segera menikah dan memberi dia cucu. Umur Erlina sudah lebih setengah abad. Dia sakit yang beresiko sewaktu-waktu nafasnya bisa berhenti.

"Banyak yang bilang begitu. Aku senang mama masih bersama kami. Aku mau memberi dia sesuatu yang akan memberi dia semangat terus. Sesuatu yang spesial." Bernardo berkata serius.

Dia tidak setegang saat meninggalkan kantor, tetapi belum ada senyum di bibir pria itu.

"So?" Bernardo memandang Rosia. "Apa yang spesial buat seorang ibu, di usia yang lumayan banyak, sementara dia sakit dan terbatas beraktivitas?"

"Seorang ibu tidak akan minta banyak hal dari anaknya. Mereka mencintai dengan tulus dan tidak perlu mendapat balasan." Rosia berkata panjang lebar, bukan menjawab pertanyaan Bernardo.

Tetapi kalimat itu membuat Bernardo melihat Rosia berbeda. Gadis cantik dan sederhana ini ternyata punya pikiran yang matang. Dia bisa menilai seorang ibu seperti orang yang usianya jauh lebih dewasa.

"Sesuatu yang simpel saja, jika itu diberikan seorang anak, pasti akan membuat dia bahagia." Rosia melanjutkan.

"Seperti ... bunga?" Bernardo memandang Rosia. Dia berhenti dan lurus mengarahkan pandangan pada gadis yang makin membuatnya kagum.

"Ya. Ya, Tuan. Kurasa bunga bagus," kata Rosia sambil tersenyum.

"Oke. Ke sana." Bernardo menunjuk ke arah kiri mereka.

Mereka kembali berjalan. Bernardo mengajak Rosia naik ke beberapa lantai. Ternyata toko bunga yang dia tuju. Bukan bunga sesungguhnya, hanya bunga imitasi. Tetapi yang dipajang dan ditampilkan di sana cantik dan indah.

"Jadi Tuan akan memberikan bunga untuk Nyonya Erlina?" tanya Rosia.

"Yup. Aku terima usulmu. Sekarang, aku perlu memikirkan bunga apa yang paling tepat." Bernardo masuk ke toko itu dan mulai memilih mana yang akan membuat hati Erlina berbunga di hari istimewanya.

"Di mansion ada beberapa anggrek. Juga bunga dandelion. Apakah itu kesukaan Nyonya Erlina?" Rosia kembali bertanya.

Terjadilah diskusi di antara mereka. Hingga akhirnya bunga pesanan Bernardo sempurna. Bernardo akan mengambil karangan bunga untuk mama tercinta di hari ulang tahunnya.

"Malam itu papa pasti akan mengadakan makan malam istimewa dan semua keluarga harus hadir. Aku cuma mau hari itu mama happy, beneran happy."

Kalimat ini mengingatkan perkataan Devano. Sebenarnya Bernardo pun sama, dia sangat sayang ibunya. Apakah dia berseberangan dengan ayahnya seperti Devano? Itu yang Rosia belum tahu.

"Done. I am so glad." Bernardo tersenyum. Manis.

Akhirnya wajah tegang dan jutek dari pria itu lenyap.

"Thank you, Rosia. Malam ini buat aku so special. Kalau tidak ada kamu, mungkin aku masih bingung cari apa buat mama," lanjut Bernardo.

"Sama-sama, Tuan." Rosia tersenyum kecil.

Ternyata Bernardo tidak sekaku yang Rosia kira. Kalau mulai dekat, pria itu bisa bersikap manis juga.

"Dinner? Aku tahu kamu lapar," kata Bernardo.

Lima menit berikutnya mereka telah duduk di sebuah resto di lantai yang berbeda dari mal itu. Saat mereka sedang asyik menikmati makanan, tiba-tiba seseorang datang menghampiri.

"Halo. Kamu Rosia Jingga, bukan?" Pria muda dengan seragam batik itu menatap pada Rosia dengan mata lebar.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang