Bab 8. Menyebalkan

6 1 0
                                    


"Kenapa? Kamu tidak suka makan malam denganku?" Pertanyaan itu membuat Rosia kaget. Devano berpikir apa?

Devano menelisik wajah cantik Rosia. Hidungnya kecil, tidak terlalu mancung tapi pas di wajahnya. Mata Rosia tidak lebar, tetapi bulat dan indah. Bibirnya tipis kalau dia mengatupkannya sedikit saja sudah tenggelam di bawah hidung.

"Maaf, Tuan, bukan seperti itu maksud saya. Karena Tuan sudah ada janji, jadi-"

"Urusan kita belum selesai. Aku tidak mau menunda. Berny bisa keluar tanduk sepanjang hari kalau aku tidak memberi laporan lengkap besok pagi." Devano kembali melihat ke depan.

Lampu merah berganti dengan kuning, dia bersiap kembali melaju, menunggu warna lampu menjadi hijau.

"Saya mengerti," ujar Rosia. Bodoh sekali. Mengapa dia pakai bicara begitu. Urusan wanita tidak ada hubungan dengan pekerjaan, buat apa Rosia menyebut kata itu?

Mobil kembali bergerak di tengah kepadatan lalu lintas. Lima menit berikut kendaraan mewah Devano berbelok ke sebuah resto lumayan besar dan terbilang berkelas. Dari luar saja tampak model bangunan ala-ala Jepang. Apalagi waktu masuk di dalam. Nuansa Jepang semakin terasa.

Ah, kalau mau dibilang keuntungan Rosia bisa mendapat kesempatan ini, bukan? Dia bisa mengenal dekat anak Tuan Abel. Pintu Rosia menjalankan tujuannya masuk ke Ardante Company makin terbuka. Bonusnya, Rosia pergi ke tempat-tempat mewah yang selama ini hanya bisa dia bayangkan saja.

"Gimana? Kamu suka?" Devano memperhatikan Rosia.

Rosia mengangguk. Dia mengunyah beberapa kali dan menelan ikan yang ada di mulutnya. Devano tidak berkedip, dia seperti memastikan kalau Rosia bisa menikmati makanan Jepang.

"Saya suka sushi, Tuan. Tapi ikan ... karena ini tidak dimasak ...."

"Hehehe ...." Senyum lebar Devano muncul sampai giginya yang putih terlihat. "Sudah kuduga. Biasakan saja, lama-lama kamu akan suka."

"Iya, Tuan," ucap Rosia. Dia mengambil gelas dan meneguk minumannya beberapa kali.

"Ros, sejak kapan kamu di Jakarta?" tanya Devano lagi.

"Karena dapat panggilan kerja ini saya ke Jakarta," jawab Rosia.

"Oya? Sebelumnya belum pernah kemari?" tanya Devano.

Perrtanyaan itu mengundang Rosia ingat cerita lamanya. Rosia dan ibu meninggalkan Jakarta karena ingin melupakan kepedihan dengan kepergian ayah. Dan itu semua karena Abel Ardante, ayah Devano.

"Ya, waktu kecil," jawab Rosia lagi.

Dia menunduk, pura-pura fokus dengan makanan di piring, tetapi sebenarnya menekan marah yang mencuat di dada. Kalau saja Abel tidak merenggut nyawa ayahnya, semua akan berbeda. Kisah hidup Rosia tidak akan sendu dan rapuh.

"Namamu Rosia. Dari bunga mawar, rose, betul tidak?" Devano melanjutkan bertanya.

"Benar." Rosia menjawab pendek. Dia kembali memandang Devano.

"Rose apa? Red rose atau white rose?" Devano tersenyum lebar.

Pertanyaan apa itu? Rosia heran saja, sepenting itu namanya di mata Devano?

"Rosia Jingga Kinasih." Rosia memandang Devano dan menjawab namanya dengan lengkap.

"Nama kamu ...," ujar Devano. "... bagus. Unik."

Rosia tersenyum kecil, lalu memotong sushi dan menyuapnya.

"Rosia Jingga. Memang ada mawar jingga?" Devano kembali bertanya.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang