"Happy birthday, Mom. Love you so much." Bernardo memberikan kecupan di kedua pipi Erlina, lalu menyerahkan bunga dan bingkisan yang dia siapkan.
"Makasih, Bern. Ini bunga cantik sekali. Bunga kesayanganku." Senyum lebar Erlina kembali terurai.
Kemudian tangan Erlina pindah membuka kotak cantik yang Bernardo berikan untuknya. Begitu Erlina melihat isinya, semakin lebar bibirnya tersenyum.
"Risol mayo." Dengan sigap Erlina mengambil sepotong dan langsung menggigit ujungnya. "Hmm ... lumayan."
"Lumayan?" Bernardo memandang ibunya. "Harusnya enak, yummy."
"Masih lebih enak buatan Rosia." Erlina memberi komentar, lalu dia menoleh pada Devano. "Dev, kenapa tidak minta Rosia buatin lagi?"
"Rosia?" Devano mengucapkan nama itu spontan. "Mama beneran suka?"
"Rosia sedang pulang menengok ibunya. Nanti aku bisa minta dia buatin untuk mama." Bernardo menimpali.
"Oh, oke. Aku akan lebih senang kalau bisa lihat gimana dia masak," ujar Erlina.
"Baiklah. Aku akan minta dia datang ke sini, masak buat mama. Tunggu dia balik ya, Ma." Bernardo berjanji.
"Rosia ... Gadis yang kamu ajak ke rumah sakit waktu itu, Dev?" Catherine akhirnya ikut bicara.
Abel memperhatikan satu per satu wajah istri dan anak-anaknya. Mereka semua ternyata sudah kenal dengan Rosia. Karyawan baru, fresh graduate itu luar biasa. Tampaknya muda sekali bisa mendekati keluarganya.
Dari laporan pekerjaan, Rosia sangat bagus. Dari cara dia bersosialisasi dengan semua divisi, tidak ada masalah. Bahkan keluarganya juga nyaman saja gadis itu ada di sekitar mereka.
"Gadis itu istimewa juga. Sepertinya dia akan bisa berkarir panjang di perusahaan. Setelah tiga bulan aku akan pastikan dia akan ada di divisi mana." Abel memikirkan juga tentang kelanjutan karir Rosia di perusahaannya.
Sebenarnya, sebagai pimpinan teratas, Abel tidak perlu repot dengan urusan penerimaan pegawai di kantor. Tetapi hari itu tidak sengaja saja Abel melihat Rosia yang sedang diwawancarai oleh bagian HRD. Karena tertarik dengan penampilan sederhana tapi terlihat cerdas dari Rosia, Abel meminta waktu bertemu dengan gadis itu dan melakukan wawancara tambahan. Siapa yang mengira ternyata tepat gadis itu berada di perusahaan miliknya.
"Oke, deal. Nanti aku datang juga, Ma. Kita masak sama-sama. Aku jadi penasaran kayak gimana risol mayo buatan Rosia." Catherine bicara dengan semangat.
Abel tersenyum kecil. Perbincangan keluarganya masih tentang Rosia. Senyum dan tawa menghiasi perbincangan mereka sambil merayakan hari jadi Erlina.
Bukankah kebahagiaan Abel sudah lengkap? Satu yang membuat Abel menjadi pria tidak setia. Ranjang tempat dia dan Erlina tidur, terlalu hening.
***
Dua hari berkeliling dengan ibu tersayang. Rosia puas bisa melihat ibunya tertawa lepas menikmati kebersamaan mereka. Tinggal satu hari sebelum kembali ke Jakarta, Rosia menghabiskan waktu saja di rumah. Dia membantu Marini mengatur ulang interior rumah mereka.
"Hobi Ibu ga berubah. Tapi aku suka. Aku akan kangen rumah dengan tatanan baru kayak gini." Rosia melempar tubuhnya ke atas sofa, setelah selesai menata ulang ruang tamu.
"Makasih banyak, udah bantuin Ibu." Marini ikut duduk, setengah merebahkan badan di sebelah Rosia.
"Bu, masih ada jus? Haus banget," ujar Rosia.
"Ada. Ibu juga mau, deh," jawab Marini.
"Aku ambil bentar." Rosia berdiri dan berjalan menuju dapur.
Ponsel Rosia yang tergeletak di meja berdering. Marini melihat penelpon. Senyum Marini melebar. Ale yang menghubungi. Segera Marini menerima panggilan itu. Ale yang mendengar suara berbeda, bukan suara Rosia, awalnya terkejut. Begitu tahu kalau yang bicara dengannya adalah Marini, terjadilah perbincangan seru.
Rosia di dapur akhirnya memilih mengeluarkan pudding juga yang sudah siap disantap. Jadi bukan hanya minuman yang dia ambil, sekaligus pudding coklat susu kesukaannya. Dan Rosia mau membawa kudapan siang itu dengan tampilan istimewa. Dia pun mengambil piring khusus dan plating di atasnya. Senyum Rosia mengembang membayangkan wajah ibunya gembira saat melihat apa yang dia bawa.
Setelah siap, dengan nampan di tangan, Rosia kembali ke ruang depan. Saat ibunya sudah terlihat, Rosia menghentikan langkah. Marini sedang memegang ponsel Rosia dan tampak aura wajahnya serius.
"Ibu, itu telpon buat aku?" Rosia langsung merasa detak jantungnya beradu sekian kali lipat. Jangan sampai Devano atau Bernardo yang menelpon. Rosia bergegas mendekat.
Tangan kanan Marini diacungkan ke depan, meminta Rosia tidak mengganggunya. Dia belum selesai bicara dengan si penelpon. Rosia memandang dengan tatapn tidak lega, mulai cemas.
"Oke, Ale. Ini Rosia, dia di sini." Marini mengulurkan ponsel ke depan Rosia.
"Ah, Mas Ale." Rosia lega. Ternyata Ale yang menelpon. Untunglah.
Rosia menyapa Ale dan mulai bicara. Marini memperhatikan wajah putrinya. Dia mendengar kabar yang tidak dia dengar dari Rosia. Marini perlu meluruskan pada Rosia. Marini tidak mau ada masalah yang akan timbul jika Rosia salah bertindak.
"Oke, Mas. Thank you. Nanti aku balik siap ditraktir lagi," kata Rosia.
Selesai komunikasi, Rosia meletakkan ponsel kembali di meja. Lalu dia mengambil gelas berisi jus, satu untuknya, satu untuk sang bunda.
"Hmm ... Segeerrr!" ujar Rosia.
"Pudingnya cantik sekali kamu buat. Bisa gini," tukas Marini. Dia meneguk jus beberapa kali, lalu dia mencicipi puding bagiannya.
"Bang Ale bicara apa sama Ibu? Ibu kok serius banget," ujar Rosia. Dia pun mengambil puding kesukaannya.
Marini meletakkan sendok yang dia pegang, lalu memposisikan tubuhnya berhadapan dengan Rosia.
"Kamu ga bilang sama Ibu, kamu kerja di tempat Ardante. Kamu bisa masuk di perusahaan itu, bagaimana ceritanya?" Marini tidak menjawab pertanyaan Rosia.
Pasti Ale yang beritahu jika Rosia bekerja di sana. Rosia memang sengaja tidak mau bicara jelas tentang kantor tempat dia bekerja. Hanya pekerjaan seperti apa yang dia lakukan, itu yang dia ceritakan.
"Ga penting, Bu, kerja di mana. Yang penting pekerjaannya baik, kantornya oke. Gajiku lumayan, hehehe ..." Rosia tersenyum lebar, membela diri di depan Marini.
"Kamu ketemu sama Pak Abelardo?" Marini menelisik wajah Rosia. Dia ingin menemukan kejujuran di sana.
"Iya, Bu. Sesekali saja, sih. Kantornya besar, banyak sekali pegawainya," jawab Rosia.
"Lalu?" Marini ingin Rosia mengatakan semuanya.
"Lalu gimana?" Rosia balik tanya.
"Dia ga ingat kamu?" Marini menatap Rosia.
Rosia menggeleng. "Sepuluh tahun, Bu. Aku dulu bocil banget. Sekarang udah beda."
"Oh ... oke," ucap Marini. Ada denyut tidak nyaman di hati wanita itu. Tapi dia juga memendamnya, agar Rosia tidak merasakannya.
"Aku kerja di sana cari duit. Kalau udah banyak, bisa punya modal, aku pulang, mau ngembangin usaha Ibu," sahut Rosia.
"Hmm ... Ibu harus sabar menunggu, ya? Padahal Ibu ga mau kamu jauh. Kamu ga kasihan Ibu," ujar Marini.
"Ibu, jangan bikin aku mellow ...." Rosia memeluk ibunya erat.
Marini membelas pelukan Rosia dengan hati haru.
"Rosia, kamu satu-satunya harta Ibu. Yang paling istimewa buat Ibu. Janji sama Ibu, kamu akan jaga diri kamu di sana. Jaga hati kamu. Hati-hati dengan apa saja yang buruk yang kapan saja bisa datang di depan kamu," pesan Marini.
Rosia melepas pelukannya dan memandang Marini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Terbelenggu Cinta
RomanceKejadian mengerikan kematian sang ayah di tangan rekan bisnisnya tak akan Rosia lupa. Setelah sepuluh tahun berlalu, Rosia memulai rencana pembalasan dendam atas kematian sang ayah. Berhasil masuk di perusahaan keluarga Ardante, Rosia perlahan ingin...