Bab 29. Rencana

1 0 0
                                    


Bernardo bangun pagi itu dengan kepala pening. Semalam dia asyik di club dan pulang lewat jam dua pagi. Saat dia membuka mata hari sudah terang.

"Jam berapa ini?" ujarnya seraya meraih ponsel yang tergeletak tak jauh darinya berbaring.

"Aisshh, setengah tujuh lewat." Bernardo memaksa duduk.

Dia kembali melihat ponsel dan tampaklah nama Rosia di sana. Ada pesan masuk dari gadis itu. Seketika degup kuat melanda jantung Bernardo.

"Tumben dia kirim pesan. Ada apa?" gumam Bernardo.

Begitu dia membuka pesan dari Rosia, rasa kantuknya lenyap. Pening pun sedikit minggir dan berkurang.

"Selly?" ucap Bernardo.

Segera dia putar rekaman suara yang Rosia kirim. Tidak begitu jelas. Bernardo menaikkan volume hingga maksimal, lalu dia dekatkan speaker ponsel ke telinganya.

"Damn!!" teriak Bernardo.

Masih sedikit geloyoran, Bernardo memaksa diri turun dari ranjang dan pergi mandi. Dia harus segera sadar, bangun, dan menata rencana. Selly sudah tidak bisa dibiarkan lagi. Papanya harus tahu dia hanya dimanfaatkan sama Selly.

"Hari ini, tidak ada pilihan. Hari ini aku akan cari bukti yang lebih akurat soal kelakuan wanita sinting itu," kata Bernardo kesal.

Lima belas menit berikut dia dalam perjalanan menuju ke kantor. Sambil menyetir Bernardo mencoba menghubungi Rosia. Beberapa kali tapi tidak juga segera direspon.

"Ah, mentang-mentang libur nggak mau terima telpon," ujar Bernardo gusar.

Sekali lagi dia mencoba dan ya! Rosia menerima telpon darinya.

"Hei, Anak pintar! Thank you sudah kasih kabar. Aku akan segera bergerak." Bernardo tidak bermanis-manis langsung ke tujuan dia menghubungi Rosia.

"Ya, Pak, eh, Mas ... Oke." Rosia menjawab seperti orang bingung.

"Rosia? Kamu kenapa?" Bernardo heran mendengar jawaban pendek dengan nada bicara yang tidak biasa.

"Ibuku ... Dia di mana?" Terdengar suara Rosia cemas.

"Apa?! Kamu di mana, Rosia?!" Bernardo jadi ikut bingung.

"Di Surabaya, di rumah. Tapi ibu ga ada ... Aku ...."

"Rosia, aku ga ngerti maksudnya gimana?" ujar Bernardo.

"Aku sudah sampai rumah, harusnya ibu nyambut aku datang, udah siapin makanan buat aku. Tapi, tapi ... Ibu!!"

Klik!

Panggilan terputus setelah teriakan keras Rosia. Bernardo sampai menjauhkan ponsel lalu berhenti di pinggir jalan karena kaget. Mendengar jeritan Rosia pasti ada yang gawat. Apa ada yang buruk dengan ibu Rosia?

Bernardo mencoba lagi menghubungi, tapi Rosia tidak menjawab. Tapi Bernardo juga tidak mungkin menunggu saja. Dia harus meneruskan rencananya. Jangan sampai Selly lolos kali ini.

"Nanti aku hubungi lagi kamu, Rosia. Sekarang aku akan urus Selly dulu," kata Bernardo.

Kendaraan Bernardo kembali bergerak. Jalanan yang padat tidak dia pedulikan. Tujuannya adalah sebuah kafe dan di sana ada dua pria menunggunya. Mereka yang akan bekerja membantu Bernardo mencari bukti tentang Selly.

******


"Ibu!!" Rosia berteriak dengan keras.

Sambil setengah melompat dia menghambur ke pelukan ibunya. Wanita itu baru masuk ke dalam rumah. Tentu saja dia sangat terkejut dengan reaksi Rosia menyambut kedatangannya.

"Aku pikir Ibu pergi. Ibu hilang. Aku takut sekali." Rosia memeluk kuat-kuat ibunya.

Wanita bertubuh mungil itu membalas pelukan putrinya sambil tersenyum lebar.

"Ibu ke mana?" tanya Rosia. Dia masih belum mau melepas pelukannya dari sang bunda.

"Katanya mau rujak. Ibu udah pesan sama Bu Menik. Makanya Ibu ambil." Marini menjawab dengan suara tenang dan lembut.

"Oya?" Rosia melepas pelukannya dan memandang tangan Marini yang memegang plastik berisi bungkusan rujak.

"Aku pikir gado-gado. Jadi rujak duluan?" Rosia tersenyum senang.

"Gado-gado kita masak sama-sama. Mau?" Marini mengusap pipi Rosia.

"Siap. Kita masak sama-sama nanti," kata Rosia.

Marini mengajak putrinya ke ruang makan. Lalu mereka berdua membuka rujak dan makan bersama. Sambil menikmati makanan yang penuh sayur dan lauk itu, mereka bercerita, saling melepas rindu.

Rosia menceritakan bagaimana situasi kantor, teman-teman, pimpinan, dan pekerja yang dia lakukan. Tapi tentu saja yang wajar dan sesuatu yang standar tentang karyawan dia sebuah perusahaan.

Cerita tentang hubungan khusus dan kedekatan dia dengan anak Abel tidaklah Rosia ceritakan. Dia tidak mau ibu akan bertanya itu. Rosia tidak ingin salah bicara dan terungkaplah tujuan dia bekerja di sana, demi membalas dendam pada Ardante.

"Aku ketemu Mas Ale, Bu." Tiba-tiba Rosia ingat pemuda itu.

"Oya? Kok bisa? Dia di Jakarta juga?" Marini kaget dengan kabar itu.

Kisah Rosia berlanjut. Dia bersemangat mengatakan apa saja tentang Ale. Marini tampan girang. Putrinya ada di lingkungan yang baik. Pekerjaan yang akan menjamin masa depannya dan juga ada Ale. Pemuda baik hati itu pasti akan menjaga Rosia.

"Nah, untuk besok dan lusa, aku sudah buat rencana." Rosia beralih pembicaraan. Dia mengutarakan maksudnya. Dia ingin mengajak ibunya jalan-jalan berdua ke tempat wisata yang ibunya ingin pergi dan belum keturutan.

Marini tentu saja langsung sepakat. Diakui mereka pun berlanjut. Lalu bagaimana dengan Bernardo?

Rencana sudah matang. Dua pria yang Bernardo suruh siap bergerak. Mereka akan memata-matai Selly dan mencari bukti untuk Bernardo. Dalam waktu 24 jam, Bernardo mau semua bukti yang dia perlukan sudah ada di tangannya. Jadi sebelum masuk ke minggu yang baru, Abel akan mendapat pesan istimewa tentang sekretaris kesayangannya itu.

Setelah tuntas pembicaraan, dua pria itu meninggalkan Bernardo sendirian. Bernardo belum ingin beranjak. Dia masih menghabiskan makanan yang dia pesan sambil terus berpikir.

"Malam ini acara ultah mama. Kita lihat saja, bagaimana papa bersandiwara sok cinta pada mama. Setelah ini, kalau sampai dia tidak meninggalkan Selly, kurasa dia bukan manusia." Bernardo berkata dengan nada kesal.

Meninggalkan kafe tempat pertemuan, Bernardo menuju ke mall tempat dia memesan bunga untuk Erlina. Selain bunga itu, Bernardo membelikan kue kesukaan ibunya risol mayo. Dia minta pelayan toko membungkusnya dengan manis dan cantik, agar menjadi hadiah spesial buat ibunya.

*****


"Selamat ulang tahun, Sayang. Sehat selalu ... love you." Abel mengecup lembut puncak kepala Erlina.

Senyum manis terurai di bibir Erlina. Dia duduk di sofa dengan gaun putih tulang panjang hingga betisnya. Dia tampak anggun dan segar. Abel berdiri di sampingnya. Tampak gagah dan tampan.

Devano dan Catherine duduk di seberang mereka. Sedang Bernardo, dia berdiri memperhatikan dari pintu antara ruang tamu dan ruang keluarga. Dia sengaja tidak segera bergabung, takut tidak bisa menahan emosi karena marah pada ayahnya.

"Terima kasih, Kak. Aku berharap ulang tahun berikutnya, ada istri Bernardo dan juga suami Catherine ikut merayakan. Benar tidak?" Erlina tersenyum lagi, sambil pandangannya terarah pada dua anaknya.

Abel duduk di samping Erlina. Tangan pria itu tidak melepaskan pegangan dari Erlina.

"Kalau Devano duluan yang nikah boleh, kan? Dia yang punya pacar. Aku sama Bernard belum ada calon." Catherine menyahut perkataan ibunya.

"Bernard?" Mata Erlina tertuju pada Bernardo yang masih belum beranjak dari posisinya berdiri.

Bernardo melirik ayahnya. Rasa kesal dia tekan begitu rupa. Dia berjalan mendekat, menghampiri ibunya dengan hadiah yang dia sudah siapkan.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang