Rosia tidak tampak lagi. Gadis itu kabur. Bernardo merasa kejadian itu seperti pernah dia alami.
"Aku memeluknya ... lalu dia mendorongku ...." Bernardo bergumam pelan dan mencoba mengingat-ingat.
Ya, Bernardo yakin, situasi itu pernah dia alami dan belum lama.
Tuuttt!!
Bernardo terhenyak. Panggilan itu pasti pertanda rapat akan segera mulai. Benar saja. Selly menelpon, meminta Bernardo ke ruang meeting. Bernardo bergegas keluar ruangannya.
Sementara Rosia, baru saja sampai di depan pintu ruangan Doris. Dadanya masih berdetak kencang. Wajahnya merah karena kaget dengan kejadian tiba-tiba di ruangan Bernardo.
"Kamu kenapa?" Doris di depan pintu dari dalam sedang berjalan keluar ruangannya. Dia melihat wajah aneh Rosia. Tegang, cemas, dan memerah.
"Tidak, Bu. Saya lari ke sini." Rosia bingung harus menjawab apa.
"Buat apa lari? Ada yang mengejar kamu?" tanya Doris heran.
"Saya tidak mau menunda pekerjaan lebih lama," jawab Rosia lagi.
"Aku mau ke ruang meeting. Kamu lihat saja note yang aku tempel di layar komputer kamu. Usahakan semua list selesai hari ini," pesan Doris. Tidak menunggu jawaban Rosia, Doris meninggalkan Rosia yang masih berusaha menetralkan dadanya.
"Astaga ... bisa kejadian lagi. Aneh banget," ucap Rosia lirih.
Dia masuk dan menuju pojok ruangan. Rosia mengambil air minum, satu gelas langsung dia teguk hingga ludes. Dia berharap tubuh dan juga nafasnya akan kembali normal secepatnya. Lalu Rosia duduk di kursinya, menghadap komputer dan siap meneruskan pekerjaan. Note dari Doris, dia baca semua dan mulai dari list paling atas Rosia kerjakan.
Sekian menit bekerja, telpon masuk dari ibunda tersayang.
"Iya, Bu. Aku pulang minggu depan. Masakin yang paling enak, ya? Aku kangen gado-gado Ibu," kata Rosia di telpon. Sambil bicara dengan Marini, tangan Rosia tetap bekerja dan matanya memandang layar di depannya.
"Kamu jangan kuatir. Ibu akan buatin apa saja yang kamu suka. Kalau perlu kamu kasih Ibu list, oke?" Terdengar suara manis dan lembut sang bunda.
"Ih, beneran? Ibu ga lagi banyak pesanan?" Rosia tersenyum lebar mendengar itu.
"Pesanan nomor dua kalau anak Ibu pulang," sahut Marini.
Rosia terkikik mendengar itu.
"Malah tertawa. Ibu tunggu list order dari kamu." Marini menegaskan dia serius dengan ucapannya.
"Iya, Bu. Nanti malam atau besok, ya? Padat kerjaan aku, Bu." Rosia setuju juga membuat list.
"Oke, Anak Cantik. Semangat kerja, tetap sehat." Pesan itu mengakhiri pembicaraan Rosia dengan Marini.
Rosia meletakkan ponsel di meja. Rosia memperhatikan lagi hasil kerjanya. Video itu akan doa serahkan ke bagian promosi untuk direview sebelum digunakan. Rosia tidak mau ada banyak revisi yang harus dia kerjakan nanti.
Ponsel Rosia menyala dan deringnya terdengar. Rosia menoleh, Doris menghubungi.
"Halo, Bu?" Rosia menyapa.
"Rosi, tolong ambilkan berkas di folder biru dan kuning. Ada di kontainer pojok tak kedua. Cepat." Doris tidak basa-basi langsung pada intinya yang dia perlu hingga menghubungi Rosia.
"Baik, Bu."
Klik. Doris memutus panggilan. Rosia bangun dan mencari folder yang Doris maksud. Tidak lama, Rosia menemukan kedua folder itu. Waktu Rosia hampir menutup rak, satu lembar kertas ukuran post card sedikit tersembul.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Terbelenggu Cinta
RomanceKejadian mengerikan kematian sang ayah di tangan rekan bisnisnya tak akan Rosia lupa. Setelah sepuluh tahun berlalu, Rosia memulai rencana pembalasan dendam atas kematian sang ayah. Berhasil masuk di perusahaan keluarga Ardante, Rosia perlahan ingin...