Bab 9. Secret File

5 1 0
                                    


Rosia melempar tubuhnya di atas kasur di kamar kosnya yang sempit. Dia tengkurap sambil memegang ponselnya. Dia menelpon ibu lagi karena ingin meneruskan pembicaraan siang yang terjeda.

Ibu tentu saja senang Rosia menghubungi. Perbincangan lumayan panjang terjadi. Rasa rindu ditumpahkannya hingga lega. Usai itu, Rosia duduk dengan laptop di depannya, sementara dia duduk bersila di atas kasur.

"Ibu, sehat selalu, ya? Nanti kalau aku sudah berhasil membereskan keluarga Ardante, aku akan pulang dan tinggal bersama Ibu. Ibu harus bahagia, tidak lagi sedih setiap ingat ayah." Rosia bicara sendiri, seolah-olah masih bertelepon dengan ibunya.

"Oke, Rosi, ayo kita lihat apa yang sudah kamu peroleh," lanjut Rosia.

Dia membuka file khusus dan super penting yang dia simpan di dalam laptop. Di dalam file itu terdapat semua data tentang keluarga Ardante. Setelah mengenal mereka di kantor, Rosia mulai menjelajah dunia maya. Dia catat rapi dan detil setiap anggota keluarga Ardante. Dari sana, Rosia mulai mencermati di sisi mana kelemahan yang mungkin bisa Rosia masuk dan menghancurkan mereka.

Setiap orang punya file tersendiri. Rosia akan mencoba terus melengkapi data tentang mereka. Rosia bahkan membuat list apa saja yang harus dia lakukan dalam waktu dekat. Target Rosia, dalam waktu satu tahun, paling lama dua tahun, Abel Ardante, istri, dan tiga anaknya akan meratapi nasib mereka.

"Data yang aku akan cari lebih banyak soal bisnis mereka. Orang-orang di sekitar Abel, Devano, dan Bernardo yang mungkin bisa aku mafaatkan untuk membuat perusahaan merugi." Kembali Rosia menyusuri dan membuat catatan.

Ada yang masih kosong. Dan ternyata tidak sedikit. Pekerjaan Rosia belum sampai tiga puluh persen berjalan. Rosia harus lebih cepat bergerak.

"Bu Doris. Dia sangat suka denganku, percaya padaku. Kurasa dia salah satu kunci paling baik aku mendapat semua informasi soal ini. Great, mari kita lanjutkan," ucap Rosia senang.

Benar. Doris sangat terbuka untuk semua hal yang dia rasa karyawan perlu tahu agar memperlancar pekerjaan. Kalau Rosia bisa lebih dekat dengan Doris secara personal, sangat mungkin bagian yang lebih mendalam tentang keluarga Ardante dan rahasia perusahaan, Doris akhirnya tidak akan enggan bicara dan menceritakan semua pada Rosia.

"Aku harus mendekati Doris secara personal. Dia jadi teman, bukan hanya supervisor. Yup, jadi teman lebih dulu ...." Rosia mulai berpikir dari mana Doris akan bisa dengan senang hati menjadi teman Rosia.

"Aku tahu!" Rosia menemukan ide. Dia menepuk tangannya kuat. Pasti ide ini akan berhasil membuat dia dekat dengan Doris. Segera Rosia akan melakukannya, tidak perlu dia tunda.

Setelah memastikan langkah yang akan dia lakukan di waktu dekat, Rosia menyimpan semua file, lalu dia mematikan laptop dan membaringkan tubuh, melepas penat setelah padatnya jadwal hari itu.

Ting! Notif masuk di ponsel Rosia. Rosia meraih ponsel dan membaca nama pengirim pesan.

Dari Marini, sang bunda.

- kalau mau tidur, jangan lupa doa

"Hmmm ...." Rosia menggumam. "Kenapa ibu tahu kalau aku mau tidur? Apa dia pasang kamera tersembunyi di kamar ini?"

Rosia menatap langit-langit kamar yang bersih. "Tapi aku ga bisa berdoa, Bu. Tuhan sudah ga peduli sama aku, buat apa aku berdoa."

Pelan dan ada rasa pedih, saat Rosia mengucapkan kalimat itu. Dia pejamkan mata, berusaha segera tidur.

*****


Jam delapan kurang lima belas menit, Rosia sudah sampai di kantor. Dia sengaja datang sedikit lebih awal, menunggu Doris. Rosia menyiapkan roti lapis dan jus jeruk di meja. Dia akan mengajak Doris sarapan pagi bersama. Rosia yakin, tepat jam delapan atau lebih sedikit Doris pasti sudah muncul.

"Hmm, aromanya harum sekali!"

Rosia menoleh ke pintu dan tersenyum lebar. "Selamat pagi, Bu!"

Doris masuk ke dalam ruangan, segera mendekat ke sisi meja Rosia. "Wah, roti lapis!? Jus jeruk juga?!"

"Sarapan dulu, Bu. Hari ini jadwal padat. Mesti ada asupan yang tepat untuk tambah tenaga." Rosia memandang Doris dengan senyum masih lebar di bibirnya.

"Ah, terima kasih. Kamu pengertian sekali. Tahu saja aku ga sempat sarapan," ujar Doris.

Dia duduk di kursi di depan Rosia. Mereka berhadapan menghadapi meja. Doris langsung memungut roti lapis di depannya dan menggigit ujungnya.

"Lezat. Makasih banget, Rosi. Coklat dan keju, mantap," ucap Doris dengan mulut penuh.

Rosia tersenyum. Dia ikut makan roti bagiannya.

"Gimana kemarin sama Tuan Muda Devano? Dia ga ribet? Ga buru-buru mau kelar surveinya?" Doris langsung bertanya, bertubi-tubi.

"Nggak juga. Aman sih, harusnya. Cuma ...." Rosia sengaja menggantung kalimatnya. Dia ingin tahu apa reaksi Doris.

"Cuma kenapa?" Doris mengurungkan menggigit roti dan menatap Rosia.

"Dia panggil kekasihnya datang waktu kami makan malam. Padahal sekalian diskusi kerjaan. Apa itu ga apa-apa, Bu?" lanjut Rosia.

"Iih, Devano Bright Ardante. Memang kebiasaan dia," sahut Doris kesal.

Rosia makin lekat menatap Doris. Tanpa bicara, dia minta penjelasan lebih jauh.

"Devano itu bucin sama ceweknya. Royal pula. Dan kadang ga bisa nahan diri, bedain ini lagi kerja atau bukan. Dia mirip sama babenya dalam hal ini," kata Doris memberi informasi.

"Mirip gimana maksudnya, Bu?" tanya Rosia.

"Gampang jatuh hati. Kalau sudah sayang, abis-abisan dia sama kekasihnya. Kalau putus, udah, kayak orang linglung," jawab Doris.

"Serius, Bu?" ucap Rosia.

"Gitu, deh. Mirip sama Tuan Abel itu, terlalu mengagumi perempuan cantik. Tapi, dia tetap setia sama istrinya. Meskipun Nyonya Erlina sakit, Tuan Abel tetap sayang sama dia." Doris memberikan informasi lagi.

"Istri Tuan Abel sakit apa?" Rosia jadi penasaran.

"Jantung. Jadi harus terus dijaga kondisinya dan tidak bisa lepas obat," jawab Doris lalu mengigit potongan roti terakhirnya.

"Ohh ...." Rosia membulatkan bibirnya.

Ponsel Doris berdering. Doris menerima panggilan dari Devano.

"Apa, Bang? Sekarang? Ihh, baru juga duduk dan mulai kerja. Kenapa ga tadi malam saja dituntaskan?"

Rosia menyimak. Dia tahu Devano yang menelepon.

"Oke, iya ... Lain kali aku ga mau Rosia dibawa-bawa terus. Ntar kerjaan dia ga beres-beres," ujar Doris.

Panggilan berakhir, Doris memandang Rosia. "Abang Devano meminta kamu ke kantornya. Sekarang."

"Oh ...." Rosia Cuma bisa mengucapkan itu. Ada apa lagi dengan Devano?

"Dia mau kamu diskusi lagi soal survei kemarin sebelum dia ketemu sama Tuan Bernardo. Aku yakinkan kamu, kamu akan dia ajak juga bertemu Bernardo dan memastikan yang dia serahkan pada Bernardo tidak salah." Doris menjelaskan yang akan diminta Devano dari Rosia.

"Oke ...." Rosia menjawab dengan hati tidak begitu lega.

Tetapi di sisi lain hati Rosia berseru, semakin sering dia berurusan dengan anak Abel, semakin banyak kesempatan dia mengetahui sisi mana kelemahan mereka.

"Pergilah. Aku butuh kamu di sini sebenarnya. Aku harap tidak sampai dua jam kamu balik." Doris berpesan.

"Baik, Bu." Rosia mengangguk.

Rosia pun meninggalkan kantor Doris menuju ke ruangan Devano.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang