Bab 18. Pedih

1 0 0
                                    


Rosia hampir masuk kamar mandi, telepon nyaring berdering. Devano menghubungi.

"Sudah siap? Ayo!"

"Mas Dev, sedikit lagi. Bilang pak sopir sepuluh atau lima belas menit lagi, ya?" Rosia meminta waktu bersiap. 

"Aku sudah bilang tadi,  aku yang jemput kamu. Aku sopirnya hari ini. Kenapa belum siap?" ujar Devano. Dia terdengar sedikit kesal.

"Apa? Mas Dev yang jemput aku?" Rosia menyahut dengan suara keras.

"Hei, kenapa berteriak? Iya, aku di tempat kos kamu, menghadap taman dengan bunga mawar dan dahlia. Ada pohon jeruk kecil di pot putih. Juga-"

"Aku segera siap. Tunggu ya, Mas!" Rosia kembali menyahut, memutuskan panggilan Devano dan masuk ke kamar mandi.

Devano yang ada di teras kaget Rosia menutup telpon begitu saja.

"Aahh, dia putusin. Ga sopan banget." Devano melihat ponselnya.

Dia berjalan ke teras dan duduk di kursi di sana. Dia perhatikan sekeliling. Lumayan juga. Tempat kos itu cukup besar dan rapi. Beda dengan tempat kos teman kuliahnya yang Devano pernah lihat.

Sambil menunggu, Devano mengirim pesan pada Serine. Dia memastikan hari itu dia dan Serine bisa bermalam minggu bersama atau tidak. Devano memberitahu kalau dia akan di rumah menemani ibunya hingga siang hari.

"Selamat pagi, Mas Dev."

Devano menoleh melihat ke sisi kirinya. Rosia berdiri dengan kotak berwarna ungu di tangan. Rambutnya dikuncir tinggi di belakang kepala. Kaos ungu muda dengan paduan biru dan pink membalut tubuhnya yang imut. Celana panjang putih dan sepatu kets putih dengan garis ungu gelap di bagian bawah. Lalu tas selempang putih melingkar dari bahu ke badannya, menambah cerah penampilan gadis itu.

"Woow!" Devano tersenyum lebar. Tatapan matanya menelisik detil diri Rosia. Kikuk juga diperhatikan seperti itu.

"Saya sudah siap, Mas." Rosia berusaha bersikap normal, menyisihkan canggung dan tegang yang mendera di dada.

"Yuk, aku ga mau kelaparan." Devano melangkah mendahului menuju mobilnya yang terparkir di luar pagar. Rosia mengikuti.

Kembali berdua di dalam mobil, melaju menuju rumah besar Ardante. Rosia tidak mengira Devano langsung yang menjemput dia.

"Mas Dev kenapa jemput aku? Bukan minta sopir saja?" Penasaran, Rosia bertanya.

"Kenapa? Lebih senang sama sopir daripada sama aku?" balas Devano. Dia melirik Rosia.

"Bukan begitu maksudku, Mas. Saya ga enak jadi merepotkan." Rosia.memberi alasan.

"Aku juga ada urusan lain. Sekalian." Devano menjawab santai.

"Ohh, oke," ucap Rosia.

Perjalanan berlanjut. Sepanjang jalan menuju rumah, Devano beberapa kali bernyanyi. Suaranya lumayan juga. Dan lagu-lagu yang Devano nyanyikan, lagu-lagu yang juga Rosia suka. Selera musik mereka berarti sama. Rosia menikmati suara Devano.

Sesekali Rosia melirik Devano. Penampilan Devano kali ini sangat santai. Dia mengenakan kaos oblong putih dengan celana pendek selutut berwarna coklat dan sandal gunung berwarna hitam. Tapi tetap saja keren dan enak dilihat. Rambutnya yang agak gondrong itu memang pas banget untuknya. Rosia suka juga melihatnya dan semakin suka melihatnya.

Akhirnya mereka sampai di mansion. Devano mengajak Rosia naik ke lantai dua rumah itu. Tidak kalah indah dan menakjubkan. Seluruh area sepertinya ditata sengaja menjadi area privasi pemilik rumah.

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang