"Rosi, kamu paham pasti yang Ibu maksud. Kamu satu-satunya harta Ibu yang paling berharga. Setelah ayahmu pergi, apa yang Ibu perjuangkan? Kamu, Nak. Kamu kesayangan Ibu."
Kalimat yang Marini ucapkan itu membuat hati Rosia seperti berdenyut.
"Ibu tahu, kita sudah melewati banyak hal yang berat setelah ayah tidak bersama kita. Tetapi Tuhan terus menolong. Kamu tetap bisa sekolah, kuliah, dan sekarang kamu siap mengejar mimpi kamu. Jangan sampai apapun mengganggu dan membuat kamu salah mengambil langkah di hidup kamu."
Makin kuat detak jantung Rosia. Kenapa pesan ibu kali ini terasa begitu dalam dan mengandung sesuatu yang ... jika boleh Rosia simpulkan, seolah-olah ibu tahu ada tujuan lain Rosia memaksa diri pergi jauh dari ibunya dengan bekerja di Jakarta.
Rosia tidak tahu bereaksi apa dengan semua nasihat ibu. Dia merngerjap beberapa kali, lalu mengangguk.
"Yang lalu, biarkan saja. Tidak bisa diulang dan tidak bisa juga kita lupakan." Marini melanjutkan. "Jalani hari ini dengan hati bersih untuk menyambut masa depan baik yang Tuhan sudah siapkan buat kamu."
Lagi-lagi Rosia hanya mengangguk. Pertanyaan besar kembali muncul, apa ibu tahu isi hati Rosia yang masih dipenuhi amarah pada keluarga Ardante?
Ibu tersenyum lalu mengusap pipi Rosia. "Habisin pudingnya. Jus kamu juga masih setengah. Lalu kita pindah ke dapur, lanjut perjuangan kita hari ini. Oke?"
Rosia terkesiap. Dia agak gelagapan, lalu segera tersenyum berusaha menetralkan detak jantungnya.
"Iya, aku makan puding, habisin jus, lalu lanjut." Rosia dengan cepat mengambil piring puding dan makan dengan lahap.
Marini kembali menelisik putrinya. Wajah dan gerak-geriknya. Ah, Rosia sudah dewasa. Tetapi masih ada ketakutan bahwa sebenarnya di hati terdalam gadis cantik dan pintar itu, luka dan marah belum sepenuhnya pergi. Rosia memang mampu menyimpan dalam-dalam, tapi seorang ibu bisa merasakan ada sesuatu di hati sang anak.
*****
Dengan pelukan erat, seperti tak ingin dilepaskan, Marini terpaksa membiarkan Rosia kembali berangkat ke Jakarta. Belum rela sebenarnya untuk berpisah lagi. Apalagi Marini tahu, di mana Rosia berada.
Namun, di lubuk hati terdalam, doa seorang ibu tak akan pernah berhenti. Marini terus meminta agar Rosia baik-baik saja. Dia akan menemukan terang di hatinya dan akan melakukan yang benar di situasi apapun.
"Sampai Jakarta aku telpon. Makasih buat semuanya, Bu." Rosia terbawa suasana, sedikit berat juga meninggalkan ibunya.
Perjalanan lancar, Rosia langsung menuju ke kantor, bukan ke tempat kos. Dia berangkat dengan pesawat pagi-pagi agar tetap bisa bekerja begitu tiba di ibukota.
Jam kantor masih kira-kira lima belas menit lagi, Rosia masuk gedung besar dan megah itu. Kantor masih sepi, hanya satu dua orang yang Rosia jumpai. Yang terbersit tiba-tiba di kepala Rosia adalah Bernardo. Apakah pria itu berhasil menemukan bukti yang lebih otentik soal Selly?
"Jadi penasaran. Kalau beneran terbukti, Abel mau ngapain? Dia depak Selly?" ujar Rosia dalam hati.
Rosia hampir berbelok menuju ruangannya saat dia melihat Devano beberapa meter di lorong di depannya. Pria itu tengah menelpon tapi tampak dia tidak tenang.
"Kamu sudah gila! Dasar ga tahu diri!!"
Rosia kaget mendengar itu. Rosia menghentikan langkah, memandang Devano yang berdiri membelakanginya. Pria itu bergerak terus, berjalan mondar-mandir, seperti orang bingung.
"Kamu tega, ga pakai otak, ga punya hati! Kurang baik apa aku sama kamu, ha??! Aku kasih semua yang kamu mau, tapi imbalannya apa?! Dasar sialan!!" Umpatan lagi-lagi terdengar dari mulut Devano.
Rosia mencoba menerka apa yang sedang terjadi dengan Devano. Apa yang pria itu bicarakan soal perempuan atau bisnis? Rosia melihat satu pintu lagi terbuka. Mungkin tidak dia mendekati Devano dan mengambil hatinya?
"Ini terakhir kali kamu menelpon aku, jelas?! Semua sudah selesai!" sentak Devano makin keras.
Rosia bergidik juga. Dia paling tidak bisa berhadapan dengan situasi menegangkan dan ada orang marah-marah di dekatnya. Trauma kejadian dengan papanya akan menghampiri cepat membuat Rosia ketakutan. Detak jantung melaju cepat dan tubuhnya mulai gemetar.
"Jangan sekarang. Jangan sekarang kamu oleng, please ...," kata Rosia pada dirinya sendiri.
Perlahan Rosia mengangkat kaki, sebelum dia makin membeku lebih baik dia menyingkir lebih dulu. Dia akan mengumpulkan kekuatan baru akan menemui Devano dan berlagak sok penuh empati dengan pria itu.
Beberapa langkah, tepat saat Rosia ada di depan lift, Devano berbalik. Pandangan pria itu langsung tertuju pada Rosia. Rosia pun sama, berdiri tegak memandang Devano yang terlihat kusut dan kesal.
"Menurut kamu, kalau orang berkhianat baiknya kita apakan?"
Sambil mengucapkan kalimat itu, Devano berjalan mendekat ke arah Rosia. Tentu saja Rosia gelagapan. Dia tidak siap dengan pertanyaan tak terduga yang ditujukan padanya.
"Berkhianat? Apa? Siapa?" Rosia menjawab dengan bingung.
"Ayo ikut aku!" Devano maju tiga langkah, dia memegang lengan Rosia dan menarik gadis itu menuju ke.pantry di ujung ruangan itu.
Seorang pegawai di sana sedang menyiapkan sesuatu.
"Pak, bisa tinggalkan kami?" Devano bicara pada pegawai itu.
"Ya, Tuan. Saya permisi." Terkejut dan tergopoh-gopoh, pria itu meninggalkan Devano dan Rosia berdua.
Devano duduk di kursi yang ada di sana. Dia memposisikan Rosia agar duduk bersebelahan dengannya.
"Kenapa? Kenapa lagi-lagi aku dikhianati? Apa aku kurang baik? Apa aku kurang tampan? Kurang keren? Kurang kaya?" Devano menatap tajam pada Rosia yang tampak bingung.
"Aku, aku tidak tahu, Mas." Rosia kehilangan kata yang tepat untuk menjawab.
"Aku cinta mati sama Serine. Semua yang dia mau aku kasih. Kapanpun, apapun, asal dia senang, oke. Aku mau dia tahu aku serius, serius sayang sama dia.
"Tapi ternyata ... dia, dia ... ahhh!!" Devano mengepalkan kedua tangannya karena emosi yang makin meledak. "Aku bukan satu-satunya pria buat Serine. Dia punya pria lain. Yang juga kaya, tampan, keren. Gila, ga?"
Rosia menelan ludahnya. Semua kekacauan yang Devano alami mulai bisa Rosia urai. Devano galau, galau parah karena kekasihnya Serine ketahuan berselingkuh. Devano tidak terima. Dia merasa sudah menjadi kekasih yang terbaik masih saja dipermainkan.
"Mas, tenang dulu. Tahan emosinya. Aku buatin minum, ya?" Rosia berdiri.
Dia berjalan ke sisi kanannya dan melihat berbagai bahan minuman yang ada di sana. Rosia membuat lemon tea untuk Devano. Dia tambahkan madu pada minuman itu. Semoga minuman buatannya dapat sedikit meredakan kesal yang menguasai hatinya.
"Silakan, Mas." Rosia menyodorkan cangkir di depan Devano.
Devano menoleh. Dia langsung mengangkat cangkir dan meneguk isinya beberapa kali. Manis dan asem, menyegarkan.
"Ros, menurut kamu, kalau kamu punya kekasih seperti aku, kamu akan setia tidak?" Devano menatap Rosia, bertanya dengan serius.
Wajah tampan dengan rambut gondrong tetapi bagus itu terlihat carut marut. Marah, sedih, dan kecewa bercampur di sana.
Lagi-lagi pertanyaan tidak terduga terlontar dari bibir pria itu. Rosia tentu saja tidak tahu harus menjawab apa.
"Ros, aku tanya sama kamu." Devano tidak sabar karena Rosia tidak berkata apa-apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dendam Terbelenggu Cinta
RomanceKejadian mengerikan kematian sang ayah di tangan rekan bisnisnya tak akan Rosia lupa. Setelah sepuluh tahun berlalu, Rosia memulai rencana pembalasan dendam atas kematian sang ayah. Berhasil masuk di perusahaan keluarga Ardante, Rosia perlahan ingin...