Bab 28. Ibu?

3 0 0
                                    


Ale tersenyum. Gantian Rosia yang akan mencecar dirinya dan Ale harus siap menjawab. Cara Rosia bertanya dan menatap padanya, mengingatkan Ale bagaimana Rosia remaja yang dia kenal.

Rosia cerdas, penuh semangat, dan ingin tahu banyak hal. Satu saja yang membuat dia sedih tapi juga marah karena kehilangan ayahnya. Rosia dan ibunya tertatih-tatih berjuang untuk bertahan hidup.

"Nanti aku cerita. Jam istirahat hampir habis. Aku ga suka telat." Ale melihat arloji di tangannya, alasan tepat mengelak menjawab pertanyaan Rosia.

"Ih, curang," sahut Rosia. "Dua menit saja, Mas."

Senyum Ale melebar. "Catherine mengalami kecelakaan kecil, aku menolongnya. Dari situ kami kenal. Siapa yang menyangka dia akhirnya membuka kafe di sini. Kami jadi makin mudah bertemu."

Wajah Ale tampak sumringah saat mengatakan itu.

"Sudah cukup. Aku balik. Lain kali kita lunch bareng lagi." Ale berdiri dan bersiap meninggalkan kafe itu.

Rosia pun beranjak. Tapi dia belum lega. Dia akan menagih janji Ale, bercerita tentang pertemanan pria itu dengan anak sulung Tuan Abel.

Kembali ke kantor, kembali sibuk dengan pekerjaan. Rosia benar-benar berusaha fokus dengan semua yang harus dia selesaikan. Sebelum dia pulang, kalau mungkin tidak meninggalkan pekerjaan besar. Atau paling tidak tinggal finishing dan edit lagi apa yang perlu dan cross check ulang.

Hingga tiga hari berlalu semua berjalan normal, tidak ada kejutan apapun. Bahkan Doris menyimpan lagi rapat kisah pedihnya. Dia bersikap wajar sebagaimana Doris yang sejak awal Rosia kenal.

Hari terakhir sebelum libur, Rosia sengaja pulang lebih lambat, memastikan semua urusan tidak ada yang terlewat. Hingga lewat jam enam sore baru Rosia membereskan mejanya untuk bersiap pulang.

"Yang ini sudah. Ini juga oke ... Terus ... hmm, ini oke. Nice. Everything is good." Rosia lega.

Dia mengambil tasnya lalu berjalan keluar kantor. Sebelum meninggalkan lantai itu, Rosia berbelok ke toilet lebih dulu, mau buang air kecil, daripada menunggu sampai di kos.

"Bukan seperti itu, Honey, Sayang ...." Suara seseorang bicara mesra terdengar.

Rosia menghentikan langkahnya, tapi perlahan merapatkan tubuh ke pintu, mencoba mendengar dengan lebih jelas.

"Kamu masih saja cemburu sama si Tua itu. Ga mungkin aku cinta dia. Aku sayang cuma sama kamu. Ayolah ...."

Rosia menggigit bibirnya. Selly. Wanita itu sedang menelpon kekasihnya yang cemburu dengan hubungan khusus Selly dan majikannya. Tentulah, siapa yang rela kekasihnya tidur sama pria lain, sudah mulai tua pula.

"Yang dua hari lalu, aku transfer delapan juta ke mana?" Suara Selly meninggi.

Rosia mengeluarkan ponsel, mencoba merekam percakapan itu.

"Iya, aku tahu ... Ga, bukan aku ga percaya. Tapi uang segitu juga ga kecil, Sayang." Sepertinya ada perdebatan antara Selly dan kekasihnya.

"Baiklah. Aku akan habiskan malam ini dan besok dengan kamu. Tapi weekend, aku ga bisa nolak Tuan Abel. Tiket ke Hongkong sudah di tangan, Sayang. Nanti aku bawain oleh-oleh buat kamu, oke?" Selly membujuk kekasihnya.

"Menjijikkan," bisik Rosia sambil mencibir.

"Iya, aku transfer nanti ... Enam? Yakin?" Selly mencoba meredakan kemarahan kekasih hatinya.

Dalam pandangan Rosia, Selly dimanfaatkan pria yang dia panggil Honey dan Sayang itu. Gimana tidak? Semudah itu Selly mengirim uang, sementara Selly menggunakan Tuan Abel sebagai alat mendapatkan berapa pun rupiah yang dia mau.

"Baiklah, Honey. Aku mau temui sebentar si bandotan itu. Dia harus aku luluhkan biar ga marah aku pergi malam ini. Tunggu aku, ya?" Suara Selly makin lembut dan dia buat seceria mungkin.

"Oh, no." Rosia segera menjauh dari pintu. Sambil berjinjit Rosia berlari kecil dan berbelok cepat di lorong terdekat agar tidak terlihat oleh Selly yang keluar dari toilet.

Rosia berdiri merapat pada dinding, tidak berani bergerak, bahkan menahan nafas, sampai Selly berlalu. Setelah tidak terdengar suara sampai beberapa menit, perlahan Rosia melongok dan memastikan Selly benar-benar telah pergi.

"Gila. Perempuan itu memang gila. Sebaiknya dia harus segera disingkirkan," ujar Rosia geram.

Rosia membuka ponsel dan memutar rekaman suara Selly. Tidak begitu jelas, tapi masih terdengar.

"Ah, suaranya agak lain karena dia di dalam toilet." Rosia cukup kesal mendengar hasil rekaman suara Selly.

"Tapi setidaknya ini bisa jadi bukti. Dan ... CCTV?" Rosia mendongak, melihat di mana saja letak CCTV di area itu.

"Yes, bisa." Rosia lega, dia punya bukti yang mendukung.

Segera Rosia mencari nomor Bernardo. Dia mengirim pesan dan rekaman suara telpon Selly. Dia berharap pesan itu bisa memberi bukti yang kuat dari kecurigaan Rosia terhadap Selly.

Pesan itu tidak segera mendapatkan balasan. Rosia tidak memikirkannya lagi. dia segera masuk toilet, membereskan urusannya, lalu berangkat pulang ke tempat kos.

******


"Kamu beneran jadi pulang, kan? Ibu sudah kangen berat." Marini bicara dengan suara mellow di telepon.

"Iya, Bu. Tiket pesawat sudah dibeli. Rugi banyak aku kalau ga pulang. Besok aku sarapan di rumah," kata Rosia.

Tidak sabar rasanya sampai di rumah dan memeluk ibu dengan erat.

"Oh, dengan senang hati, Sayangku. Ibu masak yang paling enak, ya?" Marini langsung bersemangat.

"Aku harus cepat tidur biar ga telat ke bandara besok pagi," ujar Rosia.

"Oke. Bagus, cepat tidur. Bye, Sayang."

Klik. Marini mengakhiri panggilan. Rosia terkikik. Ibunya lucu sekali. Marini melompat di kasur dan tidur terlentang memandang langit-langit kamarnya. Ingin sekali dia langsung terlelap dan begitu bangun pagi hari pun tiba.

Tetapi pikiran Rosia beralih pada kejadian di kantor sebelum dia pulang. Dia kembali melihat ponsel, memastikan jika Bernardo sudah menerima pesannya.

"Ah, belum juga dia baca. Sibuk apa, sih? Heran." Rosia jadi tidak sabar.

Dia ingin tahu bagaimana reaksi Bernardo saat menerima pesan itu. Sudah pasti seharusnya berita dari Rosia akan membuka satu kebenaran jika Selly bukan wanita yang baik. Tidak untuk jadi sekretaris maupun untuk jadi simpanan Abel.

Karena tidak ada juga balasan dari Bernardo, lama-kelamaan Rosia pun terlelap. Rosia terbangun sebelum subuh datang. Dia bergegas menuju bandara. Tidak lupa oleh-oleh buat sang bunda dia bawa do ransel yang ada di punggungnya.

Perjalanan lancar. Ketika matahari mulai utuh menunjukkan diri di hari baru, Rosia sudah menapakkan kaki di Bandara Juanda. Sedikit lagi, sedikit lagi Rosia akan melihat lagi wajah lembut dan penuh senyum ibu tersayang.

"Ibu!!" Dengan sekeras mungkin Rosia membuka pintu rumah dan memanggil ibunya.

Langkahnya tergopoh-gopoh masuk ke ruang dalam. Dia yakin ibu pasti ada di dapur. Tetapi ternyata dapur kosong.

"Ibu!!" Lagi, dengan keras Rosia memanggil ibunya.

Rosia meletakkan ranselnya lalu berkeliling rumah, mencari di mana ibunya. Kosong. Marini tidak tampak di ruang manapun di seluruh rumah.

"Ibu di mana? Kok ga ada? Aku sudah di rumah, tapi ibu malah pergi?" Rosia bingung.

Mana mungkin ibu pergi ke ruko, tempat laundry ibu.

"Masa ibu lupa aku mau pulang? Tapi ...." Rosia memutar badannya melihat ke arah ruang depan. "... pintu ga dikunci. Ga mungkin ibu pergi ga kunci pintu. Aneh banget, sih."

Rosia kembali ke ruang belakang. Dia mau memastikan mungkin saja ibu ada di halaman belakang, menjemur pakaian.

"Tidak ada. Aneh. Ibu di mana?" Rosia bergegas balik ke dalam sambil mengeluarkan ponsel dan mencoba menghubungi ibunya.

Beberapa kali, tidak juga ada balasan. Rosia mulai cemas. Apa yang terjadi dengan ibu?

Dendam Terbelenggu CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang