Chapter 25 - 27

74 10 0
                                    

Chapter 25

Saat cahaya lilin yang berkedip-kedip memancarkan bayangan pada tubuh mereka yang saling terpaut, beban emosi yang tak terucap terasa berat di udara.

Peter, bergulat dengan pikirannya yang penuh gejolak, berkata, "Maafkan aku, aku tidak tahu harus berkata atau berpikir apa. Ini terlalu berat untukku."

Dalam keheningan, Alice memeluknya, berbisik, "Meskipun begitu, aku masih akan terus mencintaimu."

Bibir mereka bertemu, mengekspresikan cinta yang menentang segala rintangan. Peter, terjebak dalam emosi yang saling bertentangan, mengakui, "Bagaimana mungkin aku tidak mencintaimu juga? Mengetahui bahwa takdir tidak berpihak kepada kita berdua."

Peter: "Aku sungguh belum pantas untukmu."

Alice: "Aku tidak peduli, kita kehabisan waktu dan aku terlalu mencintaimu."

Cahaya bulan menyinari melalui retakan dinding kayu pondok berburu yang sudah tua, memancarkan bayangan panjang berwarna perak di tanah. Hutan di luar berbisik dengan suara dedaunan yang bergesekan, tetapi di dalam, dunia terasa diam—waktu seolah berhenti, tergantung dengan lembut di udara antara Alice dan Peter.

Peter mengernyit, mencoba memahami kata-kata Alice yang misterius, hatinya berdebar kencang, baik karena kedekatannya maupun ketakutan yang menghantui dadanya.

Peter, suaranya berbisik putus asa: "Alice, apa maksudmu dengan 'kita kehabisan waktu'? Apa yang tidak kau katakan padaku?"

Tatapan Alice jatuh ke lantai, tidak mampu menatap mata Peter yang tajam. Jantungnya naik turun cepat, seolah beban rahasia yang telah dia simpan terlalu berat. Dia menelan ludah dengan susah payah, kata-kata yang akan dia ucapkan terjebak di tenggorokannya.

Alice, gemetar: "Aku... aku tidak tahu berapa lama lagi kita punya waktu, Peter. Kau dijodohkan dengan orang lain. Dan aku..."

Ruangan seolah menyusut di sekitar Peter saat kata-katanya terhenti. Dunianya terasa terbalik, dan dia mundur, satu tangan mencengkeram tepi meja kayu tua seolah mencoba menenangkan dirinya. Kenyataan menghantamnya seperti gelombang dingin—dia tahu cinta mereka terlarang, bahkan mustahil, tetapi mendengarnya dengan jelas, terasa begitu final, merobek sesuatu yang dalam di dalam dirinya.

Peter, suaranya serak: "Tidak, Alice... Apa maksudmu? Lanjutkan."

Mata Alice berkilauan dengan air mata yang tertahan saat dia melangkah gemetar ke arahnya. Dia bisa melihat penderitaan di wajah Peter, yang mencerminkan penderitaan yang sama di hatinya sendiri. Mereka telah mencuri momen bersama secara diam-diam, tetapi mereka selalu berharap lebih, bermimpi tentang masa depan yang tak mungkin.

Alice, dengan suara lembut, penuh dengan kesedihan: "Peter, aku sudah berharap begitu lama tentang hubungan kita berdua, tapi harapan tidak menghentikan matahari terbit esok hari. Hal yang paling penting adalah; kita kehabisan waktu, kumohon."

Peter kemudian meraih Alice, menariknya lebih dekat, tangannya yang gemetar mengusap wajahnya. Ibu jarinya menyeka air mata yang mengalir di pipinya.

Peter, suaranya rendah, penuh dengan penyesalan: "Aku tidak bisa, Alice. Tidak seperti ini. Aku—"

Sebelum dia bisa melanjutkan, Alice menempelkan ujung jarinya dengan lembut di bibir Peter, membungkamnya. Dia menggelengkan kepalanya, matanya penuh dengan tekad yang kuat, intensitas yang baik membuat Peter takut maupun tergerak.

Alice, suaranya hampir berbisik: "Jika kita tidak bisa memiliki satu sama lain selamanya... biarkan kita memiliki satu sama lain semalam saja."

Kata-kata itu jatuh di antara mereka seperti percikan api di kegelapan. Sesaat, Peter terdiam, nafasnya tertahan di tenggorokannya saat dia menatap mata Alice. Kedalaman kerinduan Alice, hati yang patah, tercermin dalam jiwanya sendiri. Mereka berdua tahu apa yang dimaksud Alice—apa yang akan terjadi di momen ini.

Under a Dimmed Sun - Bahasa Indonesia [R15]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang