22. Satu Dari Seribu Yang Dibenci

4 1 0
                                    

Happy reading!!!!

***
Terkadang, dia pun menjadi satu dari seribu hal yang dibenci. Pun dengan hari, tanggal, dan waktu yang turut menjadi bagian dari luka itu.
***

BANDUNG, Desember 2025

Terjebak dalam hening yang dingin serta amarah yang diredam seorang diri, adalah satu hal yang paling dibenci oleh laki-laki bernama lengkap Atlanta Laskar Atmadjaya, mahasiswa semester 7 jurusan Sastra Indonesia di Universitas Jalak Harupat Bandung.

Laki-laki kelahiran bulan April—yang sekarang usianya sudah genap dua puluh dua tahun—itu duduk terdiam dengan pandangan mengarah ke luar jendela RK kafe, tempat yang sudah lama tidak dia kunjungi. Sejak tadi Atlanta mengumpat dalam hati, mengeluarkan sumpah-serapahnya kepada Kaleandra Prasetya—teman satu kelas dan band-nya—yang kembali mempertemukannya dengan dua orang laki-laki sebaya yang sudah lama dia hindari.

Kale sialan! Tahu begini, lebih baik Atlanta tetap berada di dalam kamarnya yang hangat dari pada bertatap muka dengan dua luka masa lalunya.

“Lo ... apa kabar, Lan?” Marcho Alaska membuka perbincangan yang sudah beberapa menit hanya diisi oleh hening.

Di sampingnya ada Cakra Aditya Robert yang diam berpura-pura bermain ponsel. Dia terlalu pengecut untuk membuka pembicaraan atau bahkan menyapa Atlanta.

Sebenarnya, Marcho sudah menebak suasana meja mereka akan canggung, tapi tak pernah Marcho sangka akan secanggung ini kala kembali bertatap muka dengan Atlanta Laskar Atmadjaya setelah sekian lama—bahkan baik dirinya Cakra, nyaris tak lagi mengengalinya saking lama tak bertemu. Atlanta yang sekarang duduk berhadapan dengan mereka, sangat berbeda dengan Atlanta di tahun 2022. Sekarang tak ada lagi kata ramah dan lembut dalam diri Atlanta, yang ada sekarang adalah Atlanta yang ketus dan dingin, mungkin dinginnya udara di luar sana kalah dengan sifat dingin laki-laki Atmadjaya ini.

Are you ok—”

To the point! Basa-basi lo nggak guna!”

Cakra terhenyak. Laki-laki itu lantas terdiam usai Atlanta menyambarnya dengan kalimat terdingin yang pernah Cakra dengar. Diliriknya Marcho Alaska, meminta bantuan kepada laki-laki itu.

Marcho menghela napas gugup. Kemudian berkata, “Maaf udah ganggu waktu lo, tapi ... kita berdua mau minta maaf sama lo atas semua yang udah terjadi. Entah itu tiga tahun lalu atau seka—”

“Emang lo berdua ada salah sama gue?”

Jika tiga tahun lalu, salah satu dari tiga member The Tamvan—Atlanta, Bara, Cakra—yang menyela perkataan Marcho dengan sengaja, laki-laki bernama lengkap Marcho Alaska itu pasti akan berkata dengan sarkas, “Dengekeun heula, bangs*t!” yang membuat tawa pecah di lingkaran pertemanan mereka. Namun sayangnya, sekarang semua terasa asing nyaris tak bisa dikenali oleh mereka, sekalipun oleh Atlanta Laskar Atmadjaya. (Dengerin dulu, bangs*t!)

Marcho tersenyum canggung. “Perwakilan temen kita, Bara.”

Sejenak Atlanta yang sedang memegang secangkir kopi yang menempel pada bibir—hendak meminumnya, terdiam usai nama itu disebut Marcho. Nama seseorang yang dia telepon beberapa hari lalu, menyuruhnya agar tidak mencari tahu tentang keberadaan kesayangannya. Napasnya dia embuskan gusar, dan kembali meletakan gelas kopi itu di permukaan meja dengan keras, tak mempedulikan isi air dari dalam gelas itu berceceran dan Marcho serta Cakra yang terkejut.

Cakra bergumam, “Mampus kita!”

Suara decihan terdengar, atensi Marcho dan Cakra kembali lagi mengarah pada Atlanta yang enggan menatap mereka. “Minta maaf kok diwakilin, cowok apa bukan?!”

Antara Cinta dan Pendidikan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang