09. Hwang Aidan

16 2 0
                                    

Hello guys, how are you??
Happy reading❤️❤️

"Izinkan aku untuk menyembuhkan semua luka di hatimu, ya?" -Hwang Aidan.

***

SEOUL, November 2025

Hwang Aidan tak pernah menyesal berjumpa dengan Bianca Dirgantara.

Selama tiga tahun ke belakang, Aidan selalu berusaha untuk ada di samping Bianca dan menemani perempuan yang dicintainya itu melewati masa sulit. Sejak awal keduanya bertemu di kampus, laki-laki Hwang itu sedikit penasaran dengan sesosok mahasiswi asal Indonesia bernama Bianca Dirgantara yang sering dibicarakan teman-temannya sampai diam-diam dia selalu memperhatikan Bianca. Hingga di Namsan Tower pada malam musim dingin kala itu, Aidan kembali bertemu dengan Bianca yang tengah menikmati udara malam sendirian.

***

Saat itu Bianca kebingungan setengah gelisah mencari sesuatu sembari menggumamkan berbagai kata kasar karena kecerobohannya. Tentu Aidan yang melihat Bianca kebingungan seperti itu turut merasakannya, bahkan dia tersenyum kecil karena tingkah perempuan itu yang terlihat lucu di matanya. Ketika dia menunduk, tak sengaja matanya menangkap sebuah buku sketsa yang tergeletak di ujung kakinya, sebuah keberuntungan bagi Aidan karena berkat buku sketsa itu dia akhirnya bisa bersama dengan Bianca-walau statusnya hanya seorang teman.

"Oh God! That's my sketchbook!" Bianca kala itu berjalan menghampirinya, untuk mengambil buku sketsa yang ada digenggamannya.

"Are you Bianca Dirgantara?" tanya Aidan berpura-pura.

Bianca mengangguk, tersenyum tipis. "I am."

"Namamu sangat cantik," ungkap Aidan membuat kedua mata sipit Bianca memelotot. "Sebelumnya ... namaku Hwang Aidan, mahasiswa jurusan Sastra dan Bahasa University of Seoul." Dia melanjutkan berbicara tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah Bianca.

"Beneran?! Aku juga kuliah di sana! Aku Bianca Dirgantara, mahasiswi jurusan Antropologi." Balasan antusias dari perempuan itu membuat Aidan tak dapat menahan kedutan di kedua sudut bibir. "Eh, kok, kamu bisa bahasa Indonesia? Bukannya kamu-"

"Ibuku dari Indonesia." Bianca mengangguk mengerti, lantas segera meminta buku sketsa itu kembali dari tangan Aidan. Tentu saja Aidan kembalikan walau sedikit tak ikhlas karena takut jika itu adalah pertemuan dan perbincangan terakhirnya dengan Bianca.

Namun, semuanya berubah ketika Bianca tiba-tiba berkata, "Maaf aku lancang bertanya seperti ini, tapi ... kamu mau makan malam bersamaku di sekitar sini?"

***

Kepingan memori tiga tahun lalu melintas dikepalanya, Aidan tersenyum tipis mengingat itu. Dia terlarut dalam lamunannya hingga tak menyadari bahwa penjaga kasir di depannya berulang kali memanggil, bahkan berbagai protes dan umpatan kecil dari para pelanggan di belakangnya sekalipun. Begitu tersadar, laki-laki Hwang itu segera meminta maaf dan mengambil pesanannya. Dengan masing-masing tangan memegang cup hot americano, Aidan berjalan menghampiri Bianca yang tengah berkutat dengan iPad-nya di bangku pojok dekat jendela.

Senyum seorang Hwang Aidan kian mengembang. Netra cokelatnya tak akan pernah bosan untuk terus menatap wajah perempuan yang sudah ditetapkan hatinya sebagai tempat pulang, perempuan yang menjadi titik dari kesendiriannya, dan perempuan yang juga turut menjadi tokoh utama dari kisah yang berawal di bulan Agustus tahun 2022.

"Fokus banget, sedang apa, sih?"

Pertanyaan itu tak dijawab oleh sang lawan kendati Aidan sudah duduk berhadapan dengannya. Mata sipit Bianca memandang sendu ke layar iPad seakan itulah atensinya, bukan Hwang Aidan.

Aidan sengaja mencondongkan tubuhnya karena penasaran dengan sesuatu yang telah menarik perhatian Bianca. Dia tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Pun dengan sorot matanya yang ikut menyendu. Aidan tak tahu, sejak kapan dia menjatuhkan hatinya pada Bianca, dan tak tahu sejak kapan pula dia selalu berusaha untuk mencari kunci agar bisa membuka hati perempuan itu, entah sejak kapan dia selalu menunggu.

Hwang Aidan rela berpura-pura bertingkah bodoh di depan Bianca Dirgantara demi bisa menghibur, rela tak tidur semalaman demi menemani perempuan Dirgantara itu bercerita kala dia tak bisa memejamkan mata, dan menjadi bahu sandaran perempuan itu agar bebannya di bahunya berkurang.

Bahkan, Aidan rela menelan fakta pahit bahwa ....

"Masih suka kepikiran dia, ya?"

... Bianca masih belum usai dengan masa lalunya.

Perempuan itu sontak mendongak, terkejut melihat Aidan yang tiba-tiba menatapnya dengan sirat kecewa seperti itu. Kedua matanya mengrejap beberapa kali bersamaan dengan batinnya yang mengumpat.

Bianca lupa jika dia sedang berada di sebuah kafe yang tak jauh dari pusat kota bersama Aidan usai seharian menemani laki-laki itu mengunjungi pameran seni bahkan menemaninya bertemu dengan temannya yang berasal dari kampus lain, tapi dia malah tenggelam dalam kisah masa lalu yang entah harus disebut selesai atau belum, hanya karena sebuah screenshoot pesan dari tiga tahun lalu yang masih dia simpan di iPad-nya.

"A-Aidan?"

"Seperti apa sih dia, sampai bikin kamu sulit untuk melupakannya?" Kalimat itu Aidan ucapkan dengan santai, tapi terkesan sarkas menurut Bianca. "Sesulit itu memangnya? Meski tiga tahun sudah terlewati?"

Bianca terdiam, tak berani bersuara saat bersitatap dengan sorot mata sendu penuh harap dari laki-laki Hwang di depannya. Kedua tangannya diraih oleh Aidan, bahkan digenggamnya dengan. "Apakah sudah tidak ada ruang untukku di hatimu?"

Perempuan itu menggeleng. "Bu-bukan begi-"

"Aku ada di sini kalo kamu lupa, aku selalu menunggumu untuk membukakan pintu dan membiarkan aku masuk ke dalam hidupmu meski sebagai orang baru."

Hati Bianca tertohok mendengarnya, tersirat rasa sakit dari kalimat yang Aidan ucapkan. Bukan maksud Bianca mengabaikan Aidan yang begitu mencintainya, dia hanya ragu. Bianca takut jika suatu saat, Aidan pergi saat dia sudah jatuh terlalu dalam, sama seperti yang terjadi di tahun 2022.

"A-aku takut." Suara bising di sekitarnya Aidan abaikan. Netra cokelatnya setia berpusat pada Bianca yang kepalanya setengah menunduk. "Aku terlalu takut untuk kembali jatuh cinta. Aku tau kamu bukan dia, tapi aku takut jika pada akhirnya ... semua akan sama," ucap perempuan Dirgantara itu tanpa mendongakkan kepalanya.

Aidan tak tahu harus berkata apa selain menyunggingkan senyum tipisnya. Mencoba memaklumi ketakutan Bianca Dirgantara yang satu ini. Sejujurnya Aidan marah, tega sekali orang yang telah menorehkan luka di hati Bianca, sampai perempuan itu ketakutan untuk membuka hatinya kembali. Dan apa yang telah terjadi pada hidup Bianca tiga tahun lalu?

Hwang Aidan mengembuskan napasnya pelan, dia tersenyum sembari mengangkat wajah Bianca agar mendongak menatapnya. "Nggak apa-apa, aku akan menunggu."

Mata Bianca sedikit berkaca menatap laki-laki Hwang di hadapannya, terutama senyuman yang Aidan ukir itu membuat hati Bianca tersayat. "Sampai kamu membuka pintu dan mempersilakan aku masuk, aku tetap akan menunggu. Meskipun aku harus bersusah payah dulu mencari kunci yang baru," ucap laki-laki itu sembari menyelipkan rambut panjang yang tak pernah Bianca ikat lagi ke belakang telinga.

Setetes bening terjun dari mata indah Bianca usai mendengar penuturan Aidan yang terdengar tulus. Perempuan Dirgantara itu kembali menundukkan kepala karena tak berani menunjukkan air mata untuk kesekiannya pada Aidan. Sedangkan si laki-laki terkekeh, kedua tangannya kembali menangkup wajah Bianca dan kedua ibu jarinya menyeka lembut air mata di pipinya. "Kenapa nangis, hm?"

"Ma-maafkan aku, A-Aidan."

Aidan hanya mengedipkan kelopak matanya sebagai jawaban. Lantas berkata, "Izinkan aku untuk menyembuhkan semua luka di hatimu, ya?"

Pada dirinya sendiri, Hwang Aidan berjanji akan menyembuhkan semua luka di hati Bianca Dirgantara. Dan akan terus menunggu sampai Bianca membuka pintu hati untuk dirinya seorang, hanya untuk Hwang Aidan.

tbc ....

Antara Cinta dan Pendidikan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang