06. Luka Tak Berjejak

20 2 0
                                    

Selamat membaca❤️❤️❤️

“All humans on earth, will definitely return to their owner. They won’t with us forever, those who are born into the world, will surely come back.” –Rekasa Bumi Andrana.

 ***

“TAPI kalo lo ada diposisi dalam tekanan kayak gue, apa yang bakal lo lakuin?”

Bagai orang bisu, Bara sama sekali tak membalas perkataan Bianca. Laki-laki itu menatap lurus mata Bianca yang kini berlinang, menahan cairan bening yang hendak meluruh. Dalam hati dia merutuki diri karena—untuk pertama kalinya—merasa bersalah. Saat laki-laki itu hendak berucap, suara dering ponsel Bianca yang melantunkan lagu  Mixtape: OH–Stray Kids terdengar. Bianca segera merogoh saku jaket, tertera nama Ilham Maulana dilayar ponsel.

“Halo, ada apa?” Bianca membuka percakapan, meski mata masih bersitatap dengan Bara.

“Lo di mana? Sekolah nggak?“

“Gue di bawah, why?” Bisa Bianca tebak jika sekarang tengah ada masalah di ruang OSIS. Karena suara ribut para anggota pun dapat dia dengar melalui panggilan telepon.

“Buruan ke sini! Anggota nggak kondusif sekarang, Anggota inti udah pasrah.”

“Ada apa si—”

“Udah buruan ke sini! Pak Ketos susah dihubungi. Iya-iya, sabar dulu kenapa?! Anaknya lagi gue telepon, nih! Udah ya, Bu Sekretaris, kehadiran anda kami tunggu.”

Panggilan itu terputus sepihak, Bianca mengembuskan napasnya gusar. Kepalanya sedikit menunduk, mata sipitnya menatap datar celana jeans-nya yang robek dibagian lutut dan betis, memperlihatkan lukanya yang sedikit terkotori darah kering. “Gue duluan,” pamit perempuan itu tanpa menoleh. Bahkan tak peduli dengan Bara yang menatap kepergiannya dengan sendu.

***

Cuaca hari ini cukup terik, lapang voli yang berdekatan dengan koridor gedung MIPA yang menjadi penghubung antara gedung Bahasa dan IPS pun cukup sepi. Di tengah lapang itu, seorang anak laki-laki tengah berjalan sedikit kesusahan. Sebelah tangannya memegang erat kruk yang diapit ketiak kanannya. Sesekali dia berdecak kesal, kerap kali kaki kirinya menendang krikil di lapangan untuk melampiaskan emosinya.

“Susah banget jalannya, bangs*t!”

Laki-laki itu terus menggerutu, tanpa menyadari ada seorang anak perempuan yang tengah memperhatikannya dari depan kantin. Matanya menatap khawatir sang laki-laki, dia menyandarkan sebagian tubuhnya pada tiang yang berada di samping kanannya.

“Bevaro!”

Bevaro Dirgantara, adik semata wayang Bianca Dirgantara itu mendongak saat namanya dipanggil. Seulas senyuman tercetak di wajahnya yang tampan dan menggemaskan itu. Tangan kirinya dia lambaikan, memberi sapa pada si perempuan yang berdiam diri tengah memperhatikannya penuh khawatir. Hendak melangkahkan kakinya, keseimbangan tubuh anak laki-laki yang sering disapa Varo itu hilang. Di tengah lapangan yang kosong dia terjatuh, merintih sembari memegangi sikut kanannya yang sedikit kotor.

“Varo?!” Bevaro menoleh, menatap Eka dan Ilham yang menghampirinya dengan tergesa-gesa. “Lo baik-baik aja? Mana yang sakit?!” Melihat kekhawatiran dari kedua kakak kelasnya ini membuat hati Bevaro teriris. Begitu pula saat melihat perempuan yang selalu memberi perhatian padanya—Namina Vivian Atasya, sekarang tengah berlari untuk menghampirinya sembari menahan tangis.

“Varo lo baik-baik aja? Lo nggak terluka, kan? Kak, gimana i—”

“Kita ke pinggir dulu yuk, Dek.” Ilham menyela, dia memegang kedua bahu Namina dan membawanya ke pinggiran lapang disusul Eka yang juga tengah memapah Bevaro. 

Antara Cinta dan Pendidikan [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang