29. Pertemuan (2)

22 5 0
                                    

Holaaa!!!

Akhirnya aku update cerita ini lagi ya. Jangan lupa vote dan komen!

Happy reading!!!

🍓🍓🍓



Mama Diana membiarkan anak laki-lakinya menghabiskan waktu sorenya bersama Sasha. Wanita paruh baya itu sibuk memasak di pantry. Karena belakangan ini beliau sibuk mengurus Renza, jadi tidak ada banyak stok bahan makanan di kulkas. Jadilah Mama Diana memasak bahan seadanya dari bahan yang Nana kirimkan ke unit apartemen Renza. Sambil memasak, sesekali lirikan matanya tertuju pada ruang tengah yang bersebelahan dengan pantry. Berharap dua muda-mudi itu akan berdamai dengan keputusan masing-masing. Entah apa keputusan mereka, Mama Diana hanya berharap mereka mampu memikirkan secara dewasa mana keputusan yang terbaik menurut versi mereka.

Beberapa langkah dari pantry, Renza duduk di ruang tengah bersama Sasha. Pria yang telah berganti baju itu masih tetap memakai jaket dan selimut tebal. Begitu juga dengan Sasha yang terpaksa meminjam bajunya Winta agar tidak kedinginan. Ya, untungnya apartemen Nana dan Renza bersebelahan. Jadi mudah untuk meminjam bajunya Winta. Lebih konyolnya lagi Winta juga memberikan stok pakaian dalam baru miliknya untuk Sasha. Katanya agar Sasha lebih nyaman. Agak merepotkan memang. Tapi, mau bagaimana lagi. Sasha sudah terlanjur susah menghindari Renza saat pertama kali bertemu pasca Renza sadar dari tidurnya yang lumayan panjang.

"Teh diminum dulu, Sha. Mumpung masih anget," kata Renza basa-basi dulu agar tidak canggung. Pasalnya dari tadi Sasha hanya membisu.

Sasha mengambil cangkir teh di meja bundar ruang tengah. Bagaimana pun dia tetap berusaha menjadi tamu yang baik dan menghargai penghuni apartemen. Meski sebelumnya dia pernah merasa bisa bergerak bebas di apartemen ini karena dihuni oleh tunangannya sendiri. Namun, sekarang apalah daya. Sasha hanya orang asing di dalam unit apartemen ini.

"Nah, gitu. Diminum biar kamu nggak kedinginan, Sha."

"Kamu sendiri juga kedinginan. Tadi kamu udah nyaris pingsan," balas Sasha. Akhirnya mau bersuara juga.

"Udah mendingan banget, kok," sahut Renza disertai senyuman. Renza juga ikutan meneguk teh hangatnya. "Kamu sejak kapan di Surabaya?"

"Belum lama, kok. Ada urusan sama Jessi," jawab Sasha berdusta. Semenjak mendengar Renza kecelakaan, perempuan itu sudah ada di Surabaya. Bahkan rela meninggalkan pekerjaannya di Malang.

"Aku kecelakaan setelah pulang dari Malang waktu itu. Sempat mengalami penurunan kesadaran. Dan saat itu aku kayak mimpi kembali ke masa lalu. Aku kira mimpi itu pertanda aku udah mati, Sha. Tapi, ternyata aku masih hidup. Tuhan masih ngasih aku kesempatan untuk memperbaiki diri," kisah Renza.

"Ya kamu harus bersyukur," timpal Sasha singkat.

"Tentu. Karena kalau mati, aku nggak akan bisa ngejar kamu."

"Ren, kita udah nggak bisa bersama lagi."

Renza menghela napas sebentar. "Sha, kenapa enggak?" Renza meraih satu tangan Sasha. Cincin tunangan sudah tidak melingkar lagi di jemari Sasha. Tentu Renza nyesek berat. Tapi, Renza berusaha tenang. "Sekarang aku cuma mencintai kamu, Sha. Kamu tahu nggak? Di mimpi panjang aku yang kembali ke masa lalu itu, kita udah jadi pasangan dari zaman kuliah."

"Ren, udah. Nggak ngomong aneh-aneh."

"Tapi gara-gara mimpi itu, aku jadi sadar kalau kamu setulus itu sama aku, Sha. Kamu nggak pernah mencintai pria lain selain aku. Kamu setia, Sha."

"Kamu yang nggak setia, Ren. Hati perempuan mana yang nggak sakit hati pas tahu tunangannya masih nyimpen perasaan buat wanita lain."

"Aku tahu aku salah, Sha. Dan mungkin kata maaf aja nggak cukup buat nebus dosa aku ke kamu."

Time of Our LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang