Bab 9: Momen Keintiman

78 8 0
                                    

Malam itu, suasana di kamar Gabriel John Morgan terasa hening, namun di balik keheningan itu, ada badai yang berkecamuk di dalam diri Duke muda tersebut. Angin malam yang berembus lembut melalui jendela yang setengah terbuka tidak mampu membawa kedamaian ke dalam hatinya yang gelisah. Gabriel duduk dengan tubuh lemah di kursi empuk di samping perapian, sorot matanya terfokus pada kegelapan di luar jendela. Tatapannya kosong, seakan-akan sedang tenggelam dalam pikirannya yang kelam.

Di sisi lain ruangan, Lily Abigail berdiri dalam keheningan, merapikan peralatan akupunktur yang baru saja digunakan untuk meredakan nyeri di tubuh Gabriel. Suasana yang menggantung di antara mereka terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang tidak terucap namun mengisi ruangan dengan ketegangan. Gabriel, yang biasanya dingin dan kasar, tampak jauh lebih rentan malam ini. Ada kelemahan yang terlihat jelas dalam cara dia duduk, dalam nafasnya yang pendek dan terputus-putus, dan dalam wajahnya yang tampak lelah dan terbebani.

Dalam kesunyian itu, Gabriel tiba-tiba berbicara, suaranya lebih lemah dari biasanya. "Lily..." Suara itu begitu lembut, hampir tak terdengar di antara suara api yang berderak di perapian.

Lily menoleh perlahan, menatap Gabriel dengan penuh perhatian. Dia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari cara Gabriel memanggil namanya malam itu. Ini bukan panggilan dengan nada perintah atau kemarahan seperti yang biasa ia dengar. Suara Gabriel terdengar... rapuh. Dan Lily, yang selama ini sabar merawatnya, bisa merasakan adanya ketidakpastian dalam nada suara sang duke.

"Kenapa kamu tetap merawatku meski aku sering bersikap kasar?" tanya Gabriel, matanya masih tak beralih dari jendela. Kalimat itu terasa penuh dengan ketidakpercayaan, seakan-akan dia sendiri tak bisa memahami kenapa ada orang yang rela bertahan di sisinya meski dia selalu memalingkan diri dan melampiaskan kemarahan.

Lily menurunkan alat-alatnya perlahan, mendekati Gabriel. Dia tak langsung menjawab. Sebagai seorang kesatria dan penyembuh, Lily telah dilatih untuk menilai bukan hanya luka fisik, tetapi juga luka yang tak terlihat—luka di hati dan jiwa. Dan malam itu, dia bisa melihat bahwa Gabriel tidak hanya menderita secara fisik, tapi juga terluka secara emosional.

"Karena itu tugasku, Yang Mulia," jawab Lily lembut, suaranya penuh ketenangan. Namun dia tahu, bahwa jawabannya ini tak sepenuhnya benar. Lebih dari sekadar tugas, ada rasa tanggung jawab dan kasih yang mendorongnya untuk tetap bertahan di sisi Gabriel, meskipun ia sering mendapat perlakuan kasar.

Gabriel menggeleng pelan. "Tidak... bukan hanya itu," katanya, kali ini matanya menatap Lily dengan lebih dalam. Sorot matanya penuh dengan kebingungan, seolah-olah ia tengah berjuang untuk memahami sesuatu yang bahkan tak bisa ia jelaskan sendiri. "Kamu selalu di sini, meskipun aku tidak pernah layak untuk kebaikanmu."

Lily menatap Gabriel, merasakan ada sesuatu yang mulai terbuka dalam diri pria itu. Ini adalah momen yang sangat jarang terjadi—momen ketika dinding emosi yang biasanya Gabriel bangun begitu tinggi mulai retak. Dia tampak seperti seorang pria yang kehilangan arah, seseorang yang telah lama terjebak dalam ketidakberdayaan dan kemarahan terhadap tubuhnya sendiri.

"Yang Mulia..." Lily menurunkan suaranya, kali ini lebih lembut dan penuh kasih. Dia melangkah mendekat, lalu berlutut di samping kursi tempat Gabriel duduk. Tangannya yang hangat perlahan-lahan menyentuh lengan Gabriel, memberinya rasa tenang yang tak pernah ia duga. "Semua orang memiliki kelemahan. Itu yang membuat kita manusia. Aku tidak ada di sini karena kamu harus sempurna. Aku ada di sini karena aku percaya bahwa meskipun tubuhmu lemah, hatimu lebih kuat daripada yang kamu sadari."

Gabriel memejamkan mata, merasa kata-kata Lily seperti balsem yang menenangkan luka di hatinya. Seumur hidupnya, dia hanya mendengar bahwa dia harus kuat, bahwa kelemahan adalah sesuatu yang memalukan, sesuatu yang harus disembunyikan. Namun di hadapan Lily, untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa mungkin tidak apa-apa untuk menjadi lemah sesekali.

Cinta dan Kesabaran di Antara SakitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang