Bab 6: Keberanian Lily

78 6 3
                                    

Sore itu di kastil, langit mendung seolah mencerminkan suasana hati Duke Gabriel John Morgan yang semakin suram. Sakit yang menggerogoti tubuhnya terasa seperti musuh tak kasat mata, memperlambat setiap gerakannya dan menanamkan rasa tak berdaya di setiap tulang sendinya. Bagaimana mungkin seorang Duke, yang begitu dihormati dan memiliki kekuasaan tanpa batas, tak bisa mengendalikan tubuhnya sendiri? Ini adalah pukulan telak bagi harga dirinya.

Hari itu, Gabriel merasa lebih lemah dari biasanya. Kelemahan fisiknya terasa seperti jerat yang semakin erat mengekangnya. Tubuhnya hampir tak bisa digerakkan tanpa rasa sakit yang menyiksa. Bahkan tindakan sederhana seperti bangkit dari tempat tidur telah menjadi tugas yang mengerikan baginya. Rasa tekanan di perutnya menandakan bahwa dia harus segera pergi ke kamar mandi. Dalam kondisi normal, hal ini tentu tak perlu dipikirkan dua kali. Namun bagi Gabriel, setiap langkah menuju kamar mandi adalah perjuangan besar.

Dia menatap pintu kamar mandi di ujung ruangan dengan ekspresi penuh tekad, meski di balik tekad itu terselip keraguan. Sudah beberapa hari ini, Gabriel kesulitan hanya untuk berdiri, apalagi berjalan. Namun, meminta bantuan? Itu bukan pilihan. Harga dirinya sebagai Duke tak bisa menerima kenyataan bahwa dia begitu lemah, bahkan untuk sekadar berjalan ke kamar mandi.

Dengan napas berat, Gabriel menyingkirkan selimut tebal dari tubuhnya dan mencoba bangkit dari ranjang. Setiap gerakan mengirimkan rasa sakit yang menusuk ke punggung dan lututnya. Namun, dia menggertakkan giginya, menahan erangan, menolak menunjukkan kelemahan lebih jauh. Ia memaksa tubuhnya yang lemah untuk berdiri, meski kakinya terasa seperti tak lagi mampu menopang beratnya.

Perjuangan Gabriel Melawan Tubuhnya Sendiri. Gabriel berhasil berdiri, namun baru beberapa langkah, tubuhnya gemetar hebat. Kakinya goyah, otot-ototnya bergetar seakan memberontak, menolak perintah otaknya. Setiap langkah terasa begitu berat, seolah-olah dia membawa beban yang tak terlihat di bahunya. Pusing mulai menyerangnya, membuat pandangannya berkunang-kunang. Tubuhnya terasa panas, dan keringat dingin membasahi pelipisnya.

"Damn it!" Gabriel mengumpat pelan di antara napasnya yang terengah-engah. Rasa frustasi dan ketidak berdayaan mulai menyerang dirinya. Dia mencoba melangkah lagi, namun kali ini kakinya benar-benar tak kuat menahan berat tubuhnya. Lututnya menyerah, dan dalam sekejap, Gabriel jatuh tersungkur ke lantai. Bunyi tubuhnya menghantam lantai batu bergema di dalam kamar yang sunyi.

"Tidak! Tidak lagi!" teriak Gabriel dengan suara serak, matanya menatap lantai dingin dengan amarah yang tak terbendung. Ini adalah rasa malu yang tak bisa dia terima. Bagaimana mungkin, seorang Duke yang begitu berkuasa, tak sanggup berjalan hanya untuk buang air kecil?

Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuhnya setelah jatuh. Setiap tulang dan otot seakan berteriak dalam penderitaan. Tetapi yang paling menyakitkan bukanlah rasa sakit fisik, melainkan kehancuran harga dirinya. Dia ingin bangkit, tetapi tubuhnya menolak. Amarah dan rasa malu bergolak di dalam dirinya, menciptakan badai emosi yang sulit dikendalikan.

Lily, yang mendengar suara jatuhnya Gabriel dari luar ruangan, segera masuk. Wajahnya langsung berubah khawatir saat melihat Gabriel tergeletak di lantai, tubuhnya yang tinggi dan kuat tampak begitu rapuh dalam posisi itu.

"Duke Gabriel!" seru Lily dengan cepat, bergegas mendekat. Tanpa ragu, dia berlutut di samping Gabriel, mencoba menolongnya bangkit. Namun, sebelum tangannya menyentuh tubuh Gabriel, suara dingin dan penuh kemarahan menghentikannya.

"Jangan sentuh aku!" bentak Gabriel, suaranya tajam, hampir menyakitkan. Mata birunya yang biasanya tajam kini dipenuhi oleh api kemarahan dan rasa malu. "Aku tidak butuh bantuanmu!"

Amarah yang Tak Terkendali. Lily terdiam sejenak, namun tetap berada di posisinya. Dia tahu betul bahwa amarah Gabriel bukanlah ditujukan sepenuhnya padanya. Gabriel sedang berperang melawan dirinya sendiri, melawan tubuh yang tak lagi mematuhi perintahnya. Lily menatap Gabriel dengan tenang, meskipun kata-kata kasar yang dilontarkan Duke itu pasti menusuk hatinya.

Cinta dan Kesabaran di Antara SakitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang