Malam itu, Gabriel terbangun dengan napas yang tersengal-sengal. Dadanya terasa sesak, seolah-olah ada beban berat yang menekan jantungnya. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya, namun bukan karena latihan fisik, melainkan karena serangan penyakit yang kerap muncul tanpa peringatan. Suhu tubuhnya mendadak naik, dan rasa sakit mulai merayap dari setiap sendi, membuat seluruh tubuhnya terasa panas dan pegal. Kepalanya berdenyut keras, seperti dipukul berulang kali, membuat penglihatannya berputar. Dia mengepalkan tangan, berusaha menahan rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya, tapi usahanya sia-sia.
"Argh..." erang Gabriel, suaranya bergetar menahan rasa sakit yang semakin tak tertahankan. Seolah-olah ada sesuatu yang merobek dari dalam tubuhnya, menyeretnya ke dalam jurang ketidakberdayaan.
Perasaan frustrasi dan marah meluap dalam dirinya. Setiap kali penyakit ini datang, Gabriel merasa semakin jauh dari dirinya yang dulu—seorang bangsawan yang seharusnya kuat dan tangguh, namun sekarang hanya tersisa cangkang kosong yang rapuh. Ia berusaha duduk di tempat tidurnya, tetapi tubuhnya begitu lemah. Lututnya bergetar, dan ia hanya bisa bersandar lemas, napasnya masih terengah-engah.
Dalam benaknya, rasa takut yang mendalam mulai menyelimuti. Bagaimana mungkin dia bisa menjalankan tanggung jawab sebagai Duke jika setiap detik tubuhnya mengkhianatinya? Bagaimana ia bisa memimpin, melindungi orang-orangnya, jika dia bahkan tidak bisa melawan penyakit yang menyiksa tubuhnya?
Suara pintu terbuka pelan membuyarkan lamunannya. Lily, yang selalu sigap, segera memasuki kamar begitu mendengar suara rintihan Gabriel. Wajahnya menampakkan kekhawatiran, dan dengan cepat ia mendekati Gabriel yang tampak lebih lemah dari sebelumnya.
"Yang Mulia, apa yang terjadi?" tanya Lily dengan nada lembut namun penuh perhatian. Dia melihat kondisi Gabriel yang semakin parah, keringat yang membasahi tubuhnya, dan nafasnya yang berat. Matanya langsung terfokus, mencari tanda-tanda apa yang menyebabkan penderitaan Duke muda itu.
"Ini... sakit... sangat sakit..." Gabriel hampir tidak bisa berbicara, giginya bergetar menahan rasa sakit yang semakin menjalar. Wajahnya memucat, dan dia merasakan sesuatu yang menyeretnya ke ambang pingsan. Rasa panas di tubuhnya terasa semakin tak tertahankan.
Lily segera bertindak, mengambil botol obat dari meja kecil di samping tempat tidur. Dengan tangan cekatan, ia menuangkan cairan ke dalam cangkir kecil dan mendekatkan bibir Gabriel pada cangkir tersebut. "Minumlah ini, Yang Mulia. Ini akan membantu mengurangi rasa sakit."
Dengan susah payah, Gabriel membuka mulutnya dan meminum obat tersebut, meskipun tenggorokannya terasa kering dan perih. Rasa pahit obat itu menyentuh lidahnya, tapi dia tidak peduli. Satu-satunya yang diinginkannya saat ini hanyalah agar rasa sakit itu berhenti.
Lily membantu Gabriel berbaring kembali dengan hati-hati. Dia menarik selimut tebal untuk menutupi tubuh Gabriel yang menggigil, meskipun panas tubuhnya terasa membara. "Anda akan merasa lebih baik dalam beberapa saat," kata Lily, suaranya lembut namun tegas.
Namun, Gabriel tidak bisa mengabaikan perasaan yang menyelimuti hatinya. Di dalam kesunyian itu, saat rasa sakit fisiknya perlahan mereda, dia merasakan sakit lain yang lebih mendalam—sakit yang datang dari rasa tidak berdaya yang semakin membebani jiwanya. Matanya yang tadinya penuh kemarahan kini berubah menjadi kosong, menatap ke arah langit-langit kamar yang tinggi, seolah-olah mencari jawaban dari semua penderitaan ini.
"Kenapa... kenapa aku seperti ini?" suara Gabriel terdengar pelan, lebih seperti bisikan yang lemah daripada pertanyaan. Dia tidak lagi berbicara pada Lily, melainkan pada dirinya sendiri, pada takdir yang seolah-olah menghukumnya tanpa ampun. "Aku seharusnya kuat... aku harus memimpin... tapi... kenapa tubuhku... mengkhianatiku setiap waktu?"
Kata-katanya dipenuhi rasa putus asa. Bagi Gabriel, ini bukan hanya tentang rasa sakit fisik. Ini tentang bagaimana dirinya terjebak dalam tubuh yang terus-menerus melemah, sementara tanggung jawab sebagai Duke—sebagai pemimpin keluarganya—semakin menghimpitnya. Setiap kali penyakitnya datang, ia merasa semakin jauh dari sosok yang ia harapkan bisa ia wujudkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cinta dan Kesabaran di Antara Sakit
Historical FictionDuke Gabriel John Morgan, pewaris tunggal keluarga Morgan, hidup dikelilingi kemewahan namun menderita karena tubuhnya yang sering sakit-sakitan. Sikapnya yang keras dan penuh amarah lahir dari rasa tidak berdaya menghadapi penyakit yang terus-mener...