Bab 16: Keputusan Sulit

104 6 2
                                    

Matahari terbenam, menciptakan nuansa keemasan di ruangan Gabriel. Di luar jendela, suara alam meredup, seolah-olah merasakan ketegangan yang melanda hati pemuda itu. Ia duduk di tepi tempat tidur, dikelilingi oleh buku-buku tentang kepemimpinan, dukedom, dan sejarah keluarga Morgan yang telah menjadi tumpuan hidupnya. Namun, malam ini, semua tulisan tersebut terasa tidak berarti. Pikiran Gabriel terperangkap dalam pertarungan batin yang semakin mendalam.

"Apakah aku siap untuk menjadi duke?" pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya. Setiap kali dia mencoba menjawab, wajah para dewan tetua muncul, menuntut dan menekankan pentingnya kehadirannya sebagai pemimpin. Seiring berjalannya waktu, tekanan dari mereka semakin besar, membuatnya merasa tidak berdaya. Ia ingin memenuhi harapan keluarga dan masyarakat, tetapi kondisi fisiknya yang lemah menjadi penghalang besar.

Gabriel mengingat perbincangan terakhirnya dengan Duke Alistair dan Duchess Eleanor. Keduanya dengan tegas menyatakan dukungan mereka, menekankan bahwa tidak ada yang lebih penting daripada kesehatan dan kebahagiaannya. "Kami tidak ingin kamu terbebani, Gabriel. Fokuslah pada kesembuhanmu," ungkap ibunya dengan nada lembut. Tetapi seiring berjalannya waktu, setiap kalimat tersebut terasa semakin mengancam—seolah-olah mereka hanya menunggu untuk melihat kapan ia bisa bangkit dan memenuhi tanggung jawabnya.

Rasa sakit yang konstan dan ketidakpastian masa depan semakin membebani pikirannya. Dia berusaha memikirkan keputusan apa yang paling baik—apakah ia harus memperjuangkan kesehatan dan kebahagiaannya sendiri, ataukah ia harus segera beradaptasi dengan perannya sebagai duke? Dalam benaknya, seakan terpecah antara dua pilihan: satu sisi ingin menjauh dari semua beban yang menghimpit, dan sisi lainnya mendambakan kehormatan dan tanggung jawab.

Ketika Lily masuk ke dalam ruangan, Gabriel terdiam. Ia melihat gadis itu membawa setumpuk ramuan yang siap diminum. Meski penampilannya ceria, Gabriel tahu bahwa wajahnya tidak bisa menyembunyikan perasaannya yang berat.

"Yang mulia, saya sudah menyiapkan ramuan untuk anda," kata Lily, meletakkan cangkir di samping tempat tidur. "Ini akan membantu anda merasa lebih baik."

Gabriel memandang ramuan tersebut, hatinya dipenuhi rasa bersalah. "Lily," katanya pelan, "apakah kamu pikir aku bisa benar-benar menjadi pemimpin yang baik?"

Lily terdiam sejenak, lalu mendekat. "anda bukan hanya seorang pemimpin, yang mulia. anda adalah diri anda sendiri. Menjadi duke bukan berarti anda harus mengorbankan diri anda. Yang terpenting adalah kesehatan anda. Jika anda tidak merasa siap, tidak ada yang bisa memaksa anda."

Mendengar kata-kata itu, Gabriel merasa seolah terbangun dari lamunan. Rasa sesak di dadanya sedikit mereda. Dia tahu Lily berbicara dengan tulus, tetapi bagaimana jika keputusannya mengakibatkan banyak hal buruk bagi orang-orang yang mencintainya? "Tetapi semua orang mengharapkan aku untuk segera mengambil alih," katanya dengan nada penuh keraguan. "Apa yang akan terjadi jika aku tidak bisa?"

"Kadang, keputusan yang paling sulit adalah yang paling benar," jawab Lily, matanya penuh empati. "anda tidak perlu terburu-buru. Jika ada satu hal yang telah saya pelajari selama ini, adalah bahwa kesehatan anda lebih penting daripada jabatan apa pun."

Kata-kata Lily menggema dalam pikirannya, memberikan sedikit ketenangan. Gabriel tahu bahwa ia harus memilih antara memenuhi harapan orang lain atau mendengarkan hatinya sendiri. Namun, pilihan itu terasa lebih berat dari yang bisa ia bayangkan.

Setelah menghabiskan beberapa saat dalam keheningan, Gabriel memutuskan untuk berbicara dengan orang tuanya lagi. Dia ingin mengungkapkan ketakutannya dan mendiskusikan keputusannya secara terbuka. "Mungkin aku harus berbicara dengan ayah dan ibu," ucapnya, seolah menyadari jalan yang harus dilalui.

Lily tersenyum dan mengangguk, memberikan dukungan penuh padanya. "Itu langkah yang bagus. Ingat, mereka mencintai anda dan hanya ingin yang terbaik untuk anda. anda tidak sendirian dalam perjuangan ini."

Cinta dan Kesabaran di Antara SakitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang