Bab 4: Headshot

736 93 14
                                    

Sekitar setengah jam kemudian, Retna keluar lagi dari rumah. Kali ini Retna keluar dengan menggunakan make-up tipis dan shirtdress berwarna hijau botol yang panjangnya sedikit di bawah lutut. Rambut panjangnya dibiarkan terurai, Retna terlihat lebih mungil karena dia kali ini hanya mengenakan ballet shoes. Seno suka melihat Retna yang seperti ini dengan make up tipis yang membuatnya terkesan tidak terlalu intimidatif. Tetapi dia juga suka Retna yang tadi membuka pintu tanpa make up. Dia juga suka Retna yang menggunakan high heels di kantor.

Seno suka Retna apapun tampilannya.

Seno kira Retna akan masuk kembali ke kursi penumpang, tapi Retna langsung memutar dan membuka pintu pengemudi.

"Ayo, masuk." Kata Retna, setelah dia membuka pintu mobil.

"Kemana?" Tanya Seno

"Masuk ke dalem rumah, lah!" Jawab Retna, "Masa masuk selokan? Kamu mau kerja bakti?"

Seno mengangguk dan menuruti perintah Retna, dia langsung mematikan radionya kemudian keluar dari mobil dan menguncinya. Seno buru-buru menghampiri Retna yang sudah menunggunya di pagar rumah. Tanpa berbicara sepatah katapun, Seno mengikuti Retna masuk ke dalam rumah.

"Duduk." Kata Retna, setelah mereka tiba di ruang tamu. Sekali lagi, Seno menurut dan duduk di ruang tamu, sementara Retna masuk ke dalam rumah. Bingung harus berbuat apa, akhirnya Seno hanya duduk sambil celingukan melihat pernak-pernik yang menghiasi ruang tamu. Tanpa sadar, kedua telapak tangannya mengusap-usap pahanya. Untung saja keheningan ini tidak berlangsung lama, karena kurang dari lima menit kemudian Retna kembali ke ruang tamu.

Retna datang dengan membawa ayahnya.

Seno langsung berdiri dan menjabat tangan ayah Retna. "Siang, Om." Sapa Seno sambil sedikit membungkuk untuk menunjukkan rasa hormat.

"Pak, kenalin ini Mas Seno." Retna memperkenalkan Seno kepada ayahnya. "Mas Seno, kenalin ini bapak aku. Namanya Pak Sularman."

Mas?

Ini bukan pertama kalinya Seno dipanggil 'Mas', juniornya di kantor banyak yang memanggilnya dengan sebutan Mas. Ibu kantin dan mbak-mbak penjaga toko juga biasanya memanggilnya dengan sebutan Mas. Akan tetapi, ini pertama kalinya Retna memanggilnya dengan embel-embel Mas dan Seno baru tahu ternyata imbas panggilan 'Mas' oleh tambatan hati itu rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Seno serasa dibawa terbang ke langit ketujuh hanya karena Retna memanggilnya dengan sebutan Mas. Setelah bersalaman, ayah Retna langsung duduk di sofa yang membelakangi jendela. Retna langsung menempatkan dirinya di sebelah Seno. Seno mungkin masih dalam kondisi terlalu berbunga-bunga sampai-sampai Retna harus menariknya duduk lagi ke sofa.

"Katanya ada yang mau diomongin Mas Seno ke bapak." Lanjut Retna. Retna mendorong bahu Seno agar Seno mengatakan maksud kedatangannya tadi. Tetapi sepertinya pikirannya sedang tidak berada di sini.

"Mas?" Panggil Retna. "Mas Seno?"

Panggilan Retna membuat Seno kembali ke bumi, dia sungguh menyukai namanya dipanggil seperti itu oleh Retna. Harusnya dia merekam suara itu dan menjadikannya nada dering. Atau mungkin panggilan alarm pagi, hari dia pasti akan jauh lebih bersemangat dengan panggilan Mas dari Retna.

"Mas Seno?" Retna sekali lagi memanggil Seno.

"Iya?" Seno akhirnya merespon panggilan Retna

"Katanya ada yang mau diomongin ke bapak." Jawab Ratna, "Ini bapak aku udah nungguin, Mas." Retna langsung melesatkan tembakan tepat ke sasaran. Tidak ada basa-basi, dia langsung menyuruh Seno untuk membuktikan niat datang ke sini.

Cinta itu kubikalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang