Chapter 43 - Hilang Arah

38 4 0
                                    

"Mas tutup telfonnya kalau kamu nangis."

~ Baskara Aji Sukma ~

Tarunika tidak pernah membayangkan program kerja bedah buku yang ia pimpin akan menguras begitu banyak energi dan emosi. Drama proposal itu terasa seperti badai, tetapi kini, di tengah pelaksanaan acara yang tinggal menghitung hari, ia merasa tenggelam dalam tekanan. Selama lima hari berturut-turut, Tarunika menjalani aktivitasnya dengan emosi yang begitu mudah meledak. Amara dan Ruhi bahkan beberapa kali saling bertukar pandang, menyadari perubahan yang terjadi pada sahabat mereka. Tarunika, yang biasanya tenang dan sabar, kini mudah tersinggung hanya karena hal-hal kecil. Namun, meski semua orang melihatnya, Tarunika sendiri tidak menyadari betapa berantakannya emosinya belakangan ini.

Puncaknya tiba di hari acara bedah buku. Di tengah keramaian dan hiruk-pikuk acara, Dewi, kakak tingkatnya itu tiba-tiba meminta Tarunika untuk menyelesaikan Laporan Pertanggungjawaban di sela-sela tugas yang menumpuk. Saat itu, tanpa memikirkan status Dewi sebagai kakak tingkat, Tarunika meledak. 

"Mbak, gue rasa lo nggak lupa sama jobdesk lo, ya?  Gue sudah cukup membantu di pembuatan proposal yang berantakan kemarin. Dan sekarang kalau gue yang harus selesaikan LPJ-nya, buat apa ada sekretaris departemen?"

Suara marahnya memenuhi ruangan kecil di belakang panggung, mengejutkan semua yang ada di sana. Tarunika tak lagi peduli—ia sudah terlalu lelah.

Hari itu, kemarahannya tidak hanya meledak pada Dewi. Arjun, yang selama ini absen dalam perencanaan proker, tiba-tiba muncul di acara, tetapi terlambat. Belum lagi, laki-laki itu meminta izin untuk meninggalkan acara lebih awal, meskipun masih banyak pekerjaan yang belum diselesaikan. Itu seperti menyulut api dalam dirinya. "Apa gunanya lo datang kalau hanya mampir dan pergi padahal acara belum selesai? Paling engga lakukan sesuatu yang berguna sekarang, Jun," ujar Tarunika dengan nada dingin dan tajam, membuat Arjun terdiam.

Sebelum kejadian itu pun, Tarunika sudah selimuti kemarahan. Ketika Nandika menolak menjadi moderator di menit terakhir, Tarunika merasa kesabarannya benar-benar habis. Ia tidak peduli lagi dengan segala basa-basi atau rasa sungkan. Setelah hari yang penuh kekacauan itu, Tarunika pulang ke apartemennya dengan kepala penuh.

Namun, di balik kemarahan itu, saat ia merebahkan diri di sofa unitnya, ada rasa hampa yang tiba-tiba datang. Tarunika menyadari sesuatu yang penting—ada yang salah dengan dirinya. Semua kemarahan itu, emosi yang tak terkendali, adalah cerminan dari sesuatu yang lebih dalam. Sambil memejamkan mata, ia teringat kata-kata Baskara yang pernah diucapkan beberapa hari yang lalu. 

"Kamu selama ini terlalu kasihan pada orang yang salah," ujar Baskara. Ia mengingat betapa seringnya ia menahan diri, menuruti keinginan orang lain meski membuat dirinya sendiri keteteran.

Sekarang, setelah berani menyuarakan kemarahannya, Tarunika menyadari bahwa itu tidak seburuk yang ia pikirkan. Mungkin ini adalah bentuk pembebasan yang selama ini ia butuhkan. 

Namun, saat ia semakin dalam merenungi hal itu, muncul rasa kesal lain—Baskara sendiri belakangan ini semakin jarang menghubunginya. Hubungan mereka yang dulu begitu dekat kini terasa jauh. Semua emosi yang berkecamuk akhirnya membawa Tarunika pada satu kesadaran. Ini bukan hanya tentang orang lain, ini tentang dirinya. Akhir-akhir ini, emosinya begitu tidak stabil karena ia menahan terlalu banyak perasaan—termasuk perasaannya pada Baskara.

*** 

Pagi itu, Tarunika terbangun lebih awal dari biasanya. Semalam ia langsung tertidur setelah membersihkan diri, berharap dapat mengusir sejenak pikirannya yang sesak. Namun, pagi ini, pikiran itu kembali menghantui. Ia memutuskan untuk berlari santai di taman apartemennya, mencoba melepaskan segala keresahan di hatinya. Taman kecil itu tidak terlalu ramai, seperti biasa. Hanya ada beberapa orang yang tengah berolahraga, dan Tarunika tetap merasa sendiri. Langkahnya terus teratur selama hampir tiga puluh menit, hingga perlahan ia memperlambat larinya saat melewati ayunan yang familiar.

Mari Saling BerterimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang