Chapter 41 - Berkilah

26 3 0
                                    

"Aku kehujanan, nggak bawa payung."

~ Tarunika Mega Tara ~

My Luv

Mas
Aku baru selesai kelas ini, mau ke kantin makan sama Amara Yui

Mas udah makan?

Baskara duduk di meja kerjanya, mencoba mengalihkan pikirannya pada tumpukan pekerjaan yang seolah menuntut perhatiannya. Namun, semua terasa kosong. Suapan nasi dari bekal yang ia bawa dari rumah hanya sekadar lewat di tenggorokannya, tanpa rasa. Ia terus menatap layar ponselnya, membaca pesan dari Tarunika yang masuk lebih dulu, seperti hari-hari sebelumnya.

Hati Baskara tergores, seolah ada luka yang tak kunjung sembuh. Ia masih ingat jelas percakapannya dengan Zaki pagi itu. Adik sepupunya datang menemuinya. Zaki, dengan raut wajah penuh kebimbangan, menceritakan pertemuannya dengan Tarunika.

"Mbak Tarunika bilang, dia pengen menyelesaikan semuanya, Mas," ujar Zaki pelan, tetapi ucapannya terasa seperti gemuruh dalam dada Baskara.

Kalimat itu menggema dalam pikirannya, menghantam sekeras batu. Baskara tak pernah membayangkan bahwa perempuan yang ia perjuangkan mati-matian, melawan semua keluarganya demi cinta mereka, justru kini ingin mengakhiri hubungan.

Ia marah. Bukan hanya pada Tarunika, tapi juga pada dirinya sendiri. Kemarahannya semakin membesar ketika Mama menyampaikan hal yang sama, bahwa Tarunika telah setuju untuk berpisah. Baskara merasa sia-sia, merasa bodoh karena selama ini yang ia kejar hanyalah bayang-bayang. Semua usahanya, setiap argumen yang ia lontarkan pada keluarganya, terasa sia-sia.

Kini, Baskara benar-benar merasa sendiri. Semuanya seakan kehilangan makna. Setiap kali memikirkan Tarunika dan segala yang mereka lalui, kepalanya terasa ingin pecah. Namun, meski amarah dan kekecewaannya membelenggu, ia masih tetap membalas pesan Tarunika. Balasan singkat yang tidak lagi sehangat dulu. Baskara tidak pernah lagi menghubungi lebih dulu dalam dua hari terakhir, tapi ia tak pernah mengabaikan Tarunika sepenuhnya. Meski hatinya hancur, bagian kecil dari dirinya masih ingin memperjuangkan apa yang tersisa.

Baskara mengetik balasan seadanya, tanpa semangat. Jari-jarinya bergerak otomatis, sedangkan pikirannya melayang jauh. Di satu sisi, ia masih berharap Tarunika berubah pikiran, tetapi di sisi lain, ia semakin ragu apakah perjuangannya masih berarti.

***

Tarunika memasuki bus kota dengan langkah yang berat. Hujan tipis di luar seakan mencerminkan hatinya yang mendung. Meski tadi pagi ia sudah bertekad menghadapi hari dengan semangat, senyum yang ia pasang sepanjang hari terasa hambar. Bertemu banyak orang, mencoba terlihat baik-baik saja, ternyata jauh lebih melelahkan daripada yang ia bayangkan. Ini bukan soal lelah fisik, melainkan perasaan yang tak henti-hentinya menggerogoti pikirannya.

Di dalam bus, Tarunika harus berdiri karena tempat duduk bus penuh. Memandangi kaca pintu bus yang berembun. Ia merasa semakin jauh dengan Baskara. Dua hari ini mereka tak bertemu, dan seolah ada dinding yang makin tinggi di antara mereka. Baskara terasa begitu sulit untuk digapai, bagaikan sosok yang perlahan menjauh, terlepas dari genggamannya. Tarunika mengakui, dialah yang mengecewakan Baskara. Ia tidak bisa menyangkal, kepercayaan di antara mereka mulai terkikis. Namun, demi Tuhan, ia sama sekali tidak pernah berniat untuk mengecewakannya. Tarunika hanya terlalu rumit dengan segala ketakutannya sendiri-terlalu sering membuat asumsi yang malah memperkeruh keadaan.

Keadaan ini semakin kacau dan pelik. Tarunika diam, begitu juga Baskara. Kata-kata yang seharusnya terucap mengendap begitu saja di hati mereka, hingga menimbulkan kesalahpahaman. Tarunika tahu, Baskara memilih diam karena tidak ingin membebaninya. Ia sangat menghargai hal itu. Tapi justru itulah yang selama ini membuat Tarunika resah. Ia merasa tidak tahu apa pun. Baskara menutupi sesuatu, dan ia kalut dalam ketidaktahuan. Sungguh, rasa tidak tahu itu lebih menyiksa daripada mengetahui hal yang paling menyakitkan sekalipun.

Mari Saling BerterimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang