Chapter 35 - Kacau

18 2 0
                                    

"Iya, aku seperti orang bodoh yang nggak pernah tahu apa yang Mas alamin dan Mas rasakan."

~ Tarunika Mega Tara ~

Tarunika terjaga sepanjang malam di sofa panjang ruang tamunya. Gelisah, ia terus memandangi ponsel yang tergeletak di sampingnya, seakan mencari sesuatu yang bisa menenangkannya. Dengan jari-jari yang sedikit gemetar, ia mengetuk layar ponselnya dua kali, hanya untuk melihat cahaya singkat yang kemudian padam kembali. Cahaya itu datang dan pergi, berulang-ulang, seperti denyut cemas yang tak kunjung reda di dalam dadanya. Matanya lelah, tetapi pikiran yang kalut tak mengizinkannya untuk terlelap. Ia juga berharap nama Baskara muncul di layar ponselnya untuk menemani malam panjang itu. 

Apa gue telfon aja? pikirnya, sambil terus mengetuk layar ponselnya. Nggak. Kayak nggak tahu diri banget gue kalau misalnya telfon Mas Baskara. Setelah gue marah-marah dan ninggalin dia gitu aja? Bahkan dia belum ngasih kabar. Nggak, gue nggak akan chat lebih dulu.

Tarunika mengubah posisinya bebrapa kali dan mulai menyadari hari sudah berganti ketika sinar matahari mulai menyelinap melalui celah-celah gorden, Tarunika akhirnya menyerah pada malam yang panjang itu. Ia bangkit dari sofa dengan tubuh yang terasa berat dan letih. Melangkah menuju kamar, ia disambut oleh pemandangan yang tak kalah kacau—ruangan yang berantakan, seolah mencerminkan suasana hatinya. Dengan napas panjang, ia mulai merapikan segala sesuatunya. Menghindari pecahan kaca lampu tidurnya. Ia Memungut bantal dan gulingnya yang ia lempar ke sembarang arah kemarin malam. Tarunika melepas alas kaki, ia naik di kasurnya dan merapikan selimutnya. Setelah selesai ia turun dari kasur, lalu menjejak lantai ia memundurkan langkahnya dan sesuatu benda tajam menusuk telapak kakinya. Ia mengaduh kesakitan. Ia duduk di tepi kasur, melihat kakinya yang mulai berdarah. Ia tidak melakukan apa pun, hanya menatapnya. 

Tiba-tiba memori yang menyelinap di kepala Tarunika secara tiba-tiba. Saat itu, ia sedang lari pagi dengan Baskara, saat ia mengejarnya kakinya tersandung dan berakhirlah memar karena terkena sesuatu benda yang keras. Beruntungnya tidak terkilir. Dan Baskara panik sekali. Setelah sampai di rumah, kaki Tarunika bengkak. Ia berniat mengompresnya, tetapi Baskara melarangnya. Ia memberikan nasihat untuk membiarkan kakinya hingga 24 jam, barulah bisa dikompres. Bayang-banyang kepanikan wajah laki-kali itu tergambarkan kembali. Ketika ia tengah duduk di hadapan Tarunika dan melihat keadaan kakinya saat itu. Ketika ia mendongak untuk memastikan bahwa Tarunika baik-baik saja.

Dan gilanya semuanya terputar dengan jelas. Ia berharap Baskara ada di sini, membantunya. Satu air mata menetes di pipinya. Entah karena perih atau ia yang merindukan kehadiran Baskara.

Tarunika mendongak. Matanya tertuju pada laptopnya yang masih dalam keadaan terbuka di atas meja. Ia teringat sesuatu. Dengan langkah tertatih, ia menghampiri meja belajarnya. Menekan tombol power. Namun, tidak menyala. Ia menggeleng cepat. "Nggak, nggak!"

Ia baru ingat bahwa semalam ia sedang merevisi tugasnya, dan lampu kamarnya padam. Oke, tubuhnya melemas. Laptopnya tidak menyala, dan itu artinya tugasnya hilang karena ia belum sempat menyimpan. Tarunika menatap layar yang mati itu dengan perasaan hampa. Seluruh kerja kerasnya hilang begitu saja. Ia terduduk di tepi kasur, merasakan kelelahan yang lebih dari sekadar fisik. Napasnya berat, seperti beban yang tak terlihat tapi tak tertahankan.

"Harus banget sakitnya bareng-bareng gini, ya?" gumamnya lemas.

Pagi itu, Tarunika memulai harinya dengan membersihkan diri dan mengobati luka di kakinya sebisanya. Meski sudah merawatnya sendiri, ia memutuskan untuk pergi ke klinik kampus agar lebih yakin. Dokter di klinik menenangkannya, mengatakan bahwa lukanya tidak dalam, lalu membalutnya dengan hati-hati. Setelah itu, Tarunika langsung menuju perpustakaan. Ada tugas yang menanti, dan waktu yang tersisa begitu singkat.

Mari Saling BerterimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang