2

100 23 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Matahari sore mulai meredup, menyelimuti halaman belakang rumah dengan cahaya lembut oranye. Daren, kakak tertua dari Rian dan Hanif, baru saja pulang sekolah. Ia masih mengenakan seragam putih merahnya, sepatu yang penuh debu akibat permainan di lapangan sekolah, tapi wajahnya tampak penuh semangat. Daren baru saja naik ke kelas 4 SD dan menjadi anak kebanggaan di keluarga kecil mereka. Sore itu, seperti biasa, ia mengajak adik-adiknya bermain di halaman belakang.

Hanif dan Rian yang baru berusia empat tahun berlarian di sekeliling kakaknya. Daren mencoba menghibur mereka dengan menggelindingkan bola ke segala arah. Tawa Hanif memenuhi udara, sementara Rian hanya duduk di dekat ayunan, memperhatikan mereka dari kejauhan.

“Ayo, Hanif! Kejar bolanya!” seru Daren penuh semangat, sambil menendang bola ke arah Hanif.

Hanif berlari dengan cepat, tertawa bahagia saat mengejar bola. Namun, Rian hanya diam di tempat, merasa sedikit terasing. Dia ingin ikut bermain, tapi entah kenapa, kakinya terasa berat untuk melangkah. Setiap kali ia mencoba mendekat, ia selalu merasa bahwa tempatnya tidak ada di permainan itu.

Rian akhirnya mengumpulkan keberanian dan mendekati mereka. “Kakak, aku juga mau main,” ujarnya pelan, matanya tertuju pada bola yang terus digulirkan antara Daren dan Hanif.

Daren melirik Rian sekilas, senyumnya sedikit meredup. "Oh, Rian... Tapi kan kamu nggak suka lari-lari. Kamu kan nggak secepat Hanif," katanya sambil tersenyum canggung.

Rian merasa kecewa, tapi ia mencoba tetap tersenyum. "Aku bisa coba kok, Kak. Aku juga mau ikut."

Namun, sebelum Rian bisa mendekat lebih jauh, tiba-tiba Hanif terjatuh. Ia tersandung saat mencoba mengejar bola, dan jatuh cukup keras ke tanah. Tangisan langsung pecah dari bibir Hanif, tangisan khas anak kecil yang kesakitan. Rian terdiam, matanya melebar melihat kejadian itu, tidak tahu harus berbuat apa.

"Aduh! Hanif! Kamu nggak apa-apa?" Daren langsung berlari ke arah Hanif, memeriksa luka di kakinya yang berdarah.

Hanif menangis semakin kencang. “Sakit, Kak! Kakiku sakit!”

Rian berdiri mematung, tak berani bergerak mendekat. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan. Hanya satu yang ia tahu, ia tidak menyentuh Hanif sama sekali. Ia hanya ingin bergabung dan bermain, tapi entah mengapa, ia merasa seolah semua akan salah ketika ia mencoba terlibat.

Saat itu, Weni keluar dari dalam rumah, tergesa-gesa menuju halaman belakang setelah mendengar tangisan Hanif. “Hanif, ada apa, Nak? Kenapa menangis?” tanyanya panik.

Daren mencoba menjelaskan, “Hanif jatuh, Ma. Dia nggak sengaja tersandung bola.”

Namun, mata Weni dengan cepat tertuju pada Rian yang berdiri sedikit jauh dari tempat kejadian. Wajahnya berubah menjadi lebih serius, hampir marah. “Rian, apa yang kamu lakukan? Kamu bikin Hanif jatuh?”

Rian yang masih terdiam, langsung menggeleng keras. “Nggak, Ma... Aku cuma mau main... Aku nggak bikin Hanif jatoh...”

“Jangan bohong, Rian!” bentak Weni sambil menggendong Hanif yang masih menangis. “Setiap kali ada sesuatu yang terjadi, kamu pasti ada di situ! Kenapa kamu nggak bisa diam saja? Kenapa kamu harus selalu bikin masalah?”

Air mata Rian mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu kenapa ibunya langsung menuduhnya. Ia tidak tahu kenapa, tapi setiap kali sesuatu yang buruk terjadi, dialah yang selalu disalahkan.

“Aku nggak bikin Hanif jatuh, Ma,” ucap Rian dengan suara bergetar, mencoba menahan tangisnya. “Aku cuma mau ikut main... Aku nggak apa-apain Hanif.”

Namun, Weni tidak mendengarkan. Ia menyeret Rian masuk ke dalam rumah, meninggalkan Daren di halaman belakang dengan Hanif di pangkuannya. Tangannya mencengkeram erat lengan kecil Rian, menariknya ke ruang tengah. Rian hanya bisa mengikuti, tubuhnya terlalu kecil untuk melawan.

Sesampainya di dalam rumah, Weni menempatkan Rian di depan sofa. “Kamu nggak boleh menyakiti adikmu, Rian! Hanif itu masih kecil, dia lebih lemah dari kamu! Kamu harus jaga dia, bukan malah bikin dia terluka!”

Rian hanya bisa menatap lantai, air mata mulai menetes ke pipinya. “Aku nggak apa-apain Hanif, Ma... Aku cuma mau ikut main...” ucapnya pelan.

“Sudah! Jangan cari alasan lagi! Kamu selalu bikin Hanif nangis. Selalu kamu yang bikin masalah. Kenapa kamu nggak bisa diam saja?” suara Weni semakin keras, sementara Rian semakin menunduk, tubuh kecilnya bergetar.

Cahyo, yang baru saja pulang kerja, mendengar keributan itu dari pintu depan. Ia masuk dengan wajah lelah, tapi segera tertegun melihat Rian yang menangis di hadapan ibunya. “Ada apa ini? Kenapa Rian menangis?”

“Hanif jatuh di halaman belakang, dan aku yakin ini gara-gara Rian!” jawab Weni tegas, matanya masih memandang Rian dengan kecewa. “Setiap kali, selalu saja Rian yang bikin masalah.”

Cahyo mendekati Rian, membungkuk agar sejajar dengan putranya yang menangis terisak. “Rian, apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak cerita sama Papa?”

Rian mengangkat wajahnya yang basah dengan air mata. “Aku nggak apa-apain, Pa... Aku cuma mau main. Aku cuma nonton. Hanif jatuh sendiri...” ujarnya dengan suara serak, berharap kali ini ada yang mempercayainya.

Cahyo menatap Rian dengan lembut, lalu menoleh ke arah istrinya. “Wen, mungkin Rian memang tidak sengaja. Dia masih kecil. Jangan langsung menuduh tanpa tahu pasti apa yang terjadi.”

Weni menghela napas panjang, tangannya memijat pelipisnya dengan frustrasi. “Tapi kenapa setiap kali ada sesuatu yang buruk terjadi, Rian selalu ada di situ, Yo? Aku capek harus mengurus semuanya. Hanif sakit, dan sekarang ini lagi-lagi masalah dengan Rian.”

Cahyo berdiri, menatap Rian dan Weni bergantian. “Mungkin kita terlalu keras sama Rian, Wen. Dia juga butuh perhatian, sama seperti Hanif. Kalau kita terus-menerus menyalahkannya, dia bisa tumbuh dengan perasaan tidak di hargai.”

Weni terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia mendekati Rian, meskipun wajahnya masih menunjukkan sedikit kekesalan. “Rian... Mama nggak bermaksud marah sama kamu. Mama cuma... Mama cuma khawatir. Kamu ngerti kan?”

Rian tidak menjawab. Ia hanya mengangguk pelan. Ia tidak mengerti mengapa ia selalu menjadi pihak yang disalahkan, meskipun ia tidak melakukan apa-apa. Setiap kali ada masalah, seolah-olah dunia ini menudingnya tanpa ampun.

“Sudah, kamu pergi ke kamar dulu. Nanti Mama panggil kalau sudah selesai urus Hanif,” kata Weni akhirnya, dengan nada yang lebih tenang, meskipun masih ada jejak kekesalan di suaranya.

Rian mengangguk lagi, lalu berlari kecil menuju kamarnya. Di sana, ia duduk di sudut tempat tidur, memeluk lututnya sendiri. Air matanya terus mengalir tanpa henti. Ia merasa sendirian, meskipun ada banyak orang di rumah itu.

Sementara itu, di ruang tamu, Cahyo menghela napas panjang, duduk di sofa dengan lelah. “Wen, kita harus hati-hati dengan Rian. Dia bisa merasa tidak disayangi kalau kita terus memperlakukannya seperti ini.”

Weni hanya mengangguk perlahan, sambil membalut luka di kaki Hanif. “Aku tahu, Yo. Tapi entah kenapa, setiap kali Hanif terluka, Rian selalu ada di dekatnya. Aku hanya takut... takut dia tidak bisa menjaga adiknya.”

Cahyo menatap istrinya dengan lembut. “Rian hanya anak kecil. Dia masih belajar, Wen. Kita harus lebih sabar.”

Weni tidak menjawab, hanya menatap ke arah kamar Rian dengan pikiran yang bercampur aduk.

Di dalam kamar, Rian masih menangis pelan, mengusap air matanya sendiri. Di usianya yang baru empat tahun, ia sudah merasakan sesuatu yang tidak bisa ia pahami—sebuah perasaan tidak adil yang perlahan-lahan menumbuhkan luka di hatinya.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang