11

77 17 0
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Pagi itu, matahari belum sepenuhnya muncul dari peraduannya. Cahaya hangatnya masih merayap perlahan di balik pepohonan di luar jendela rumah. Rian dan Hanif sedang bersiap-siap ke sekolah. Seperti biasa, Rian bangun lebih dulu untuk membantu Hanif menyiapkan barang-barang sekolahnya. Namun, pagi itu, ada sesuatu yang berbeda.

"Rian, mana bekalku?" tanya Hanif, dengan wajah kebingungan ketika melihat tasnya.

Rian yang sedang merapikan sepatu adiknya, mendongak. "Apa? Kamu lupa bawa bekal lagi, Hanif?"

Hanif mengangguk pelan, wajahnya terlihat agak panik. "Iya, aku lupa naruh di tas, tadi buru-buru banget."

Rian menatap Hanif sejenak, sebelum akhirnya ia membuka tasnya sendiri dan mengeluarkan bekal yang sudah disiapkan ibunya sejak pagi. Dia tahu apa yang akan terjadi kalau Hanif tidak membawa bekal. Pasti adiknya akan merasa lapar di sekolah, dan Rian tidak ingin itu terjadi. Sebagai kakak, Rian selalu merasa harus bertanggung jawab lebih besar, meski sering kali itu berarti mengorbankan dirinya sendiri.

"Ini, kamu pakai punyaku aja," kata Rian sambil menyerahkan kotak bekalnya kepada Hanif.

Hanif terkejut. "Hah? Tapi, kamu gimana? Kamu nggak akan bawa bekal?"

Rian tersenyum kecil, mencoba menenangkan adiknya. "Nggak apa-apa. Nanti aku bisa makan di kantin, atau tunggu sampai pulang sekolah."

Hanif masih tampak ragu, tetapi akhirnya menerima bekal itu juga. "Makasih, Rian," ucapnya pelan.

"Sama-sama," balas Rian, sambil menepuk kepala adiknya dengan lembut. Meski dalam hatinya, ia tahu bahwa ini bukan pilihan yang ideal. Maag-nya sering kali kambuh jika ia telat makan, tetapi ia lebih memilih melihat Hanif baik-baik saja.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Rian merasa ada sesuatu yang aneh di perutnya. Maag-nya sudah mulai terasa sejak pagi, tetapi ia mencoba mengabaikannya. Ia berjalan di samping Hanif, memastikan adiknya sampai di kelas dengan aman. Namun, sepanjang hari itu, rasa nyeri di perutnya semakin menjadi-jadi.

Ketika bel sekolah berbunyi tanda istirahat, Rian berusaha keras untuk tetap terlihat baik-baik saja. Tapi rasa sakit di perutnya semakin parah. Ia mencoba duduk di sudut kelas, memegang perutnya sambil mengatur napas. Hanif, yang biasanya makan bersama di halaman sekolah, tidak menyadari bahwa kakaknya sedang menahan rasa sakit yang luar biasa.

Rian berusaha tetap tersenyum ketika Hanif kembali dari kantin. Tapi tubuhnya semakin lemas, dan pandangannya mulai kabur. Ia tahu ini bukan pertanda baik.

Keesokan harinya, Rian benar-benar tak mampu bangun dari tempat tidur. Tubuhnya terasa berat, kepalanya pusing, dan perutnya masih terasa perih. Ia mencoba membuka matanya, tapi cahaya matahari yang masuk melalui jendela membuatnya semakin pusing. Ia merasakan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya.

"Rian, bangun. Ini udah mau telat," suara Weni, mamanya, terdengar dari balik pintu. Tangan Weni mengguncang bahu Rian dengan sedikit keras, membuat anak itu tersentak.

Rian mengerang pelan, suaranya lemah. "Ma... aku nggak bisa bangun. Perutku sakit banget..."

Namun, Weni hanya mendengus, dengan wajah penuh ketidakpercayaan. "Jangan malas, Rian. Ayo bangun! Kamu cuma pura-pura sakit, ya? Karena kemarin lupa makan siang? Ini bukan alasan buat bolos."

Rian menggeleng pelan, mencoba menjelaskan. "Nggak, Ma... aku beneran sakit. Perutku perih banget, kayak ditusuk-tusuk."

Tapi Weni tetap tidak percaya. "Hah, kamu itu udah mulai kebiasaan cari alasan aja buat nggak sekolah. Jangan bikin Mama marah. Udah, cepat bangun, atau nanti kamu ketinggalan pelajaran."

Rian merasakan sakit di hatinya lebih dalam dari sakit di perutnya. Ia tahu, meskipun sudah berusaha keras, ibunya tak pernah benar-benar mendengarkannya. Dengan susah payah, ia mencoba bangun dari tempat tidur, tapi kakinya terasa lemas. Ia terjatuh kembali ke kasur, wajahnya pucat pasi.

Melihat itu, Weni mendekat, menatap Rian dengan lebih serius. "Rian? Kamu benar-benar sakit?" tanya Weni, suaranya kini mulai terdengar lebih khawatir, meski masih ada nada curiga di sana.

Rian hanya mengangguk lemah, matanya hampir tak bisa terbuka. "Aku nggak bisa jalan, Ma... sakit banget..."

Weni akhirnya menghela napas panjang, merasa bingung. "Tunggu di sini, Mama panggil Papa."

Cahyo datang tak lama setelah dipanggil oleh Weni. Ia melihat Rian yang terbaring lemah di atas tempat tidur dengan wajah penuh kebingungan. "Ada apa ini, Wen?"

Weni menatap Cahyo dengan raut wajah yang campur aduk antara khawatir dan kesal. "Rian katanya nggak bisa bangun. Perutnya sakit katanya. Aku nggak tahu ini beneran apa enggak, tapi kelihatannya sih..."

Cahyo berjalan mendekat dan meraba dahi Rian. "Dia panas, Wen. Ini nggak kayak anak yang pura-pura sakit."

Rian tetap diam, tak ingin memperpanjang pembicaraan. Ia hanya ingin rasa sakit ini segera hilang. Cahyo menatap Weni lagi, kali ini dengan ekspresi serius. "Bawa dia ke dokter. Kalau begini terus, nanti malah tambah parah."

Weni akhirnya mengangguk, meski jelas terlihat bahwa ia masih sedikit ragu. Ia lalu membantu Rian bangkit dari tempat tidur dan membawanya ke dokter. Sepanjang perjalanan, Rian merasa tubuhnya semakin lemas, sementara rasa sakit di perutnya semakin tak tertahankan.

Sesampainya di klinik, dokter memeriksa Rian dengan teliti. Setelah beberapa saat, dokter itu menggeleng pelan. "Ini gejala maag yang cukup serius. Mungkin dia telat makan atau bahkan tidak makan sama sekali kemarin?"

Cahyo menoleh ke Weni dengan tatapan yang penuh tanya. "Kamu kasih makan Rian kemarin, kan?"

Weni, yang kini merasa bersalah, mengangguk pelan. "Iya, aku kasih. Tapi... mungkin dia nggak makan bekalnya di sekolah. Aku juga nggak tahu."

Rian, yang mendengar pembicaraan itu, hanya bisa tersenyum lemah. Ia tahu penyebabnya, tapi tak ingin mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. Baginya, mengalah untuk Hanif adalah hal yang sudah biasa, meski sering kali itu berarti ia harus mengorbankan dirinya sendiri.

Dokter memberikan beberapa obat dan menyarankan agar Rian banyak beristirahat serta makan dengan teratur. Setelah itu, mereka kembali ke rumah. Sesampainya di rumah, Rian langsung menuju kamarnya dan berbaring, tubuhnya terasa begitu lelah.

Di sisi lain, Weni masih terlihat gelisah. Meski sebelumnya ia marah dan mengira Rian hanya berpura-pura, kini ia merasa bersalah. Namun, rasa bersalah itu tidak ditunjukkan melalui kata-kata atau tindakan nyata. Ia hanya diam, sibuk dengan pikirannya sendiri, sementara Rian terus berjuang melawan rasa sakitnya dalam kesendirian.

Malam itu, sebelum tidur, Weni masuk ke kamar Rian dan duduk di samping tempat tidurnya. "Rian, kamu beneran sakit ya? Maaf kalau Mama tadi nggak percaya sama kamu."

Rian, yang matanya setengah terbuka, mengangguk pelan. "Iya, Ma. Aku nggak bohong."

Weni terdiam, merasa semakin bersalah. Tapi, seperti biasa, ia tak mampu mengungkapkan perasaan itu dengan baik. "Ya udah, istirahat ya. Besok jangan lupa makan tepat waktu. Mama nggak mau lihat kamu sakit lagi."

Rian hanya mengangguk lagi, menutup matanya perlahan. Di dalam hatinya, ia berharap besok akan lebih baik, meski ia tahu, kenyataannya mungkin tak akan jauh berbeda.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang