6

104 21 1
                                    

[💕HAPPY READING 💕]
[✨Jangan lupa untuk berikan vote dan juga comment✨]

Pagi itu, suasana di rumah Weni dan Cahyo sedikit kacau. Rian dan Hanif yang seharusnya sudah berangkat ke sekolah sejak pukul 6:30 masih sibuk bersiap. Keduanya tidak terbangun karena alarm yang tidak berbunyi, dan kini mereka harus bergegas.

"Hanif, cepetan!" Rian berteriak dari depan pintu kamar sambil memegang tasnya. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan cemas.

"Iya, bentar, perutku sakit," balas Hanif yang masih merasa tidak enak badan. Sudah beberapa hari ini Hanif sering mengeluh sakit perut dan kepalanya terasa berat. Weni sudah memperingatkan bahwa kalau masih sakit, ia harus izin dari sekolah, tapi Hanif tetap ingin masuk hari ini karena ada ulangan.

Akhirnya, setelah beberapa menit berlalu, Hanif keluar dari kamarnya dengan wajah pucat.

"Kamu yakin bisa masuk, Hanif?" tanya Rian, ragu melihat kondisi adiknya. "Kalau nggak kuat, bilang aja, aku temenin kamu di rumah."

Hanif hanya mengangguk pelan, berusaha menyembunyikan rasa sakit di perutnya. "Aku nggak apa-apa. Cuma sedikit pusing, nanti juga hilang."

Tanpa berpikir panjang, Rian dan Hanif buru-buru keluar rumah, menyapa singkat orang tua mereka yang sedang sarapan di meja makan.

"Kalian udah telat! Kenapa nggak bangun lebih pagi?" seru Weni ketika melihat kedua anaknya berlari ke arah pintu.

"Kami kesiangan, Ma! Alarmnya nggak bunyi!" balas Rian sambil bergegas mengunci pintu.

Di sekolah, suasana pagi itu sudah dimulai dengan upacara bendera. Ketika Rian dan Hanif akhirnya tiba, mereka terlambat hampir 20 menit. Begitu masuk ke halaman sekolah, mereka langsung disambut oleh Pak Herman, guru olahraga yang terkenal tegas.

“Kalian terlambat lagi?” suara Pak Herman terdengar dingin saat melihat kedua bocah itu. "Ini sudah yang keberapa kalinya bulan ini?"

Rian dan Hanif saling pandang dengan cemas. Mereka tahu hukuman apa yang biasanya diberikan Pak Herman untuk murid yang terlambat.

"Maaf, Pak. Kami nggak sengaja," ujar Rian, mencoba memberi alasan, tapi Pak Herman sudah mengangkat tangannya.

“Tidak ada alasan kali ini. Sebagai hukuman, kalian harus berlari sepuluh kali mengelilingi lapangan sekolah. Mulai sekarang,” ucap Pak Herman dengan tegas.

Hanif yang kondisinya memang tidak fit langsung terlihat cemas. Rian menatap adiknya, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Pak, Hanif lagi nggak enak badan. Saya aja yang lari untuk kami berdua," usul Rian dengan cepat. Ia tidak ingin adiknya yang sudah sakit harus menjalani hukuman fisik.

Pak Herman menatap mereka berdua sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, Rian, kamu lari sepuluh putaran untuk kalian berdua. Tapi kalau Hanif pingsan atau jatuh sakit lebih parah, itu tanggung jawabmu."

Rian merasa lega mendengar persetujuan itu. Ia menoleh ke Hanif yang berdiri di sampingnya. "Kamu duduk aja di pinggir lapangan, ya. Aku yang lari."

Hanif mengangguk pelan. Ia tahu tubuhnya tidak kuat untuk berlari sejauh itu. Dengan langkah lemas, ia berjalan ke bangku yang ada di tepi lapangan, sementara Rian mulai berlari. Satu putaran, dua putaran, Rian berlari dengan cepat. Nafasnya mulai terasa berat, tapi ia terus memaksa tubuhnya untuk bertahan. Sambil berlari, ia sesekali menoleh ke arah Hanif yang duduk di bangku.

Namun, di putaran keenam, Hanif mulai merasa semakin pusing. Tubuhnya terasa semakin lemas, dan pandangannya mulai kabur. Ia mencoba memanggil Rian, tapi suaranya terlalu lemah. Tidak ada yang memperhatikan saat tubuhnya perlahan ambruk ke tanah.

Di tengah lapangan, Rian yang fokus pada hukuman lari tidak menyadari apa yang terjadi pada adiknya. Hanya terdengar suara langkah kakinya yang semakin berat menapak di atas tanah. Namun, tiba-tiba teriakan dari tepi lapangan membuatnya berhenti.

“Hanif pingsan!” teriak salah satu guru yang sedang berjalan melewati lapangan.

Rian langsung menghentikan langkahnya. Ia menoleh dengan panik ke arah Hanif yang kini tergeletak di tanah. Tanpa berpikir panjang, ia berlari ke arah adiknya, dadanya bergemuruh keras, napasnya tercekat.

"Hanif!" Rian berlutut di samping tubuh adiknya, mengguncang pelan bahunya yang lemah. "Hanif, bangun!"

Pak Herman yang juga mendengar teriakan itu segera datang dan melihat kondisi Hanif. “Bawa dia ke ruang kesehatan sekarang!” ucapnya tegas kepada salah satu guru lainnya yang kebetulan lewat.

Rian menatap Hanif dengan cemas, wajahnya penuh ketakutan. Hanif tidak merespon sama sekali, tubuhnya dingin dan pucat. Beberapa saat kemudian, Hanif dibawa ke ruang kesehatan. Sementara itu, Rian hanya bisa menunduk, merasa bersalah.

Saat Weni dan Cahyo tiba di sekolah setelah mendapat kabar dari guru, suasana di ruang kesehatan menjadi tegang. Weni langsung berlari masuk dan mendapati Hanif sedang berbaring dengan mata terpejam.

"Apa yang terjadi?!" seru Weni panik, menoleh kepada Pak Herman yang berdiri di dekat pintu.

"Hanif pingsan di lapangan," jawab Pak Herman singkat.

Weni lalu menoleh ke arah Rian yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah penuh penyesalan. "Kamu kenapa nggak jaga Hanif dengan baik?! Mama udah bilang kan, Hanif lagi sakit! Kamu nggak lihat dia pingsan?!"

Rian hanya bisa menunduk, merasa sangat bersalah. “Ma, aku lagi lari hukuman, aku nggak lihat…”

"Tapi kenapa kamu nggak jagain adik kamu? Kamu tahu dia lagi nggak enak badan, kenapa kamu biarin dia di pinggir lapangan sendirian?" suara Weni semakin meninggi.

"Maaf, Ma… Aku beneran nggak tahu dia pingsan. Aku cuma pengen bantu Hanif biar dia nggak kena hukuman," Rian menjelaskan dengan suara lemah, tapi Weni tampaknya tidak mendengar penjelasannya.

“Kamu harus lebih perhatian sama adik kamu! Jangan cuma mikirin diri sendiri!” Cahyo ikut menambahkan dengan nada tegas.

Rian hanya bisa diam. Hatinya sakit mendengar ucapan ayahnya. Ia merasa sudah berusaha sebaik mungkin, tapi tetap saja ia dianggap tidak peduli. Setiap kali ada masalah, selalu ia yang disalahkan.

"Hanif harus dibawa ke rumah sakit sekarang," ujar Weni panik. "Cahyo, kita nggak bisa tinggal diam. Ayo kita bawa dia sekarang juga."

Cahyo segera mengangguk dan mengangkat tubuh Hanif dengan hati-hati. Weni terus mendampingi, memastikan Hanif tidak semakin memburuk. Sementara itu, Rian tetap berdiri di sudut ruangan, seperti bayangan yang tidak diperhatikan.

Begitu mereka keluar dari ruang kesehatan, Weni bahkan tidak sempat menoleh ke arah Rian. Seolah keberadaan Rian tidak berarti apa-apa. Mereka semua bergegas pergi, hanya meninggalkan Rian di sana, dengan perasaan terabaikan dan bersalah yang semakin dalam. Air mata mulai menggenang di mata Rian, tapi ia mencoba menahannya.

Saat itu, Rian menyadari satu hal: meskipun ia selalu berusaha keras, selalu ingin melindungi Hanif, seolah-olah usahanya tidak pernah cukup di mata orang tuanya. Dan rasa sakit itu, yang selama ini ia simpan dalam-dalam, kini semakin menggunung di dalam hatinya.

Setelah kejadian itu, Hanif dibawa ke rumah sakit dan kondisinya berangsur membaik. Namun, bagi Rian, luka batin yang ia rasakan semakin dalam. Setiap kali ia melihat Hanif, ada rasa campur aduk antara cinta dan kelelahan. Kelelahan karena selalu menjadi yang disalahkan, selalu dianggap tidak cukup baik.

TBC

[💕TERIMAKASIH BAGI YANG SUDAH BERKENAN MEMBACA CERITA INI 💕]

𝐒𝐚𝐭𝐮 𝐑𝐢𝐧𝐝𝐮, 𝐃𝐮𝐚 𝐍𝐚𝐬𝐢𝐛Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang